Suasana kelas mulai kembali dirasakan Min Soo hari ini. Namun, rasanya seperti ada yang berubah semenjak malam pesta itu dan memang suasana telah berubah. Satu perubahan yang terlihat sangat jelas, adalah sekarang banyak orang yang menggosipkan Min Soo secara terang-terangan saat Min Soo sedang lewat. Mereka itu memang bodoh atau memang sengaja membuat Min Soo mendengarnya? Tapi sepertinya Min Soo tak bisa menghentikan gosip yang beredar dengan cepat itu.
“Min Soo, kau tahu?” tanya Kim Sun dari depan dengan heboh.
“Apa?” Min Soo mendongak berpaling dari novel yang sedang ia baca.
“Gosip sudah terdengar kemana-mana kalau Alan dan Shin Hwa putus!” seru Kim Sun setengah berbisik.
Min Soo memang terkejut. Tapi, buat apa dia peduli tentang mereka? “Oh, begitu,” timpal Min Soo malas dan kembali membaca novelnya.
Tak lama kemudian, Alan datang dan langsung duduk di tempatnya, di samping Min Soo. Sesekali, Min Soo mencuri pandang pada Alan dari sudut matanya. Laki-laki itu bersikap biasa saja seolah tidak ada apapun yang terjadi padanya. Min Soo heran, kenapa laki-laki itu bisa tetap stay cool dikala dirinya sedang jadi bahan perbincangan panas? Min Soo akui, itu hebat tapi juga aneh.
“Aku tahu aku tampan.” Shit! Bisa-bisanya Min Soo tertangkap basah oleh Alan sekarang. Oh, pasti wajahnya sekarang sudah sama seperti kepiting rebus.
“S-siapa yang bilang?” tanya Min Soo dengan gagap. Sementara itu, Alan mengendikkan bahunya dan menjawab, “Semua orang berkata seperti itu. Bukankah begitu, Kim Sun?”
“Hei, kau tidak perlu melibatkan Kim Sun untuk mengakui ketampananmu itu! Aku tidak ingin Kim Sun tertular!” seru Min Soo kesal.
“Tapi, sebenarnya… Alan memang tampan,” ujar Kim Sun tiba-tiba dan langsung saja ia mendapat tatapan maut dari Min Soo. Otomatis, Kim Sun langsung kembali menghadap ke depan tak berani melihat Min Soo.
“Wuah, rupanya kau sudah sehat, ya. Kemarin, katamu lemas. Sekarang? Sepertinya kata itu sudah tidak ada di kamusmu,” ucap Alan menginterupsi.
“Bukan urusanmu!” seru Min Soo masih kesal dan kembali membaca novelnya lagi. Sementara itu, ia tak menyadari Alan yang dari tadi hanya menahan tawanya.
***
Hari-hari berjalan seperti biasanya. Ah, tidak. Bagi Min Soo hari-harinya tidak biasa. Bagaimana tidak? Dirinya selalu saja mendapat teror. Dia sudah selalu mengacuhkan teror itu. Pikirnya, teror akan berhenti kalau dia mengacuhkannya. Tapi justru semakin lama ia mengacuhkan teror itu, semakin parah teror yang berdatangan padanya.
Seperti kemarin lusa. Dia mendapat banyak sampah lagi di lokernya. Dia sudah memarahi Nana habis-habisan. Tapi ternyata pelakunya bukan Nana. Dan lagi, itu membuatnya menuduh orang yang tak bersalah. Setelah itu, teror tak berhenti. Waktu pulang sekolah, ia mendapat bingkisan yang isinya burung mati. Namun ia langsung membuang bingkisan itu.
Saat di rumah, lagi-lagi ia mendapat bingkisan tanpa nama. Isinya sebuah kertas putih dengan tulisan tinta merah yang bertuliskan, “Apa kau takut? Hidupmu tidak akan tenang, Min Soo!”
Min Soo hanya membuang kertas itu dan menimpali, “Aku tidak takut sama sekali! Dan hidupku sudah tidak tenang jauh sebelum kau menerorku! Kekanak-kanakan sekali!”Pagi ini, Min Soo terlihat cukup kewalahan karena semua teror itu. Tapi anehnya, semenjak kemarin sore hingga siang ini dia tidak mendapat teror apapun. Untunglah kalau begitu, mereka pasti sudah sudah kehabisan ide untuk menerorku, pikir Min Soo.
Bel pulang sekolah berbunyi. Min Soo sudah sangat lelah hari ini. Ia ingin cepat-cepat pulang dan pergi ke alam mimpinya nanti.
“Min Soo!” seru Alan tiba-tiba dan Min Soo yang sudah sampai ambang pintu langsung memutar dan menatap Alan.
“Kenapa?” tanya Min Soo dikala Alan sudah sampai di depannya.
“Apa kau tidak apa-apa?” tanya Alan balik.
