XII. Dewomanized

14 0 0
                                    

Gadis Saraswati

Ibu pernah memberiku selembar uang seratus ribu sebelum berangkat sekolah, berkata, "Nih, buat beli rok seragam yang panjang." 

Saat itu sudah semester dua kelas sembilan. Hanya orang kelebihan uang yang membeli seragam baru di semester terakhir, sementara seragam lama masih pas. Tapi aku tahu Ibu mempertimbangkan hal hal lain. 

Anak-anak perempuan lain di kelasku sudah 'jadi wanita' sejak mereka kelas tujuh atau delapan, bahkan ada dua-tiga yang sejak SD, tapi siklus pertamaku baru dimulai saat kelas sembilan. Sejak hari itu, hidupku terasa jauh lebih sulit. 

Aku tidak pernah bilang ke Ibu kalau Reza dan Agam menonton betisku saat pendalaman Bahasa Indonesia, tapi Ibu paham aku perlu rok panjang. Saat itu, standar seragam sekolah adalah rok selutut, bukan rok panjang. Hanya yang berjilbab saja yang umumnya memakai rok panjang. Aku tidak pernah berjilbab seumur hidupku, aku juga merasa itu tidak perlu karena kalau aku berjilbab, budget yang perlu dikeluarkan untuk merombak isi almariku akan luar biasa. Aku bukan orang pertama yang memakai seragam rok panjang tanpa jilbab di sekolahku, tapi aku termasuk segelintir yang pertama. 

Ibu peduli pada hal-hal seperti itu. Sampai berumur empat puluh pun masih diganggu, apalagi waktu muda dulu. Pasti Ibu menderita. 

Ibu sering mengulangi pesan "Hati-hati di jalan, jangan naik angkot yang mencurigakan" seperti rekaman pengingat 'periksa kembali barang bawaan Anda' di kereta api sebelum berhenti di stasiun.

Sayangnya, bagaimana aku tahu yang mana angkot mencurigakan yang mana angkot tidak mencurigakan, semuanya terlihat sama saja. Copet biasanya masalah besar, tapi hanya copet bodoh yang mencopet dari anak sekolah bersepatu dekil. Masalahku adalah orang-orang berotak mesum. Selama dua tahun terakhir, aku bertemu dua. Aku pernah menyaksikan itu, meskipun bukan aku korbannya. Mbak-mbak yang jadi korban langsung berteriak, lalu bapak-bapak itu dijotos oleh dua cowok SMA di sebelah korbannya, kemudian diusir dengan tidak hormat. 

Jotosan itu mungkin melanggar hukum, tapi, hah, rasain. 

Kasus kedua berbeda. Tidak ada teriakan, tidak ada jotosan, tidak ada pengusiran, tapi justru yang inilah yang membekas sangat jelas di ingatanku. Mereka duduk bersebelahan di angkot yang agak sepi, hanya ada lima orang. Dua orang lainnya sibuk mengobrol, sementara aku melihat orang mesum itu melakukan aksi menjijikkan pada perempuan di sampingnya yang jelas tidak suka tapi tidak berani berkata apa-apa. 

Aku tidak tahu alasan perempuan itu diam saja, tapi sepertinya mereka kenal satu sama lain karena mereka turun di tempat yang sama. Mungkin dia malu, karena aku saja yang melihat juga ikut malu sekali, sampai-sampai menegur pun aku harus berpikir cukup lama. Apakah aku harus pura-pura tidak melihat atau aku harus melabrak orang itu? 

Akhirnya aku melabrak orang itu. Tapi pada saat yang sama juga, mereka berhenti dan bersama-sama turun dari angkot. 

Kejadian itu menghantuiku berminggu-minggu. Kenapa mereka turun bersama? Apa yang mereka lakukan setelah itu? Apakah aku baru saja membiarkan seseorang diperkosa? Tapi kenapa perempuan itu diam dan menurut saja meskipun jelas-jelas dia tidak suka? 

Hari itu, aku sedang sial. Kali itu, bukan saksi lagi. 

Aku pulang kesorean dari diknas DKI. Setelah salah rute gara-gara ketiduran di Transjakarta, aku capek sekali dan harus berdesak-desakan di angkot sumpek. Bahu kananku bergesekan dengan ibu-ibu di kananku, bahu kiriku bergesekan dengan bapak-bapak di kiriku yang ternyata orang mesum menjijikkan. Dalam keadaan seperti itu, gesekan tubuh sudah biasa, tapi orang mesum di sebelah kiriku menggesekkan tubuh padaku seperti ingin menyedurukku. Gesekan saja tidak cukup, lama-lama dia memegang paha atasku. 

Jadi kupukul tangannya pakai map plastik soal-soal olimpiadeku keras-keras. Aku marah sekali, malu sekali, dan orang ini menyerang saat aku sedang capek-capeknya. Seisi angkot langsung tahu apa yang terjadi. Segerombol ibu-ibu di kananku mendepak orang itu keluar angkot. Mereka bersimpati padaku, bertanya apakah aku tidak apa-apa. 

Kubilang aku tidak apa-apa. 

Aku turun tujuh menit kemudian di pintu perumahan. Aku masih harus berjalan tujuh ratus meter. Rasanya aku ingin merangkak sambil menangis saja. Kalau saja aku bisa menelepon Ibu agar menjemputku, tapi aku tidak punya benda yang dimiliki semua remaja yang bernama HP itu. 

Ya Tuhan, kenapa Kau mengujiku sekarang? Besok aku harus berperang mengalahkan Jimmy Chou dan puluhan otak Biologi paling cemerlang dari seluruh Indonesia, tapi sekarang aku seperti pecundang lemah yang menangisi nasib di bawah hujan saat langit sudah gelap. 

Namun sekali lagi, malaikat yang bernama Hamzah Rusdi itu datang di saat yang tepat.

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now