XX. Metode Ilmiah Memasak

17 0 0
                                    

Saraswati Anwar

Selesai olimpiade nasional kemarin lusa, Gadis lebih banyak diam. Aku tidak tahu kenapa. Sekarang pun, saat membantuku memasak untuk makan malam, dia juga diam. Padahal biasanya Gadis paling cerewet kalau sedang di dapur bersamaku dan Lastri.

"Bu, bawang itu jangan ditaruh kulkas, cuma menuh-menuhin aja. Orang bawang dikeringin biar bisa awet, jadi gak usah ditaruh kulkas."

"Bu, kalau masak tu jangan pelit-pelit kasih tomat. Tomat itu banyak antioksidan sama vitamin C-nya, penyedap alami lagi. Kasih tomat yang banyak."

"Bu, kalau masak jangan lama-lama, rusak semua nutrisinya."

"Bu, ngapain juga bawang putih diiris? Bawang putih tuh digeprek, biar lebih keluar atsirinya."

"Bu, sayuran tu jangan direbus, dikukus. Air rebusan yang Ibu buang itu bagian berharganya, Bu."

Dia sok pintar. Dia memang pintar, tapi metode ilmiah memasaknya dalam memasak itu sulit diterima lidah orang umum. Masakannya selalu kurang asin. Kalau kutambah garam, dia bilang, "Jangan, ini sudah melebihi batas konsumsi sodium harian. Ibu mau kena darah tinggi?"

Kalau Gadis tidak sok pintar, maka dia akan bicara tentang hal-hal acak, misalnya orang yang dia lihat di angkot saat pulang sekolah, guru seninya yang suka joget-joget di depan kelas, atau teman sekelasnya yang kena razia rambut.

Sekarang, dia diam. Rasanya aneh hanya mendengar pisau mengetuk-ngetuk alas potong.

"Tumben diem aja," kataku.

"Huh?" Gadis sepertinya tidak berminat bicara.

"Biasanya kan kamu ngomong terus."

Gadis tidak membalas. Dia mencuci udang. Begitu selesai, dia berdiri menghadapku. "Bu, kalau aku pakai jilbab gimana?"

Jilbab? Apakah selama tiga hari terakhir Gadis jadi diam memikirkan jilbab?

"Kamu pengen pakai jilbab?"

Dahi Gadis berkerut sedikit. Jari telunjuknya bolak-balik menyusuri pinggiran kompor. Aku tahu wajah itu. Itu adalah wajah yang sama seperti waktu berpikir dia akan beli HP atau tidak. Itu bukan pertimbangan antara dua hal mana yang lebih baik, melainkan pertimbangan satu hal yang dia ingin dan perlukan, tapi apakah itu memang benar-benar sangat diperlukan.

"Ya... gitu, Bu."

"Kenapa tiba-tiba?"

"Ya, aku merasa," dia berhenti sebentar, mungkin mencari kata yang tepat, "aku diberi peringatan dan diberi petunjuk."

"Maksudnya diberi peringatan dan diberi petunjuk?"

"Ya..." dia berhenti lagi, "gitu deh."

"Ibu nggak paham. Ceritain dong, yang jelas."

"Ya..." kata 'ya' panjang itu tidak kedengaran terlalu enak di telingaku. "Aku tuh punya temen di kelas, namanya Maryam. Dia pakai jilbab. Dia jarang diganggu anak-anak cowok."

Oh, jadi itu pertimbangannya. Bukan rahasia lagi kalau Gadis punya masalah dengan semua anak laki-laki. Aku melarang keras dia terlalu dekat dengan mereka, karena laki-laki akan merusak segalanya, terutama pada seumuran Gadis. Aku dulu waktu muda juga berusaha mejaga jarak, tapi mereka tetap dekat-dekat.

Tapi, aku hampir-hampir tidak pernah kepikiran untuk memakai jilbab. Memakai saja tidak, apalagi mengajari Gadis untuk memakai jilbab. Dari kecil, keluargaku memang tidak terlalu perhatian pada hal-hal seperti itu. Gadis juga tumbuh besar tanpa diajari agama dengan benar. Yang jelas kami Islam, tapi ibadah kami hanya alakadarnya.

Entah kenapa, pertanyaan Gadis tentang jilbab itu membuatku merasa agak berdosa sebagai orangtua. Seharusnya aku yang mengajari dia, bukan dia yang 'menyadarkan' aku.

"Bagus, sih. Tapi berarti kamu harus beli jilbab dong?"

"Iya. Tapi ya nggak langsung beli banyak sih, paling aku beli jilbab buat seragam dulu. Sama kemejanya yang panjang."

"Kamu ada uang?"

"Ada, dari jualan risol. Tapi nggak pa-pa, Bu? Kan harusnya dikumpulin uangnya. Hutang kontrakan kemarin juga belum lunas."

"Sudah lunas, kok. Kontrakannya sudah ibu lunasin kemarin lusa," dustaku.

Dahi Gadis bekerut. "Pakai uang apa?"

"Kemarin gajian," dustaku lagi.

"Loh, kok aku nggak tahu Ibu gajian?"

"Kan kamu sibuk olimpiade."

"Oh, iya."

"Kamu pakai aja uang risol, toh itu yang usaha juga kamu, jadi itu uangmu."

"Makasih ya, Bu. Ibu baik deh. Cantik lagi."

"Udah, gausah gombal. Tuh, geprekin serehnya. Kamu kan sukanya geprek-geprek."

Kemudian Gadis menggeprek serai. Aku mengiris bawang merah sambil menahan rasa haru ingin menangis. Anakku baik dan hebat sekali, padahal aku tidak pernah mendidiknya menjadi begitu. Dia bisa mencari uang, dia menabung, dia selalu rangking pertama, dia olimpiade tingkat nasional, dia hidup sulit tapi tidak pernah mengeluh, dan sekarang dia ingin berjilbab.

Ya Tuhan, apa lagi yang bisa kuminta darinya? Dia yang seharusnya meminta dariku. 

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now