VII. Marketing Ndeso

18 1 0
                                    

Saraswati Anwar

Beberapa orang berkata, memberi nama bayi perempuan Gadis adalah kesalahan besar karena Gadis tidak akan selamanya menjadi gadis. Sekalipun dia tidak pernah menikah, tidak pernah punya anak, dan memilih pindah ke Tibet untuk menjadi biksu perawan abadi, suatu saat nanti wajahnya akan keriput dan tulangnya akan keropos, tak akan ada orang yang senang memanggil nenek-nenek Gadis. 

Sejujurnya, aku tidak tahu harus menamai dia siapa. Jadi kunamai dia Gadis karena dia anak perempuan, Saraswati karena dia anakku. Kenapa aku tidak menamainya Putri Saraswati? Karena iparku namanya Putri, keponakanku namanya Putri, dan di kampung tempatku tinggal saat itu, ada tiga orang bernama Putri.

Tapi Gadis tidak pernah memprotes namanya. Mungkin dia berencana memakai nama Bu Saras di masa depan, bukan Bu Gadis. Atau mungkin sebenarnya dia memprotes dalam hati tapi tidak pernah mengungkapkannya padaku karena dia adalah tipe orang yang tidak pernah mengeluh. Hidup kami sudah cukup sulit, jadi mengeluhkan nama tidak ada dalam daftar keluhan, kalau Gadis punya daftar keluhan. 

Pagi ini adalah momentum langka. Gadis mengeluh tentang seseorang bernama Jimmy Chou saat belanja di pasar. Jimmy Chou adalah bocah Cina yang skor seleksi provinsi olimpiade Biologi-nya melebihi Gadis sampai 50 poin. Padahal selisih Gadis dengan peserta di bawahnya hanya empat poin. Belakangan dia tahu kalau Jimmy Chou adalah teman sekelas Mas Erwin. 

Aku tidak tahu apa-apa tentang kompetisi Gadis dan ambisi-ambisinya, tapi Jimmy Chou ini sepertinya pintar sekali, dan dia jelas anak orang kaya, dan Gadis 'takut' padanya. 

"Kalau kamu takut nggak lolos, yang kamu belajar saja. Nggak usah ikut ibu ke pasar, nggak usah ngepel, cuci piring, biar ibu saja. Kamu cuma buang-buang waktu di sini." 

"Capek Bu, belajar terus. Bosan. Ngepel sama cuci piring itu refreshing. Ke pasar juga refreshing." 

"Ngepel sama cuci piring refreshing? Refreshing itu jalan-jalan sama teman-teman kamu. Jangan kayak katak dalam tempurung, nggak pernah keluar rumah sampai-sampai pekerjaan rumah tangga dianggap refreshing." 

"Aduh Buu..." Gadis menggandol lenganku, "harusnya Ibu seneng anak Ibu suka bantu-bantu, ini malah disuruh hura-hura." 

"Ya nggak pa-pa kan, mumpung muda. Nanti kalau sudah tua menyesal." 

Gadis diam saja. Tangan kami sama-sama penuh belanjaan, tapi mata Gadis jelis sekali kalau lihat tomat bagus. Sejak kecil, dia punya obsesi aneh dengan tomat. Dia akan makan semua makanan yang ada tomatnya. Sekarang dia sudah besar dan bisa memasak, masak apapun diberi tomat. Itu pun proporsinya kadang tidak normal. Oseng kangkung harusnya tomatnya cuma sedikit, kalau Gadis yang masak jadi oseng tomat-kangkung. "Bu, tomatnya bagus-bagus. Ayo kita beli." 

Benar juga, tomatnya memang bagus. Akhirnya kami beli setengah kilo. 

"Mau masak apa Neng, banyak banget belanjanya?" si abang penjual bertanya basa-basi. 

"Ah, nggak, cuma buat ngisi kulkas majikan." 