Min Soo tidak menjawabnya. Justru ia menatap Alan dengan tatapan aneh. “Jangan salah paham!” seru Alan tiba-tiba. “Aku hanya bertanya… dari kemarin kau terlihat aneh,” lanjutnya.
“Ah, begitu. Aku sepertinya baik-baik saja. Memangnya aku terlihat aneh bagaimana?” ucap Min Soo.
“Aku tahu dari kemarin kau mendapat terror terus,” ucap Alan kemudian. Min Soo tidak terkejut. Dia berpikir pasti Alan tahu karena orang yang menerornya itu mengiriminya teror secara terang-terangan. Kecuali saat yang dirumahnya.
“Lalu?” tanya Min Soo sedikit tak tertarik.
Alan mendengus. “Lalu, apa sekarang kau baik-baik saja?” tanya Alan gemas.
“Well, sekarang kau bisa melihat diriku yang berdiri di depanmu dengan baik-baik saja,” timpal Min Soo ringan. “Lagipula, mereka juga sudah berhenti mengirim teror. Itu bagus, bukan?”
Dahi Alan berkerut tidak suka. “Mereka sudah berhenti? Sejak kapan?” tanyanya menginterogasi.
“Sejak kemarin sore,” timpal Min Soo senang.
Namun, kerutan di dahi Alan tak menghilang. Justru, tersirat kekhawatiran di wajahnya. “Apa kau tidak merasa aneh kalau tiba-tiba mereka tidak mengirimimu teror lagi?” tanya Alan.
Alis Min Soo bertautan. “Aneh? Bukankah itu pertanda bagus karena mereka sudah berhenti menerorku?” Min Soo justru bertanya balik.
“Apa kau memang berpikiran sempit seperti itu?” Alan menimpali Min Soo dengan pertanyaan lagi dan Min Soo cukup kesal karena dikatai seperti itu.
“Apa katamu?” tanya Min Soo tak percaya.
“Begini, aku rasa ada kejanggalan karena tiba-tiba saja mereka berhenti menerormu. Lagipula, apa kau tidak penasaran siapa yang menerormu?” tanya Alan lagi.
“Alan, kau aneh,” ucap Min Soo tib-tiba dan hendak pergi meninggalkan Alan. Namun, Alan langsung setengah berlari dan menghadang Min Soo. “Apa lagi?” tanya Min Soo malas.
“Sepertinya aku tahu siapa pelakunya,” timpal Alan yakin.
Sementara itu, Min Soo masih menatapnya aneh. “Dengar, aku sudah tidak mau berurusan lagi dengan masalah, mengerti? Jadi, walaupun kau tahu siapa pelakunya, aku tidak peduli dan aku juga tidak mau tahu. Biarlah mereka berbuat sesuka hati mereka. Nantinya mereka juga pasti akan kewalahan sendiri karena mengurusiku,” ucap Min Soo panjang lebar dan kemudian ia langsung pergi. Alan hanya menggelengkan kepalanya menatap Min Soo yang keras kepala.
Sebenarnya, dari kemarin Alan selalu memperhatikan semua teror yang Min Soo terima dan dalam sehari, Alan sudah langsung tahu siapa penerornya. Alan sudah akan bilang, tapi ternyata Min Soo tidak mau mendengarnya.
Min Soo berjalan keluar dari gerbang sambil menikmati musik melalui earphone dengan santai. Saat ia tengah berjalan dan asyik bergumam menyanyikan lagu yang ia dengarkan, ia melihat seekor anak kucing yang sepertinya sedang kesakitan di seberang jalan. Min Soo miris melihatnya. Iapun berjalan menyeberang hendak menghampiri anak kucing itu.CIIIT! DUG!
Tiba-tiba saja dari arah kanan Min Soo ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang. Alan yang datang entah dari arah mana langsung mendorong Min Soo bersamanya. Mobil itu langsung pergi meninggalkan Alan dan Min Soo yang jatuh di jalan.
Min Soo bangun perlahan dari pelukan Alan. Terasa pening sedikit dan ada rasa perih di pergelangan tangannya. Tapi yang membuatnya terkejut bukanlah itu. Melainkan Alan. Laki-laki itu tak sadarkan diri. Min Soo juga melihat ada darah mengucur dari dahi kiri Alan. Cepat-cepat, Min Soo menutup mulutnya dengan tangan karena ketakutan sekaligus panik. Apa ini salahku?
----------------------------------------------------------------Hayo, bagaimana kelanjutannya?? 😄
Nantikan, yaaaaaa
Dan jangan lupa untuk tinggalkan jejak kalian😄😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Eight: My Lucky Number
Любовные романы(COMPLETED) - K-FICTION ROMANCE Ini bukan hanya sekedar cerita tentang seseorang dengan profesi sampingannya sebagai seorang pemain baseball, ini lebih dari itu. Bae Min Soo, perempuan kecil yang sudah tumbuh besar menjadi remaja. Cantik? Iya, tapi...