Sudah dua minggu ini aku mengunjungi perpustakaan dan--secara kebetulan--pemuda berhidung mancung itu selalu ada di sana, di belakang kaca besar perpustakaan dengan sebuah buku gambar di tangannya. Oh, jangan lupakan cahaya matahari yang selalu membagi sedikit sinarnya untuk membelai lembut rambutnya.
Aku menyukainya? Kurasa tidak.
Aku hanya penasaran apa yang ia lakukan di sana? Menggambar? Mengapa tidak di tempat lain yang bisa memberikan banyak inspirasi? Mengapa harus perpustakaan?
Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu itulah aku memutuskan untuk menghampirinya. Menanyakannya langsung kepada orang yang sukses membuatku gagal fokus kepada rumus-rumus pembentuk zat kimia, yang harusnya aku lekatkan erat-erat di ingatanku.
Naasnya, karena kecerobohanku, aku terjatuh. Di dekatnya.
Dan ia menoleh. Menatapku bingung dengan mata berliannya.
Tidak! Aku malu sekali!
"Apa kau baik-baik saja?" Saat aku berbalik dan bersiap untuk melarikan diri, ia mengulurkan tangannya yang masih terselip sebatang pensil.
Dengan ragu, aku membalas uluran tangan itu dan membuatnya tersenyum. Senyuman itu pun berhasil membuatku melupakan perasaan malu yang sedetik lalu menguasai kinerja otakku.
"Tenang saja, aku ini sekuat Iron Man. Jatuh seperti itu tidak akan membuatku terluka," jelasku.
Sebentar.
Aku bilang apa tadi?
Ia malah tertawa. Entah menertawakan apa. Apa karena ucapan ngawurku tadi?
"Ternyata kau lucu juga," ucapnya seraya terkekeh.
Aku meringis, mengutuk diri sendiri dalam hati karena dua kalimat tidak jelas tadi.
Ia pun tersenyum sebelum akhirnya mempersilahkanku untuk duduk di sebelahnya.
Oh, iya. Pertanyaanku. Tapi, tidak mungkin 'kan kalau aku tiba-tiba memberondongnya dengan rasa penasaranku?
"Um, namamu siapa? Sepertinya aku sering melihatmu di sini," ucapku basa-basi.
"Aku? Namaku Lee Jaehwan. Kau bisa memanggilku Jaehwan." Ia, pemuda buku gambar itu, hanya menoleh sekilas sebelum menggoreskan ujung pensilnya di buku gambarnya, "bagaimana denganmu?"
"Hah?" Aku mengernyitkan alisku. Bingung.
"Namamu."
Satu kata tadi sukses membuatku kembali terkekeh. Ya ampun, aku ini kenapa bisa tidak fokus seperti ini?
Pada akhirnya, kami malah membicarakan banyak hal sembari ia mengerjakan gambarannya. Mulai dari hafalan rumus kimia yang menyiksaku berminggu-minggu ini, mengenai hobi menggambarnya, keabsurdannya--jujur saja, setelah mengenalnya, ia benar-benar berbeda dengan ekspektasiku selama dua minggu ini--sampai kehidupannya.
Aku akan lupa dengan apa yang ingin aku tanyakan setiap mata kami bertemu. Dan setiap aku merasa melupakan sesuatu, aku akan melihat seulas senyum tipis terukir di wajahnya.
Apa aku berhalusinasi?
"Sebenarnya, aku bosan. Aku tidak mau kuliah di kedokteran," ceritanya.
"Kenapa? Bukankah menjadi dokter itu menjanjikan?"
Jaehwan tersenyum ragu dan menaikkan alisnya, "itu karena aku lebih suka mengekspresikan apa yang aku pikirkan melalui gambar." Ia menunjukkanku gambar boneka kayu di buku gambarnya.
"Bagaimana sebuah boneka kayu bisa menggambarkan pikiran seseorang? Memangnya apa artinya?"
Bukannya menjawab, Jaehwan malah tersenyum. Ia merobek pinggiran gambar boneka tadi dan menyerahkannya padaku sebelum mencoretkan garis berliku yang tebal di lembaran lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
VIXXTIONS (VIXX's Fictions) [FIN]
ФанфикKumpulan cerita fiksi dengan VIXX sebagai tokoh utamanya :)) Imagines and short fictions ✔ Pref: The First * Disclaimer: Cerita ini murni hasil pemikiranku. Tidak ada unsur meniru cerita manapun. Tapi aku mohon maaf kalau ceritaku mirip dengan cerit...