XXVI. Ego

48 0 0
                                    

Gadis Saraswati

Konon di ruangan lebar berlantai kayu itu, Hamzah Rusdi melatih Erwin menjadi laki-laki saat Minggu pagi. Dari halaman belakang dekat bunga-bunga, aku sering melihat ruangan itu sebagai paradoks yang unik. Ruangan itu seringkali terkunci, seolah-olah semacam tempat eksklusif yang ingin disembunyikan oleh Hamzah Rusdi. Tetapi dia juga memasang kaca lebar di dindingnya, menghadap halaman belakang, sehingga semua orang bisa melihat sak tinju, tongkat, beberapa medali tergantung di dinding, bahkan katana. 

Pagi itu, ketika aku samar-samar mendengar suara gedebak gedebuk, kubilang pada ibu aku akan menyiram tanaman di dekat kolam renang di halaman belakang. Kata ibu, "Itu kan bukan tugasmu." Lalu kubilang, "Nggak pa-pa, aku ingin keluar sebentar. Udaranya lagi bagus." 

Sebenarnya aku hanya ingin nonton Erwin digebuki Hamzah Rusdi dari seberang kaca lebar itu. 

Pilihan kataku tidak salah, Pembaca sekalian. Erwin boleh muda dan prima, tapi dia lebih mirip teri disandingkan barakuda kalau duel karate dengan Hamzah Rusdi. Baik Hamzah Rusdi maupun Erwin sendiri menyadari benar fakta itu, dan sepertinya keduanya sama-sama tidak suka. Hamzah Rusdi tidak suka anaknya tidak kompeten dalam bela diri, maka dia rajin menyeret-nyeret pemuda itu untuk berlatih dengannya di Minggu pagi. Erwin tidak suka diseret-seret berlatih dengan ayahnya, bukan karena dia malas atau apa. Sederhana saja: ego dan harga diri. Berusaha menerima kenyataan bahwa anak laki-laki berperawakan atletis seperti dia tidak bisa mengalahkan bapak-bapak di penghujung usia 40-an pasti makan hati. 

Itu adalah hiburan terbaik buatku. 

Barangkali aku terlalu larut menonton mereka, sampai-sampai mereka sadar kalau kutonton dari tadi. 

Erwin berkeringat dan bermuka masam. Dia menutup tirai jendela besar itu. 

Sepertinya aku merasa bersalah. Sedikit. Tapi entah kenapa, aku ingin tertawa. Oke, mungkin aku tidak merasa bersalah. 

Beberapa detik kemudian, Hamzah Rusdi membuka tirainya. Dia menunjukku dengan telunjuknya, menunjuk matanya dengan dua jari, lalu menunjuk Erwin dengan telunjuknya. 

Kemudian Hamzah Rusdi tersenyum padaku. 

Aku mematung dengan selang di tangan seperti orang tolol. 

Hamzah Rusdi kembali pada anaknya yang berusaha menyembunyikan wajah malu terkalahkan dariku. Ayahnya mengatakan sesuatu padanya, kemudian mengajarkan suatu jurus--aku sendiri juga tidak paham jurus macam apa itu--yang sepertinya cukup sulit. Tapi karena malu gagal di depan mataku, Erwin belajar dengan cepat. Jadi isyarat Hamzah Rusdi tadi supaya aku melihat Erwin baik-baik mencapai tujuannya. Orang itu tahu benar, kelemahan terbesar Erwin bisa diputar balik menjadi sumber motivasi. Menggunakanku untuk mempermalukan Erwin supaya dia mau belajar sungguh-sungguh.

Hamzah Rusdi sekejam itu. 

Aku suka.  

Lima belas menit kemudian, pertunjukan menguras ego dan tenaga akhirnya berakhir bagi Erwin. Dia sempat melirikku dengan mata yang merasa dihianati, kemudian bergegas kembali ke kamarnya. Hamzah Rusdi keluar dari 'ruangan Candradimuka' sekaligus panggung humiliasi itu. Masih mengenakan kaus abu-abu dan celana putih karate, dia menghampiriku. 

"Kamu paham kan, maksud saya tadi?" 

"Saya paham." 

"Erwin memang begitu orangnya. Egonya besar. Ego itu harus dimanfaatkan." 

Aku mengangguk-angguk. 

"Kamu pernah ikut karate, silat, atau beladiri semacamnya?" 

Aku menggeleng. 

"Kenapa? Nggak tertarik, ya?" 

"Sebenarnya ada ekstrakulikuler seperti itu di sekolah, tapi biasanya pulang sekolah saya jualan atau bantu ibu. Jadi saya nggak punya waktu ikut ekstrakulikuler." 

"Hm, jadi begitu. Itu kenapa?" Hamzah Rusdi menunjuk tanganku. "Kayak habis ninju sak." 

Ah, tanganku. Kenapa matanya jeli sekali? Jangan-jangan dia punya perhatian khusus. Jadi sebenarnya meninju Muhammad Hanif Solihin itu tidak tanpa efek samping. Karena terlalu berapi-api, jadi tanganku kena sedikit memar. Rahangnya lumayan keras. Aku juga sempat tergores risleting jaketnya. Tapi sebenarnya luka gores dan sedikit memar di tanganku itu tidak akan tampak dengan mudah, kecuali kalau yang melihat benar-benar memperhatikan. 

Mungkin Hamzah Rusdi memang perhatian padaku. 

Tapi sekarang masalahnya, bagaimana aku harus menjelaskan kalau aku meninju Muhammad Hanif Solihin? 

Hamzah Rusdi masih melihatku, menuntut jawaban. 

Aku memalingkan muka ke arah kolam renang. Ubin biru bujur sangkar kecil ditatah rapi di dasar kolam, suatu estetika yang mengagumkan. Tiba-tiba aku ingin berenang. Aku ingin berenang dan bicara panjang dengan orang di depanku itu. 

"Aku menghajar orang." 

Bukannya terkejut, Hamzah Rusdi justru meletakkan tangannya di pundakku. Tangannya yang kokoh itu pasti terbiasa meninju sak, tapi aku yakin sekali, dia pasti tidak pernah menggunakannya untuk meninju orang. Setidaknya, tidak dalam sepuluh tahun terakhir. 

Aku menjadi malu. 

"Erwin cerita ke saya." Wajahnya prihatin. 

Oh, jadi Erwin yang menceritakan padanya. 

"Kamu tidak salah menjadi marah seperti itu, tapi kalau saya boleh memberi nasihat sedikit," Hamzah Rusdi menahan kata-katanya sejenak, "saya tahu kamu sebenarnya anak yang baik. Bagaimanapun juga, dia adalah ayahmu. Kalau kamu marah, itu wajar. Tapi kalau kamu memaafkan ayahmu, itu baru luar biasa." 

Kombinasi dari sinar matahari pagi yang tiba-tiba memanas, tangan Hamzah Rusdi di pundakku, kata-katanya yang menohok dalam, dan sejuta perasaan aneh lain yang meneror sekujur rasa dan tubuhku menghangatkan pundi-pundi air mata. 

Tiba-tiba aku berada pada dilema yang hebat antara malu menangis di depan Hamzah Rusdi sehingga ingin berlari ke kamar mandi atau ingin sekali dipeluk oleh orang di depanku itu. 



Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now