III. The 1%

15 1 0
                                    

Erwin Brahma Rusdi

Dalam keadaan ekonomi nasional seperti apapun, orang kaya selalu di bagian 'ah, mereka kan orang kaya'. Inggris, Amerika, Cina, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Papua Nugini, view terhadap orang kaya tidak beda jauh. Orang kaya adalah katrol GDP, tapi di lapangan dianggap X factor, bahkan secara tidak langsung dijadikan villain kalau kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial tinggi. 

Bukan salahku kalau Papaku kaya. 

Call me a capitalist, a liberal, but you can't blame me. Capitalism co-exists with industrialization (which is good. Now that there is industrialization, we don't have to grow foods and sew clothes ourselves), liberalism is the reason why anyone has the chance to be rich

Mereka yang menyalahkan adalah mereka yang tidak mengambil kesempatan. Mereka yang cemburu adalah mereka yang tidak berjuang. 

Papa mengajarkan ini sejak aku belajar membaca di play group. Ya, aku belajar membaca sejak play group. Mama dan Papa memang sangat ambisius. Terutama Papa. Aku minta sepeda waktu umur enam tahun. Kata Mama, "Oke, besuk kita beli, Sayang." Kata Papa, "Tidak, kita beli sepeda kalau kamu sudah bisa merapikan mainanmu sendiri." 

Sifatnya itu membuatku 'benci' Papa selama bertahun-tahun. Aku lengket ke Mama, kalau aku ingin apa-apa aku minta ke Mama, tapi Mama tidak pernah berhasil melangkahi Papa. Saat umurku sepuluh tahun, Mama meninggal. Kanker ovarium. Keluarga kami jadi sepi dan kelam, tapi setidaknya Papa jadi agak lunak. 

Well, actually not so soft

Papa tidak mau membelikanku Land Rover secara cuma-cuma, padahal membelikan aku Maserati saja dia bisa. Aku harus kerja jadi buruh fotokopi di kantornya dan diterima di NYU, baru Papa mau membelikanku Land Rover. This isn't fun, tapi aku paham maksud Papa. Masa-masa aku 'benci' Papa sudah long way gone, aku bukan bocah lagi. Aku bukan spoiled rich kid yang kerjaannya cuma minta duit ke orangtua. 

"If you want something, you should fight for it." Motto abadi Papa itu lama-lama juga menjadi motto abadiku. 

Meski begitu, kesengsaraanku menjadi buruh fotokopi Papa tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan gadis yang sedang dibicarakan Papa sekarang. Roasted salmon kami disajikan pelayan perempuan yang anak perempuannya juga bekerja cuci piring di sini tiap Sabtu-Minggu karena keadaan ekonomi mereka yang buruk. Suaminya juga entah di mana. 

I just can't understand a man that leaves his own family. He's not a man at all. Kalau saja dia tahu anak perempuannya harus kerja keras cari uang, padahal seumurannya, gadis-gadis cantik seperti dia biasanya sibuk kencan di malam Minggu. Dia malah cuci piring. 

Selesai makan, Papa membayar bill ke pelayan. Dia membisikkan sesuatu, menunjuk ibu pelayan yang tadi menyajikan salmon kami. Pelayan yang dibisiki mengangguk. Papa menyelipkan 250 ribu di balik piringnya, lalu berdiri. "Nah, ayo pulang." 

Setelah mengetahui apa yang di balik piring Papa, pelayan itu malah mengejar kami.

"Pak, uangnya ketinggalan." 

"Nggak pa-pa, itu buat kamu." 

"Tapi Pak, ini kebanyakan." 

"Sudah, ambil saja. Mumpung saya lagi baik." 

"Yang benar, Pak?"

"Iya." 

"Wah, terima kasih banyak, Pak." 

Papa tersenyum lalu pergi. 

I swear, I have never seen this side of Papa before. Papa tidak pernah memberi uang ke pengamen atau pengemis. Pernah, sekali, takmir masjid datang ke rumah minta sumbangan jariyah, Papa dengan sopan menolak. Saat orang itu pergi, kata Papa, "Masjid sudah gede-bagus gitu masih saja minta sumbangan. Buat apa coba renovasi kubah? Kurang kerjaan." 

Di mobil, I couldn't stop thinking about it. Jadi aku tanya, "Kenapa Papa kasih tip gede banget?"

"Karena mereka layak." 

Mereka. "Tapi Papa biasanya pelit." 

"Win, pelit dan selektif itu beda banget." 

HP Mang Danang bergetar. 

"Angkat saja, Mang." 

Mang Danang mengangkat telepon. "Halo, Lastri?" 

Lastri adalah asisten rumah tangga kami. 

"Sebentar, sebentar, ngomong yang jelas. Rumi kenapa?" 

Rumi adalah asisten rumah tangga kami yang satunya. Istrinya Mang Danang. Ada yang tidak beres, dan sepertinya itu bukan masalah sepele karena aku belum pernah melihat Mang Danang sepanik itu.




Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now