You can't hurry love
'Mas Zaid, nanti kita jadi nonton kan?'
Risa memandangi pesan tersebut sambil tersenyum. Setelah jadwal sidangnya keluar, ia merasa bahagia sekaligus lega. Ditambah adanya janji nonton dengan Zaid membuaat Risa jadi lebih senang. Ini dia anggap sebagai reward sebelum ia bersiap untuk sidang tesisnya.
Selama 5 menit ke depan, Risa masih memandangi pesan itu. Menunggu status WhatsApp Zaid berubah menjadi online dan dia akan membalas pesan Risa. Nyatanya selama Risa menunggu, status Zaid tak juga berubah.
"Mungkin lagi sibuk kali ya," Teringat akan bisnis sampingan Zaid yang juga menyita waktunya, Risa berpikir positif. Ia akan menunggu sejam atau dua jam ke depan. Sebelum datangnya waktu yang dijanjikan bersama Zaid.
***
Zaid sedang duduk terdiam. Seminggu yang lalu ia mendapatkan perintah yang mencengangkan. Hingga hari ini ia belum memutuskan apapun.
"Kenapa Bang?"
Zaid menoleh. Ia melihat salah satu tim perusahaan brand consultant-nya sedang menatap Zaid sambil kebingungan.
"Gak apa-apa, To," Zaid berusaha tersenyum. Mengalihkan pandangan dari jendela ke dalam ruangan. Ruko berlantai dua ini adalah perusahaan yang didirikannya bersama seorang teman kuliahnya sejak dua tahun lalu. Satria Wiraatmaja. Konsultan brand yang diberi nama BrandPlus ini berkantor di daerah Kemang. Zaid didapuk menjadi CEO sementara Satria memilih menjadi CFO. Mereka bergantian memimpin keputusan-keputusan penting perusahaan kalau salah satunya sedang berhalangan. Berbeda sedikit dengan Zaid yang juga meniti karier sebagai presenter, Satria memiliki karier lain sebagai dosen.
Karena perannya sebagai CEO di BrandPlus, maka Zaid bisa bertemu Boy. Saat itu Boy masih chef yang bekerja di salah satu hotel bintang lima. Ia ingin membuka restorannya sendiri dan meminta bantuan dari Satria, teman dari adik Boy, Miley. Siapa sangka ternyata Boy dan Zaid cocok. Mereka melanjutkan hubungan hingga saat ini. Tidak ada yang tahu, bahkan Satria dan Miley sekalipun.
"Mood nampak jelek seminggu terakhir, Bang," Toto lanjut berpendapat. Ia duduk di mejanya tidak jauh dari meja sang CEO. Konsep open work space yang dianut BrandPlus membuat seakan tidak ada sekat antara CEO dan pegawai. Lagipula pegawai mereka memang belum banyak. Hanya 20 orang. Sebagian di lantai dua, sebagian lagi di lantai satu.
"Begitulah, To," Zaid mengangguk.
"Biar mood gak jelek, mending traktir kita Bang," Staf Zaid yang lain, Nina, ikut berpendapat. Dia melirik teman-temannya dan tersenyum penuh arti.
Zaid ikut tersenyum. Ia merogoh dompet di saku belakang celana dan mengambil tiga lembar uang seratus ribuan. Diserahkannya uang tersebut kepada Nina.
"Nih,"
Gerakan Zaid menimbulkan seruan penuh sukacita dari para stafnya. Mereka makan gratis lagi hari ini. Sementara itu Zaid memilih menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ponsel pun ia abaikan.
***
Risa ingin marah. Sangat ingin marah. Tapi ia tidak berani. Setidaknya ia tidak berani marah pada Zaid. Zaid yang mengabaikan pesannya. Zaid yang tidak memberi kabar padanya. Zaid yang seakan lupa pada dirinya.
"Jelek lo," ujar Tania begitu Risa memasuki apartemen dengan mulut manyun.
"Bodo," balas Risa.
"Ah emang udah jelek dari sononya sih ya," Tania menanggapi sambil lalu dan kembali menonton TV.
"Sialan lo," Risa melempar bantal kursi dan mendarat tepat di wajah Tania.
"Ih galak amat!" Tania balas melempar bantal tersebut namun Risa berkelit dan duduk di samping Tania.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Liars - Trilogi Zaid Risa 1 - END (WATTPAD)
ChickLitZaid adalah seorang public figure yang cukup dikenal di ibukota. Sedangkan Risa hanyalah karyawan swasta biasa yang lama kelamaan jatuh cinta kepada sosok Zaid. Zaid yang mulanya terasa begitu jauh namun lama kelamaan dekat dengan dirinya layaknya s...