XVII. Aster

11 0 0
                                    

Erwin Brahma Rusdi

"Win, kamu tadi jemput Gadis?"

"Iya, Pa. Tapi ternyata Mas Wendi juga jemput."

"Ya memang Papa yang suruh Mas Wendi jemput Gadis. Kamu ngapain juga jemput Gadis?"

"Ya nggak pa-pa kan, Pa? Lagian kalau Papa tahu aku jemput Gadis, Mas Wendi nggak perlu jemput Gadis."

"Tapi kamu jemputnya maksa?"

"Maksa maksudnya?"

"Ya kamu maksa Gadis pulang sama kamu."

"Kok Papa tahu?"

"Papa kan punya mata dan telinga di mana-mana," Papa terkekeh.

"Gadis yang bilang ke Papa?"

"Iya."

Aku melempar pelet. Ikan-ikan koi berkerumun berebut lemparan berkah dari tanganku. Berkah? Tangan ini tadi tanpa tahu diri menarik tangan Gadis. Tangan ini juga belum minta maaf padanya.

"Win," Papa mematikan selang semprotan tumbuhannya. Dia menatapku serius, "Papa tahu kamu suka Gadis."

"Papa sok tahu."

"Benar, kan, kamu suka Gadis?"

Iya. Aku suka Gadis. Aku tidak perlu mengatakannya keras-keras.

"Tapi Gadis nggak suka kamu, Win."

Lihat saja, sebentar lagi dia akan bertekuk lutut padaku.

"Dan kamu jangan maksa dia."

"Aku nggak maksa dia kok, Pa."

"Tapi kamu ngejar-ngejar dia, kan?"

Yaiyalah, aku tidak boleh menyerah. Segala hal harus diupayakan. No pain no gain.

"Win, waktu Papa SMA dulu, Papa suka sekali sama adik kelas Papa. Papa kejar-kejar dia sampai akhirnya dia nyerah dan mau jadi pacar Papa. Tapi kami pacaran cuma empat bulan. Setelah itu Papa nggak pernah ngejar-ngejar perempuan lagi. Papa juga nggak ngejar-ngejar mama kamu, kami cuma berteman beberapa bulan, setelah itu menikah. Kamu paham maksud Papa?"

Aku paling tidak suka kalau orang tua menceritakan pengalaman mereka pada orang yang lebih muda karena mereka pikir itu bisa jadi pedoman. Tidak, pengalaman mereka tidak bisa jadi pedoman bagi anak muda karena jaman dulu dan sekarang itu berbeda. Manusia lebih dinamis, lebih terbuka, lebih realistis. Cinta bukan lagi melihat kembang desa dari kejauhan dengan malu-malu, lalu datang melamar ke rumahnya, lalu menikah, punya anak dua, dan bahagia selamanya. Cinta jaman sekarang adalah mengungkapkan tanpa sungkan, sadar kalau dia orang yang salah, putus, menemukan yang baru, memulai hubungan baru lagi, putus lagi, dan mengulangi siklus itu sampai menemukan orang yang benar. Cinta jaman sekarang lebih gamblang dan realistis, jika suka katakana suka, jika belum suka buatlah suka, jika sudah tidak suka akhiri saja.

Tapi kurasa ini bukan saat yang tepat untuk mendebat Papa.

"Maksud Papa jangan buang-buang waktu ngejar cewek?"

"Nah, itu kamu paham."

I knew it. Sebentar lagi Papa pasti berkata tentang ujian akhir, universitas, dan masa depan.

"Kamu kan kelas tiga, banyak ujian, dan kamu harus fokus untuk kuliahmu. Papa mau kamu kuliah di universitas yang bagus, belajar yang benar, biar bisa melanjutkan bisnis Papa. Kalau soal jodoh gampang, nanti bisa dicari sambil jalan. Lagipula belum tentu Gadis dan kamu itu jodoh."

See? What did I say?

"Tenang saja, Papa masih ingat kok janji Papa tentang Rover itu."

Ah, janji Land Rover itu. Kemarin-kemarin aku masih fokus pada Land Rover, tapi belakangan ini perhatianku melenceng ke Gadis. Aku seperti orang bodoh yang desperate.

"Kamu akan mendapatkan sesuai dengan yang kamu usahakan. Ingat itu."

"Iya, Pa." 

Papa menepuk bahuku dua kali sebelum masuk rumah. Aster putih Mama bermekaran di petak dekat kolam koiku. Satu-satunya sudut taman belakang yang Papa benar-benar peduli adalah petak itu. Dia menyirami, memupuki, memberi disinfektan, dan mem-prune bunga-bunga itu sendiri. 

Aster putih itu sakral bagi Papa. Bunga kesabaran dan kesetiaan. Delapan tahun sudah Mama meninggal, petak bunga itu masih terlihat sehat dan cantik. 

Papa loves Mama that much

Aku ragu aku bisa seperti Papa. Mungkin Jimmy benar. Aku tidak belajar dan aku tidak mengerti. Vivian, Eli, Melissa, Clara, dulu mereka rasanya seperti 'cinta', tapi kemudian mereka menjadi 'pengalaman'. Sekarang Gadis rasanya juga seperti 'cinta' dan aku tidak ingin dia menjadi 'pengalaman'. Aku ingin Gadis menjadi 'masa depan'.

Ah. I don't know. Aku harus mandi. Badanku bau keringat.


Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now