XV. Mercedes

9 0 0
                                    

Gadis Saraswati

Aku tidak suka Erwin, aku suka Hamzah Rusdi.

Sudah kubilang segamblang-gamblangnya. Puas? Sekarang kau bisa mengolokku karena naksir dengan orang yang usianya lebih dari dua kali usiaku. 

Aku tidak peduli.

Aku sudah muak dengan cowok-cowok remaja yang sok keren petentengan di atas motor sport dan mobil yang dibelikan orangtua mereka, padahal punya SIM saja belum. Aku sudah muak dengan cowok-cowok bau kencur berusaha mentraktirku di kantin sekolah dengan uang jajan pemberian orangtua mereka. Aku sudah muak dengan cowok-cowok sok macho ikut olahraga sana sini, pakai jam tangan sport, pakai sepatu Nike, pakai pomade, mereka pikir mereka ganteng, keren, dan semua orang suka mereka, tapi mereka salah besar karena otak mereka yang bebal itu cuma berisi ego besar mereka sendiri.

Hamzah Rusdi jauh lebih menarik.

Dia tidak menggombal. Dia tidak merayu. Dia tidak menarik-narik tangan sembarangan. Dia tidak drama. Dia melindungi, tapi tidak posesif. Dia tidak perlu pomade dan Nike untuk menunjukkan kalau dia punya uang. Dia tidak banyak gaya. Dia tidak menjijikkan seperti cowok-cowok rendahan itu yang jatuh bangun mengejar gadis-gadis bening hanya demi hubungan yang berlangsung paling lama enam bulan.

Apa aku tidak punya sedikit pun rasa peduli pada mereka? Tidak. Mereka mendaki Everest dan berenang membelah Pasifik demi diriku pun aku tidak peduli. Mereka sudah tahu mereka akan ditolak. Itu masalah mereka.

Tapi Hamzah Rusdi hanya perlu duduk diam di jok belakang Mercedes-nya dan aku akan terpesona.

Karena dia tampan? Bisa jadi. Dia punya kerutan kharismatik di sudut luar matanya, garis senyum keramahan, kerut dahi seorang pemikir, bentuk rahang yang kokoh, dan jenggot yang secara konstan terlihat seperti dia tidak cukur selama lima hari. Posturnya juga bagus. Dia tidak menyerah pada makanan manis dan berlemak, dia minum jus dan berlari di treadmill tiap pagi. Orang awam akan mengira dia mantan model atau aktor senior.

Tapi bukan itu yang kulihat darinya.

Karena dia kaya? Bisa jadi. Uang adalah masalahku sejak lahir. Hamzah Rusdi memiliki semua yang tidak kumiliki. Dia tiduran di pelampung bebek kuning raksasa, dia tidak lagi bekerja untuk uang, uang bekerja untuknya. Orang-orang menghormatinya sebagai founder dan CEO salah satu perusahaan konstruksi terbaik di Indonesia.

Tapi bukan itu juga yang kulihat darinya.

Karena dia baik padaku? Bisa jadi. Mungkin dia kasihan padaku. Mungkin karena wajahku mirip Maria, dia menganggapku istimewa. Mungkin dia memang baik hati.

Lagi, bukan itu yang kulihat dari Hamzah Rusdi.

Aku suka Hamzah Rusdi karena dia adalah Hamzah Rusdi. Sederhana. Cinta itu tidak berbelit-belit dan aku tidak berniat membuatnya rumit dengan menyangkalnya. Tidak perlu diromantisasi, tidak perlu didramatisasi. Cukup dirasakan. 

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now