[PART 3]

142 24 0
                                    

“Hah… aku seharusnya… bangun lebih pagi… agar… tidak… ketinggalan bus,” gerutu Min Soo terengah-engah karena berlarian di sepanjang jalan setelah tertinggal bus dan kini dia memang sedang berlari.

Untung saja gerbang sekolah belum ditutup sempurna. Tepatnya, penjaga sekolah sedang menarik tutup gerbang sekolah dan Min Soo berhasil melewatinya. Setelah sampai di lapangan, barulah ia mulai berjalan dengan biasa setelah menormalkan pernapasannya. Tenaganya sudah habis dipakai untuk berlarian dari halte sampai sekolah.

Lorong sekolah sudah sepi. Semua siswa sudah masuk ke kelas. Tapi samar-samar Min Soo seperti mendengar sebuah suara. Ah, bukan. Ada dua macam suara, satunya laki-laki dan yang satunya perempuan. Karena penasarannya sudah tinggi, Min Soo mendekati sumber suara yang ternyata berasal dari lorong kamar mandi. Kini suara perempuan itu sudah tak normal, suaranya terdengar seperti isakan. Tapi laki-laki itu tak mengeluarkan suaranya lagi.

Min Soo pun semakin mendekat ke sumber suara. Setelah cukup dekat, barulah ia menoleh untuk melihat siapa mereka. Ia dapat melihat jelas ada seorang perempuan yang sepertinya adalah adik kelas satu tingkatnya. Sementara laki-laki yang ada di perempuan itu adalah Alan, murid pindahan itu.

Perempuan itu terlihat sedang menangis di depan Alan yang mengacuhkannya. Entah kenapa, saat melihatnya amarah mulai memuncak di kepala Min Soo. Tidak punya hati, batinnya dalam hati. Bahkan, tanpa pikir panjang lagi, ia langsung menghampiri mereka dengan langkah lebarnya dan juga garang.

“HEI! Apa yang kau lakukan padanya?!” pekik Min Soo garang, tepatnya pertanyaan itu ditujukan untuk Alan.

Sementara itu, Alan terkejut dengan kedatangan Min Soo yang tiba-tiba. “Apa yang kau lakukan disini?” tanyanya sedikit gelagapan.

“Bukankah seharusnya itu pertanyaanku?” Min Soo menimpali dengan pertanyaan. “Apa yang kau lakukan padanya sampai dia menangis begitu?”

Alan mendengus. “Tanyakan saja padanya,” ucap Alan ringan sambil mengendikkan bahunya dan hendak pergi dari sana. Namun, dengan sekali gerakan Min Soo menghalangi Alan.

“Minta maaf padanya dulu,” desis Min Soo tajam.

“Aku tak salah apapun padanya,” timpal Alan.

“Tapi kau–“

“Maaf, Kak. Hiks. Ini salahku. Aku yang minta Kak Alan untuk ke sini di jam pelajaran pertama. Aku yang salah karena meminta Kak Alan menyukaiku. Hiks.” Tiba-tiba perempuan tadi berucap di sela-sela tangisnya.

Awalnya, Min Soo terdiam sejenak karena jawaban perempuan itu. Tapi tidak, ia tidak bisa diam kalau belum mendapat keadilan karena Alan. “Tetap saja. Laki-laki ini harus minta maaf karena dia sudah membuat perempuan menangis.”

Alan menyeringai. “Kau dengar sendiri, kan? Dia sudah bilang kalau dia yang salah. Bukan aku. Sekarang, minggir!”

Min Soo semakin menghalangi Alan untuk pergi. “Kau tahu? Aku paling benci laki-laki yang membuat perempuan nangis. Itu berarti kau pengecut!” Serunya dengan suara lirih namun tajam.

“Apa?” Alan sedikit memekik kesal dan tak percaya karena secara tidak langsung Min Soo sudah menyebutnya pengecut.

“Sekarang cepat minta maaf!” seru Min Soo mencekal kerah seragam Alan.

“Aku tidak mau!” seru Alan tak kalah tajam.

“Kau–“

“Kalian!” Alan dan Min Soo menoleh pada sumber suara. Ternyata itu adalah Guru Kim. Min Soo langsung melepas cekalannya pada kerah seragam Alan. “Ikut aku sekarang!”

Eight: My Lucky NumberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang