XIV. Drama Korea

24 0 0
                                    

Jimmy Chou

Aku tidak menyangka akan bertemu Erwin di tempat olimpiade. Pintu lift terbuka, tiba-tiba tampak Erwin berdiri di depanku, karena aku orang terakhir yang masuk lift sehingga paling frontal di depan pintunya. Dia masih pakai seragam. 

"Loh, Win, lu ngapain di sini?" 

"Gue mau jemput Gadis." Bertepatan dengan itu, gerombolan orang di lift bubar dan tampaklah Gadis yang tadi terjepit di pojokan. Erwin langsung sumringah melihatnya, "Nah, itu dia." 

"Lu kenal Gadis?" 

"Yaiyalah orang kita tinggal serumah." 

Tinggal serumah? What the--?! 

"Mas kenapa jemput saya?" 

"Gapapa, sekalian pulang sekolah sekalian jemput kamu." 

Itu dusta paling tolol yang pernah kudengar. Dari sekolah kami ke gedung ini hampir dua puluh kilo, dan arahnya berlawanan dengan sekolah ke rumah Erwin. 

"Pak Hamzah yang suruh Mas?" 

"Enggak, aku sendiri yang jemput kamu. Yuk kita pulang," Erwin dengan santainya menarik tangan Gadis seperti di drama-drama Korea. 

Gadis berusaha menarik tangannya, tapi tangan macho khas pebasket Erwin hampir-hampir dua kali lebih besar dan tiga kali lebih bertenaga daripada tangan Gadis yang saking femininnya terlihat seperti tanpa daya. 

Rasanya aku seperti nonton acara tarik tangan dalam acara reality show paling lebay sedunia. 

"Mas, jangan tarik-tarik tangan orang sembarangan." 

"Udah, ayo pulang, aku terlanjur jemput kamu." 

"Mas, tolong." Wajah Gadis sudah marah kesal tapi Erwin tidak sadar juga kalau yang dia lakukan itu salah.

Sebenarnya aku agak kasian pada Gadis tapi perseteruan 'udah lu cepetan ikut gue nyusahin aja lu' dan 'lepasin tangan gue najis lu' terlalu intens, aku tidak tahu harus menginterupsi bagaimana. 

"Erwin!" Gadis berseru keras, penuh kemuakan. Wajahnya merah sekali. Aku bisa mendengar nafasnya memberat dari jarak setengah meter. Dalam sekejap, semua mata di lobi beralih ke arah mereka. Gadis akhirnya terbebas dari drama tarik tangan itu, tapi sekarang mereka berdua jadi pusat perhatian seisi lobi. 

Harus kuakui, seruan Gadis tadi adalah seruan paling galak yang pernah keluar dari mulut seorang gadis sebaik dan sepintar Gadis. 

"Tolong. Kalau kamu menghormati saya sedikit saja, jangan memperlakukan saya seperti tadi." 

Kemudian aku, Erwin, dan seisi lobi melihat Gadis menghilang dari pintu keluar. 

"Win, lu nggak sopan banget sama cewek." 

Sambil menatap kosong ke arah pintu keluar, Erwin menggumam, "Bisa gila gue lama-lama." 

"Emang hubungan kalian apaan kok sampai tinggal serumah? Dia manggil lu 'Mas' lagi. Aneh banget." 

"Ibunya kerja di rumah gue, jadi housekeeper gitu." 

"Oooh..." ini parah. Anak majikan terobsesi sama pembantunya. Macam sinetron saja. Tapi wajar sih kalau menurutku, Gadis cantik begitu. Erwin gampang takluk sama makhluk seperti Gadis karena matanya lebih maju daripada otaknya. 

"Judes banget gitu doang marah."

"Lah kan lu duluan yang tarik-tarik tangan dia sembarangan." 

"Tarik tangan apa salahnya sih? Udah baik-baik gue jemput dia malah kayak gitu." 

"Win," kutepuk bahunya. Sekarang saatnya aku sok bijaksana dan ganti merendahkannya. Biasanya selalu dia yang merendahkanku dalam banyak hal, hanya karena dia merasa lebih keren dengan embel-embel kapten tim basket populer gampang dilirik cewek. "Gadis tu gak suka sama lu, jadi jangan maksa." 

"Dia tu cuma jual mahal. Liat aja nanti pasti takluk sama gue." 

Ini. Sikap ini yang paling tidak kusukai dari Erwin. Dia pikir semua orang suka dia. Banyak orang hancur karena sikap seperti ini. Dan sikap ini juga sudah menghancurkan banyak orang. 

"Win, jangan ngerusak Gadis." 

"Maksudnya?" 

"Lu nggak belajar? Udah lupa sama Vivian, Eli, Melissa, Clara? Udah cukup. Jangan Gadis, dia terlalu bagus." 

"Jim, maksud lu apaan?" 

"Ya lu tahu maksud gue apa." Aku cepat-cepat pergi sebelum Erwin jadi anarkis gara-gara kusebutkan deretan mantannya. Erwin benci diingatkan pada sejarah kegagalannya karena jauh di dalam, dia pasti sadar kalau dialah masalahnya, bukan gadis-gadis itu.

"Jim!" Erwin menarik bahuku, menahanku pergi. 

Lihatlah. Kubilang juga apa. Orang ini anarkis. 

"Lepasin, Mami gue nungguin di luar. Gue mau pulang. Lu gausah aneh-aneh, malu diliatin orang." 

Erwin akhirnya sadar kalau orang-orang memandangnya dan dia adalah villain. Dia melepasku.  



Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now