VI. Oksidasi

18 1 0
                                    

Erwin Brahma Rusdi

Aku paham simpati Papa yang dalam pada pelayan restoran Hotel Samsara dua minggu lalu itu, tapi I just can't understand maksud Papa yang secara eksklusif merekrut dia dan anaknya menjadi asisten rumah tangga pengganti Bi Rumi. Memberi uang 250 ribu secara cuma-cuma dan memasukkan orang dengan sengaja ke rumah kami itu dua hal yang vastly different

Diam-diam aku mengira kalau Papa sudah melajang terlalu lama sampai-sampai lihat pelayan janda cantik seperti lihat damsel in distress. Macam sinetron saja duda kaya raya naksir sama pelayan. 

Tapi akhirnya, aku lah yang lebih sering diserang kecanggungan. Mungkin karena Gadis seumuran denganku (cuma selisih setahun, dia kelas dua aku kelas tiga) dan jujur saja, ini adalah pertama kalinya sejak break up sama Clara, aku bisa lihat cewek yang lebih cantik dari dia. This is so awkward, terutama saat aku tiduran di sofa ruang tengah sambil nonton TV, sementara Gadis ngepel sambil baca buku, masih dengan seragam putih abu-abu-nya. Kesannya seolah-olah aku ini pemalas sementara dia rajin. To make it worse, Gadis mengingatkanku pada dua perempuan yang paling tidak ingin kuingat-ingat di saat seperti ini: Mama dan Clara. 

Entah ini cuma mataku atau bagaimana, tapi menurutku, hidung dan tulang rahang Gadis itu persis sekali seperti punya Mama. Gadis juga sering menguncir rambutnya tinggi pakai ikat rambut hitam polos, mirip Clara. 

Kenapa aku jadi nonton Gadis? Aku kan lagi nonton TV. 

Layar datar yang lebar itu menampilkan ngarai merah Grand Canyon. Naratornya menjelaskan bagaimana batuan menjadi merah saat Bumi mengalami fase 'ledakan oksigen', kemudian angin mengerosi batuan-batuan tersebut, membentuk lekuk-lekuk ngarai selama ribuan tahun. 

Tiba-tiba saja suara pel diperas lebih menarik daripada suara Bapak Narator yang dalam dan datar itu. 

Insting dasar makhluk tertarik dengan yang indah. Insting dasar merak betina tertarik dengan bulu merak jantan yang paling besar, indah, dan mencolok. Insting dasar homo sapiens sapiens jantan tertarik dengan homo sapiens sapiens betina dengan wajah simetris, lustrous hair, full lips, dan rasio pinggang-pinggul 0,6-0,7, bukan tertarik dengan ngarai batu merah. 

"Baca apa?" 

Sebenarnya dari sini aku bisa lihat kalau dia baca buku perpustakaan yang sepertinya dicetak dengan mesin cetak dari zaman Guttenberg. Kertasnya coklat seperti habis direndam kopi, pinggirannya dimakan rayap, dan sampulnya koyak tapi aku bisa membaca judul huruf balok hitam besar-besar: OTAK MANUSIA. 

Semua pertanyaan PDKT adalah basa-basi. 

Gadis sepertinya agak terkejut aku bicara padanya. "Oh, ini," dia berhenti mengepel sebentar, menunjukkan sampulnya ke arahku, "Otak Manusia."

See? I have 20/20 vision.

"Emang kamu bisa baca sambil ngepel?" 

"Bisa," katanya sambil menggosok-gosokkan kain mirip rambut gimbal itu ke lantai, tanpa mengalihkan pandangan dari Otak Manusia

"Sambil ngobrol juga bisa, nggak?" 

Gadis berhenti mengepel dan menurunkan Otak Manusia. Dia menatapku lurus, lalu tanpa sepercik pun malu atau sungkan berkata, "Maaf Mas, tugas saya di sini sekarang cuma ngepel. Kalau saya terlalu akrab sama Mas, nanti ibu saya curiga." 

