XVI. Vacant Ride

11 0 0
                                    

Wendi Mulya

Sejak Teh Rumi jadi almarhumah, Kang Damang jadi galau. Kata Pak Bos, nyetir jadi nggak fokus, dia menabrak taksi. Akhirnya Kang Damang berhenti jadi supirnya Pak Bos, pulang ke Ciwidey ke rumah anaknya. Kang Damang menjadikanku pengganti supirnya Pak Bos.

Pak Bos orangnya baik, dia nggak marah waktu Kang Damang nabrak taksi. Dia paham keadaan Kang Damang. Pak Bos juga memberi pesangon yang banyak waktu Kang Damang berhenti jadi supir. Pak Bos juga baik sama saya, satu bulan kerja jadi supir saya sudah diajak makan dua kali di rumah makan. Katanya, jangan sungkan-sungkan, daripada dia makan sendiri.

Tapi kata Kang Damang, Pak Bos agak aneh. Saya tanya, aneh bagaimana, tapi Kang Damang cuma bilang, "Aneh, pokoknya. Nanti lihat saja."

Sekarang aku paham maksudnya 'aneh'. Kadang, kalau siang-siang jadwalnya tidak padat, Pak Bos suka jalan-jalan di taman dekat kompleks sekolahan. Dia suka memberi cokelat, permen, atau jepit rambut ke anak-anak yang lewat. Kadang Pak Bos ngobrol dengan mereka sampai setengah jam.

Pernah saya tanya, kenapa Pak Bos baik sekali sama anak-anak itu. Katanya, "Sebenarnya dulu, setelah Erwin, saya ingin punya anak perempuan. Tapi istri saya sudah almarhum, jadi ya... begitulah."

Pantas saja Pak Bos baik sekali sama anak perempuan. Kemarin juga waktu papasan sama Neng Gadis di gerbang perumahan, Pak Bos langsung kasih tumpangan. Saya dengar percakapan mereka. Sebenernya sih nggak pantes kalau saya ikut campur mereka, tapi tugas saya kan cuma nyetir. Lagian saya nggak bisa bantu masalahnya Neng Gadis.

Pak Bos sepertinya peduli sekali sama Neng Gadis. Besok paginya, Pak Bos ngantar Neng Gadis ke acara lomba. Pulangnya, Pak Bos juga suruh saya jemput Neng Gadis. Tapi saya lihat Mas Erwin keluar dari mobil di parkiran. Ternyata Mas Erwin juga jemput Neng Gadis.

Aneh, nggak biasanya Mas Erwin ke sekolah bawa mobil. Saya heran, jadi saya tanya Neng Gadis, "Mas Erwin juga jemput, Neng?"

"Iya, Mas."

"Tapi kenapa? Kan sudah saya yang jemput?"

"Aku juga nggak tahu, Mas. Udah, nggak usah dipikirin, ayo pulang."

"Tapi Mas Erwin gimana, Neng? Masa ditinggal gitu aja?"

"Udah, nggak pa-pa, jalan saja. Tadi aku sudah ketemu Mas Erwin, dia sudah tahu kalau aku mau pulang sendiri."

"Tapi kasian kan Mas Erwin sudah jemput jauh-jauh ke sini?"

"Aduh, Mas Wendi sebenernya mau jemput saya apa enggak?"

"Ya mau jemput lah Neng, tapi taunya Mas Erwin juga jemput. Saya kan nggak enak sama Mas Erwin."

"Sebentar, sebentar," Neng Gadis keluar mobil lalu menelepon seseorang. Cuma sebentar, kemudian dia masuk lagi. "Aku sudah telfon Pak Hamzah. Katanya aku pulang sama Mas Wendi."

Saya bingung. Sebenarnya ini ada apa? Sepertinya Neng Gadis bener-bener nggak sudi diantar pulang Mas Erwin sampai-sampai ngadu ke Pak Hamzah.

Tiba-tiba Pak Hamzah nelpon saya. "Halo, Pak Bos?"

"Halo, Wen, kamu antar Gadis pulang, ya? Biarin saja Erwin nanti saya yang urus. Trus nanti kalau sudah antar Gadis, cepetan balik ke kantor, hari ini saya pulang jam tiga."

"Siap, Pak Bos."

"Nah, ayo cepetan pulang."

Saya nurut Pak Bos saja, disuruh ngantar pulang Neng Gadis ya saya antar, tapi saya tetap penasaran. "Kenapa Neng nggak mau pulang sama Mas Erwin?"

"Dia itu suka ganggu."

Baru keluar ke jalan, saya baru sadar kalau di belakang saya mobilnya Mas Erwin. "Neng, tuh Mas Erwin di belakang."

"Masa? Duh, iya."

"Pasti Mas Erwin marah sama saya, Neng. Neng harus tanggung jawab kalau nanti saya dimarahin Mas Erwin."

"Udah, nggak usah khawatir."

Maunya sih nggak khawatir, tapi tetep saja saya khawatir. Saya nggak enak sama Mas Erwin. Dan perasaan saya nyetir sudah kencang, tapi Mas Erwin bisa nyalip saya. Anak muda jaman sekarang kalau nyetir memang pada ngawur. Padahal itu kan bahaya. 

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now