XXVIII. Nyonya Almarhumah

14 0 0
                                    

Erwin Brahma Rusdi

I saw an angel. She's sitting on the backseat.

The reason Papa forbid me to sit on the backseat.

My God. I didn't know Papa had a talent for reality show drama. Papa begitu ke mobil langsung bilang, "Win, kamu duduk depan." Right after that, dia buka pintu tengah lalu bilang ke Gadis, "Kamu sama saya sini."

Jujur saja ya, entah kenapa pikiranku miring-miring waktu melihat Papa sama Gadis. Papa jadi mirip sugar daddy. Memang bukan rahasia kalau dari dulu Papa ingin punya anak perempuan (karena aku saja not enough buat dia), tapi sekarang kalau sama Gadis itu kesannya terlalu over. Gadis kan anaknya orang (meskipun bapaknya menghilang nggak jelas), kenapa Papa yang sok-sokan jadi bapaknya?

Aku menyesal cerita ke Papa kalau suka Gadis. Sekarang Papa menggunakan posisi itu to humiliate me, seperti yang dilakukan Papa waktu berlatih karate tadi. And as if it's not enough, duduk di mobil saja pakai diatur segala, seolah-olah aku bakal nyosor Gadis kalau duduk di sampingnya.

Papa bertanya ke Gadis, "Gimana hasilnya kemarin? Olimpiade nasional kamu?"

"Harusnya hari ini atau besok pengumumannya keluar. Mungkin nanti malam."

"Hm, semoga berhasil, ya?"

"Saya yakin saya akan lolos."

To be honest, I was surprised. Gadis berkata dengan sangat yakin, sehingga seolah-olah secara tidak langsung mengejek kalimat Papa yang mengandung 'semoga' itu. She has become like Jimmy Chou. Belum pernah aku melihat Gadis sesongong itu.

Tapi bagus sih, dia yakin. Such optimism could only be obtained from excellent deduction based on her 'smooth' experience doing the olympiad.

Papa mengangguk-angguk. "Apa yang membuatmu yakin?"

"Saya... saya tahu saja. Saya tidak boleh gagal."

Kalimat kedua itu sounds a bit unpleasant. Kata Papa, "Kamu tahu, semua orang pernah mengalami kegagalan. Tidak apa-apa kalau kamu gagal, tapi kegagalan itu tidak boleh menghentikanmu."

"Iya."

"Tapi kamu sepertinya berambisi sekali memenangkan kompetisi itu. Ada alasan khusus?"

"Karena saya memang ambisius," Gadis kemudian tertawa, menertawai dirinya sendiri. Tapi kemudian tawanya berhenti dan dia berkata serius, "Dan saya ingin masuk FK UI, beasiswa Bidikmisi."

At that moment I suddenly realized, rasanya aku seperti menemukan kebenaran besar, cita-cita tinggi yang mendorong Gadis sampai ke batas-batas melebihi ketangguhan pelajar pada umumnya. Jadi selama ini dia bekerja seperti kuda dan belajar seperti kura-kura lupa dunia di luar tempurungnya, tanpa peduli lelah dan bosan, karena dia sudah punya tujuan yang sangat jelas. Dan dia tahu tujuan itu tidak bisa dicapai tanpa usaha setengah-setengah.

"FK UI," Papa menggumam, "Kamu ingin jadi dokter?"

"Iya."

"Saya dulu juga ingin masuk kedokteran, tapi kuliah kedokteran itu mahal, jadi saya ke teknik sipil ITB."

"Justru alhamdulillah Pak, karena nggak masuk FK UI dan nggak jadi dokter, sekarang Bapak jadi CEO perusahaan besar."

Gadis dan Papa lalu tertawa.

"Cerdas juga kamu. Tapi sulit ya, masuk sana? Apalagi jalur beasiswa."

"Karena sulit itu, makanya saya tidak boleh gagal, apalagi setengah-setengah. Kalau masuk sana saya yakin bisa, tapi kalau mau dapat beasiswa harus ada prestasi, minimal tingkat nasional."

Papa mengangguk-angguk. "Tuh Win, dengerin. Hidup itu harus ada tujuan, rencana, dan usaha yang jelas."

"Iyaaa," jawabku malas. Sebenarnya aku agak malu juga sih. Dia lebih muda, tapi sudah tahu dengan jelas masa depan yang diinginkan. Sementara aku cuma mengalir menurut apa kata Papa karena aku tidak bisa memutuskan masa depanku sendiri. It also makes me a bit more axious since I'm still waiting for LOA from NYU.

"Saya suka sekali sama anak muda seperti kamu. Punya cita-cita, punya semangat. Bagus itu."

"Oh, saya pikir Bapak suka saya karena saya mirip Nyonya almarhumah."

Oh, God, did she actually just say that right in front of Papa's face? What the f***??

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now