Right at that point, I laughed. I just couldn't help it. Dia strive banget, dia tahu motifku dan nggak pura-pura bego seperti perempuan pada umumnya. 

"Apa yang lucu?" 

"No, no, gapapa kamu terusin ngepel aja." 

Aku tidak bisa mengusik Gadis, jadi aku hanya diam seperti orang tolol, menonton film dokumenter Grand Canyon. I didn't last long, actually. Lima menit kemudian, aku kabur ke kamar. Lebih baik begitu daripada teroksidasi di ruang tengah hanya karena suara pel dan kuncir Gadis yang bergoyang-goyang. 

Di kesempatan lain, justru Gadis yang mengajakku bicara duluan. Saat itu hampir tengah malam. Papa ke Tokyo, jadi tidak ada yang melarangku begadang nonton Liga Champions. Kami berpapasan di lorong antara dapur dan ruang makan. Berbeda denganku yang berangkat mengambil camilan dengan wajah sumringah, Gadis barusan mengairi penuh botol satu liter, wajahnya terlihat capek sekali. Dia memandang foto(culun)ku, Mama, dan Papa di depan Hagia Sophia. 

"Istanbul bagus, Mas?" 

"Oh, bagus, bagus banget. Kenapa emang?"

"Aku pengen ke sana."

Tadinya aku mau bilang, "Aku bisa minta ke Papa beliin tiket jalan-jalan ke sana sama kamu" tapi nanti kedengarannya aku seperti bocah manja yang obsessive, jadi aku cuma bilang, "Oh." 

"Tapi aku harus menang tahap nasional dulu."

"Tahap nasional? Maksudnya?"

"IBO tahun ini di Istanbul." 

"IBO... International Biology Olympiad?" 

Gadis mengangguk.

This girl is super. Sekarang aku tahu kenapa dia ngepel, cuci piring, nyapu, makan, semuanya sambil baca buku. Otak Biologi paling cemerlang di kelasku, Jim, juga kemana-mana menempel buku. Ternyata ada female version of Jim tinggal seatap denganku. Sasaran mereka juga sama. 

"Kamu sudah lolos provinsi?" 

Gadis mengangguk. 

"DKI yang lolos lebih dari satu?" 

"Iya, soalnya skornya memang tinggi-tinggi." 

"Berapa yang lolos?"

"Tiga."

"Ooh, lumayan banyak berarti. Eh, kamu kenal cowok yang kemarin juara satu waktu seleksi provinsi? Anaknya kurus pakai kacamata?" 

"Jimmy Chou?" 

"Ya, ya, dia temen sekelasku. Tiap hari kerjaannya baca bukuuu aja kayak kamu. Malah lebih parah. Dia nggak bisa diajak ngobrol saking ambisiusnya pengen lolos tahap nasional." 

Sedetik kemudian, wajah Gadis berubah dari ngantuk-capek-aku-ingin-menyerah-tapi-tidak-boleh-menyerah menjadi waswas. Dia langsung kabur tancap gas lanjutin belajar. Sepertinya nama 'Jimmy Chou' adalah bensin Pertamax bagi Gadis untuk belajar, belajar, dan belajar tidak peduli sekarang tengah malam, tidak peduli tubuhnya mengibarkan bendera putih. 

Kalau aku jadi Gadis, mungkin aku sudah pingsan kecapekan. Mana bisa satu manusia menjadi asisten rumah tangga, siswa, peserta olimpiade, dan pedagang risol sampingan di waktu yang sama? Belum lagi waktu dan energi yang terkuras karena dia harus naik angkot dua kali gara-gara sekolahnya jauh dari tempat tinggalnya sekarang. Sometimes I wonder, dengan status siswa plus peserta olimpiade, kenapa ibunya tidak mengambil alih semua tugas housekeeping dan menyuruh anaknya belajar saja? Atau Gadis terlalu baik sehingga ibunya tidak bisa menghentikan dia? 

Entahlah. 

Tapi mungkin.... Papa bisa mengubah itu.



Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now