Suasana senja pantai menyelimuti kedua bocah berumur 4 tahun yang sedang bermain istana pasir. Hari berjalan menuju petang, tapi tak menjadi tanda bagi mereka untuk kembali kepada orang tua mereka yang sudah ada di vila. Justru, mereka semakin larut dalam kesenangan mereka.
“Lee Hwan, apa cita-citamu besok?” tanya Min Soo setelah mencuci tangannya yang tadi penuh dengan pasir.
“Cita-citaku? Aku masih belum bisa menentukan. Kita, kan, masih kecil,” timpal Lee Hwan yang masih asyik dengan istana pasirnya.
“Kau tahu apa kata ibuku? Walaupun masih kecil, tapi setiap orang pasti punya mimpi,” celoteh Min Soo.
“Benarkah? Kalau begitu, um… aku suka menonton baseball dengan ayahku. Menurutku, mereka sangat keren! Aku juga ingin keren seperti mereka! Memiliki seragam dan nomor punggung sendiri, berlarian di lapangan, memukul bola, dan yang lainnya!” seru Lee Hwan sambil mempraktekan semua gaya pemain baseball yang pernah ia tonton.
“Kalau begitu, aku akan berdoa agar kau bisa menggapai mimpimu,” ucap Min Soo dan Lee Hwan menimpalinya dengan anggukan kepala tiga kali dengan semangat.
“Tapi, boleh aku bertanya?” tanya Min Soo dengan gaya penasaran ala anak kecil.
“Apa?” timpal Lee Hwan sambil menatap Min Soo.
“Para pemain baseball akan punya nomor punggung mereka masing-masing, bukan? Aku penasaran, kalau kamu sudah menjadi pemain baseball kelak, kira-kira nomor punggungmu berapa, ya?”
“Benar juga, aku penasaran juga,” timpal Lee Hwan sambil berlagak berpikir keras. “Bagaimana kalau nomor keberuntungan kita?” ucap Lee Hwan tiba-tiba dengan semangat. “Nomor delapan!” serunya.
“Aku setuju!”
Min Soo membuka kelopak matanya. Sudah pagi dan sekarang waktunya sekolah. Dalam duduk, ia merenung sejenak tentang kedua bocah di mimpinya tadi. Kedua bocah itu adalah dirinya dan teman dekat masa kecilnya, Lee Hwan. Ah, Min Soo rindu masa-masa itu. Tapi, semenjak hari ulang tahunnya, Lee Hwan tidak pernah muncul lagi. Laki-laki itu hilang.
***
Min Soo memasuki kelas yang entah kenapa sudah ramai padahal biasanya saja belum seramai itu. Ia melihat sekelilingnnya. Semuanya berdesas desus tak jelas. Tapi anehnya beberapa wanita di kelasnya seperti sedang berdandan dan Min Soo tak tahu itu untuk apa dan kenapa.
“Min Soo!” seru Kim Sun, sahabat Min Soo.
“Hei, ada apa dengan kelas? Ada yang aneh,” ucap Min Soo dengan pandangan anehnya yang menyusuri anak-anak di kelas satu persatu.
“Jangan bilang kau tidak tahu!” seru Kim Sun tiba-tiba.
“Tahu tentang apa?” tanya Min Soo polos.
“Rupanya kau memang sudah ketinggalan info!” ucap Kim Sun sambil menggelengkan kepalanya tak kunjung menjawab pertanyaan Min Soo.
“Sudah, katakan apa itu!” seru Min Soo setengah berbisik.
“Hari ini kita kedatangan murid baru–“
“Lalu, kenapa dengan itu? Kenapa semuanya ribut hanya karena kedatangan murid baru?” tanya Min Soo cepat, menyela perkataan sahabatnya.
“Hei, dengarkan aku dulu karena itu yang mau kukatakan!” seru Kim Sun setengah kesal. Sementara Min Soo hanya cengingisan tak merasa bersalah.
“Murid baru itu laki-laki. Aku dengar dari teman-teman sekitar, katanya laki-laki itu dari Amerika! Katanya dia juga tampan!” seru Kim Sun yang tiba – tiba jadi kegirangan sendiri dan Min Soo hanya memandangnya aneh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eight: My Lucky Number
Romance(COMPLETED) - K-FICTION ROMANCE Ini bukan hanya sekedar cerita tentang seseorang dengan profesi sampingannya sebagai seorang pemain baseball, ini lebih dari itu. Bae Min Soo, perempuan kecil yang sudah tumbuh besar menjadi remaja. Cantik? Iya, tapi...