XXIII. Duka

11 0 0
                                    

Windu Mutiara

Setelah lulus dari ITB, aku melanjutkan S2 di NUS. Setelah NUS, aku dapat pekerjaan dengan gaji lumayan menggiurkan di Singapura. Aku benci pekerjaan itu, aku menangis hampir tiap malam sepulang kerja, tapi aku berusaha bertahan demi masa depan dan kebahagiaan orangtuaku. Tapi semua itu berakhir ketika ibuku menelepon suatu siang saat aku di kantor, ayahku mendadak meninggal karena serangan jantung.

Besuknya, aku mengajukan surat pengunduran diri dan memesan tiket pesawat. Aku pindah ke Singaparna bersama ibu dan tidak pernah kembali lagi ke Singapura. Masa tiga bulan berduka di Singaparna itu adalah masa-masa paling damai dalam hidupku. Sejak saat itu, aku dan ibuku menjadi sangat dekat. Aku tidak ingin meninggalkan atau ditinggalkan ibuku.

Tapi hidup harus berjalan. Aku sudah selesai dengan Singapura, aku harus cari kerja tapi aku juga tidak ingin meninggalkan ibuku jauh-jauh. Jadi aku dan ibu pindah ke Jakarta, mengikuti tempat kerjaku yang baru.

Di Jakarta, aku bertemu Hanif. Kami sering bertemu di masjid dekat kantorku. Kebetulan kantor kami satu kompleks. Dia kalau berdoa lama sekali, malah aku sempat melihatnya menangis. Mungkin tabu sebagai orang dewasa, bertanya tentang sebab seseorang menangis saat berdoa, apalagi saat di masjid, tapi Hanif tidak menganggap itu tabu. Dia malah menceritakan semuanya. Kawin larinya, hidup yang sulit, kecanduannya terhadap alkohol, KDRT, dan mantan istrinya yang kabur saat masih hamil.

Kami perlahan-lahan menjadi semakin akrab sejak hari itu. Beberapa bulan kemudian, Hanif bertanya, "Windu, kamu percaya semua orang layak diberi kesempatan kedua?"

Kubilang aku percaya. Tiga hari kemudian, dia melamarku. Satu bulan kemudian, kami menikah. Empat bulan setelah kami menikah, ibu meninggal dan aku menjadi sangat rapuh secara mental. Harus kuakui sebenarnya dari kecil aku cengeng, penakut, pendiam, dan sangat sensitif. Ibu lah yang jadi penguatku, dia bahkan berhasil mendorongku sampai NUS. Jadi ketika ibu meninggal, rasa kehilanganku besar sekali. Aku menangis siang dan malam, jauh lebih parah dari ketika aku masih di Singapura.

Hanif tidak pernah bilang, "Jangan menangis", dia hanya duduk di sebelahku dan menaruh lengannya di bahuku. Pada masa-masa itu, aku merasa Hanif masa lalu yang diceritakannya pernah kecanduan alkohol dan memukul istrinya yang hamil adalah orang lain, karena tidak mungkin orang dengan hati selembut ini bisa melakukan itu.

Aku tidak tahu seperti apa aku sekarang kalau tidak pernah bertemu Hanif. Dia selalu menerima dan memaklumi sifat lembekku. Dia melindungiku dari apapun, jadi ketika aku melihatnya pulang dengan hidung berdarah dan wajah bengkak biru-biru, aku merasa perlu melindunginya.

Ternyata dia diam-diam mencari Saraswati dan anaknya. Dia bertemu anak perempuannya, tapi anak itu marah besar dan memukulinya. Kutanya kenapa dia mencari 'hantu' masa lalunya, padahal sekarang dia sudah punya aku, Kiara, dan satu anak lagi di kandunganku. Kata Hanif, dia merasa perlu. Sebagai penebusan dosa.

Ini salah. Seharusnya anak itu tidak sebenci itu pada ayah yang belum pernah dia temui. Seharusnya dia senang karena ayahnya menemukannya.

Sikapnya itu tidak hanya menghancurkan Hanif saja, tapi juga menghancurkan aku dan Kiara. Ayahnya seharusnya pulang dengan hadiah dan wajah gembira saat ulangtahunnya, tapi malah pulang dengan wajah biru-biru. Bagaimana dia tidak takut? Bagaimana aku tidak khawatir? 

Kuharap duka masa lalu Hanif itu bisa berakhir. Sikap pendiamnya itu menciptakan duka di sekeliling rumah kami. Aku tidak ingin dia seperti itu, apalagi di saat-saat yang semestinya kami gembira. Persalinanku kurang satu bulan, Hanif akan naik pangkat, Kiara sedang giat-giatnya berprestasi di sekolah, tapi sayang sekali kalau Hanif seperti itu. 

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now