XVIX. Dosa

9 0 0
                                    

Muhammad Hanif Solihin

"Mas, nanti jangan pulang kemalaman ya, kasihan Kiara."

Dulu, istriku selalu mengatakan itu tiap pagi sebelum aku berangkat ke kantor. Kalimat itu berat di telingaku. Lama-kelamaan, kalimat itu semakin jarang dia ucapkan. Mungkin Windu tidak ingin membebaniku.

Pagi ini dia mengatakan itu lagi, setelah lama tidak mengatakan itu.

"Aku pasti—" tidak, itu kata yang salah. Aku tidak bisa berjanji. "Aku akan berusaha."

"Hari ini Kiara ulangtahun."

Kiara ulangtahun? Sekarang tanggal berapa sih? "Oh iya, hampir lupa. Untung kamu ingetin."

"Kamu sih, masa sama ulangtahun anak sendiri lupa."

"Aku sama ulangtahunku sendiri saja sering lupa," aku memakai sepatu dan menutup risleting jaket. Windu menyerahkan bekal yang sudah dia siapkan dari sebelum subuh tadi untukku. Kemudian dia menyalamiku.

"Berangkat dulu, ya."

"Hati-hati di jalan."

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikum salam."

Kami sudah sepuluh tahun menikah. Windu tidak pernah bosan melakukan itu. Dia selalu membuat bekal dan mengantarku sampai pintu depan. Dan aku berharap dia tidak akan pernah bosan sampai aku pensiun nanti.

Sebagai seseorang dengan dosa besar di masa lalu, Windu adalah anugerah yang tidak akan kusia-siakan. Windu, Kiara, dan janin di rahim Windu berharga seluruh hidupku.

Tapi, ada satu hantu di pikiranku yang kadang masih terlintas di pikiranku. Kadang, di jalan, aku melihat anak-anak berseragam SMA. Aku bertanya-tanya apakah selama ini aku sebenarnya pernah berpapasan dengan anakku, tapi aku tidak tahu kalau itu anakku.

Namanya saja aku tidak tahu. Dia perempuan atau laki-laki aku juga tidak tahu.

Aku mencari seseorang yang aku tidak tahu sama sekali identitasnya. Yang kutahu, ibunya bernama Saraswati Anwar.

Saraswati Anwar adalah korban dosa besarku di masa lalu. Kami kawin lari. Aku baru setahun lulus kuliah, Saraswati tidak punya background pendidikan yang cukup untuk mendapat penghasilan layak. Aku bekerja sebagai kurir dengan gaji kecil. Hidup kami sulit. Kekurangan uang menggerogoti cinta dan komitmen. Ternyata aku tidak menyelamatkan kembang desa itu dari perjodohan dengan juragan sawah di kampung. Aku melemparkannya ke neraka yang lebih dalam: rumah tangga penuh kesengsaraan dengan seorang alkoholik.

Barang haram itu menjadikanku iblis.

Malam itu, aku memukuli istriku yang hamil empat bulan. Esok paginya, Saraswati menghilang. Aku tidak pernah melihat ataupun mendengar kabar apapun darinya sejak hari itu.

Windu tahu masa laluku, tapi dia membuka tangannya untukku. Kalau bukan karena dia, mungkin sampai sekarang aku masih menangis tiap malam. 

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now