XXV. Benang dan Jaring

17 0 0
                                    

Windu Mutiara

Dunia ini sempit. Aku tidak bicara dalam konteks globalisasi. Aku bicara tentang probabilitas dan takdir. Setiap manusia semestinya punya ratusan benang. Kadang benang-benang itu bergesekan antara satu manusia dan yang lainnya. Tapi hanya sedikit sekali dari benang-benang itu yang bisa bergesekan dengan indah dan membentuk jaring-jaring antara dua manusia atau lebih. 

'Jaring'-ku, Hanif, Gadis, dan Hamzah mungkin tidak ada nilai estetisnya, namun secara matematis, harus kuakui takdir ternyata cukup pintar membuat anekdot sarkastis. 

Pertama kali melihat Gadis, sebenarnya aku sempat tertegun. Anak ini cantik sekali. Tapi aura yang dia pancarkan agak berbeda dari aura gadis-gadis SMA pada umumnya. Fisiknya memang remaja, tapi auranya lebih mirip wanita lajang 30 tahun yang banting tulang setiap hari. Kesan itu diperparah dengan keadaan ketika aku melihatnya, rambutnya dibasahi keringat. Sepertinya dia barusan mengepel seluruh rumah. 

"Kamu Gadis?" tanyaku. 

Dia melihatku dengan dahi berkerut. Alih-alih terlihat penasaran, rasa kecurigaannya terlihat dominan. "Iya, saya Gadis. Ibu siapa?" 

"Saya Windu." 

"Maaf, mungkin saya lupa atau bagaimana, tapi saya tidak kenal Ibu." 

"Saya istrinya Hanif." 

Detik itu juga, wajahnya menegang. Dia cukup waras, jadi tidak mungkin dia menghajar orang hamil seperti waktu dia menghajar ayahnya sendiri. 

"Maksud saya baik." 

"Kalau begitu apa maksudmu datang ke sini?" 

"Mengatakan apa yang ayahmu belum sempat katakan." 

"Oke, kalau begitu katakan." 

"Dia menyesal. Dia menyesal memperlakukan ibumu dengan buruk sampai-sampai ibumu pergi dan dia ingin sekali bertemu denganmu." 

Sekarang wajahnya berubah kebingungan. "Tapi dia yang pergi meninggalkan ibuku."

Sekarang aku juga bingung. "Hanif bilang ibumu yang pergi waktu mengandung kamu karena dipukul Hanif waktu mabuk." 

Sekarang Gadis jadi marah. "Apa? Monster macam apa yang memukul wanita hamil?"

"Dia sedang mabuk waktu itu, dulu dia alkoholik, tapi sekarang sudah tidak--" 

"Sebentar, sebentar," dia menutup keningnya, "jadi sebenarnya dia atau ibuku yang pergi?" 

"Ibumu." 

"Tapi ibuku bilang, dia naik kereta dari Stasiun Tugu dan menghilang. Sekarang Ibu bilang, ibuku yang pergi gara-gara dipukul sama dia. Salah satunya pasti bohong, tapi Ibu pikir saya lebih percaya Ibu daripada ibu saya sendiri?" 

Jadi selama ini Gadis berpikir kalau Hanif yang mengabaikan dia dan ibunya. Pantas saja dia murka waktu melihat Hanif. Aku tidak meragukan cerita Hanif, tidak sedikit pun. Gadis telah dibohongi ibunya selama bertahun-tahun. 

"Saya tidak menuntut kamu untuk percaya, tapi tolong, apapun yang dia lakukan di masa lalu, maafkan ayahmu. Dia menderita. Hanya kamu yang bisa menolongnya." 

Kata-kataku tadi sepertinya melemparkan Gadis pada dilema. Aku tahu dia menyesal menghajar Hanif kemarin lusa, tapi di sisi lain dia ingin tetap percaya pada cerita versi ibunya karena ibunya lah yang selama ini di sampingnya. 

"Saya nggak maksa kamu, saya cuma ingin memberi tahu. Semuanya terserah kamu, tapi saya mohon sekali, kalau bisa, berbaikanlah sama ayahmu, dia sudah menjadi orang baik sekarang." 

Gadis masih diam. Dari belakang, muncul seorang wanita memanggil Gadis. "Gadis, bantu ibu sini." 

Gadis gelagapan, "Iya, Bu. Sebentar." 

"Ke dapur ya." 

"Iya." 

Wanita itu hanya melirikku sebentar, lalu pergi. Dia memakai clemek. Mungkin dia memasak makan malam. 

Kalau dipikir-pikir, rasanya sulit dipercaya. Aku baru saja bertemu wanita dari masa lalu Hanif selama beberapa detik. Kira-kira apa yang dia pikirkan kalau tahu aku istri mantan suaminya? 

"Bu, saya boleh minta nomor Ibu? Eh, bukan, maksud saya nomornya suami Ibu?" 

Ternyata cadas ini mudah juga luluhnya. 



Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now