"Oooh. Majikannya suka tomat, ya? Kalau Neng yang beli saya kasih diskon, makanya sering-sering ke sini." 

"Makasih Pak, saya duluan ya." 

 Aku hanya tersenyum sok ramah, tapi Gadis kelihatannya jengah dengan abang penjual sayur yang berlebihan itu.   

"Eeh, sebentar Neng, kenapa buru-buru?"

"Pak, jangan godain ibu-ibu, nanti dihajar suaminya tahu rasa," kata Gadis tanpa sungkan. "Ya sudah Pak, kami mau pulang. Beneran ya, besuk-besuk kalau ke sini lagi didiskon?" 

Si penjual sayur kaget dengan reaksi Gadis, dia hanya mengangguk, lalu melayani pembeli yang baru datang. 

Belum jauh kami dari kios pedagang sayur itu, kudengar si penjual sudah merayu ibu-ibu pembeli lainnya. 

"Strategi marketing ndeso," gerutu Gadis. 

"Ya biarin tiap orang kan caranya menjemput rezeki beda-beda."

"Ya tapi kan bikin illfeel."

"Ilfil itu apaan?" 

"Ya gitu pokoknya." 

Sepulang dari pasar, kami memasak karena sebentar lagi Tuan Hamzah pulang. Sebenarnya aku memaksa Gadis tidur karena semalam dia belum tidur, tapi Gadis masih menggunakan argumen refreshing-nya, sampai akhirnya Lastri datang dan mengambil alih pekerjaan Gadis. Dia pindah ke meja makan, lagi-lagi belajar. Sampai aku dan Lastri menata makanan di meja makan pun, dia masih bertapa di sana dengan bukunya. 

"Pindah sana ke kamar." 

"Sebentar." 

"Gadis, sebentar lagi Tuan Hamzah datang loh." 

"Iya, iya." 

Bertepatan dengan itu, Tuan Hamzah benar-benar datang. Gadis gelagapan berlari ke kamarnya. 

"Mbak, Erwin mana?" tanya Tuan Hamzah pada Lastri begitu masuk rumah. 

"Um," Lastri melirikku, "masih di kamar sepertinya." Yang terjadi sebenarnya: Mas Erwin bersekongkol dengan Lastri merahasiakan banyak hal yang dilakukan Mas Erwin yang melanggar aturan ayahnya. Tadi selepas subuh kudengar Erwin menyuruh Lastri membangunkan dia sebelum ayahnya datang, supaya tidak ketahuan kalau semalam dia begadang. 

Sepertinya Lastri lupa dan baru ingat itu. 

"Biar saya panggil, Tuan." 

"Jangan, jangan, kamu di sini saja. Biar Lastri yang panggil." 

Lastri ke lantai dua, membangunkan Mas Erwin.

"Wati, kamu duduk sini." 

Aku menurut. 

"Saya dengar Gadis sedang persiapan olimpiade?"

"Iya, benar. Tuan tahu dari mana?"

"Um, jangan panggil saya 'tuan', panggil 'pak' saja."

"Baik, Tu---Pak. Baik, Pak. Bapak tahu dari mana?"

"Dari Erwin." 

Erwin tahu Gadis ikut olimpiade. Gadis tahu Jimmy Chou adalah teman sekelas Erwin. Kapan mereka ngobrolnya? Aku belum pernah melihat mereka ngobrol berdua. 

"Jadi begini, saya di-Skype Erwin tadi tentang masalah itu. Saya mau membantu Gadis, tapi saya butuh bantuan kamu, Wati. Mulai sekarang sampai olimpiadenya selesai nanti, pekerjaan Gadis kamu yang kerjakan. Dia biar belajar saja. Kamu bisa, kan?"

Tentu saja aku bisa, malah itu yang sedang berusaha aku lakukan. Tapi ini aneh sekali. Kenapa Mas Erwin dan Tuan--maksudku Pak Hamzah repot-repot dengan urusan Gadis? 

"Bisa, Pak. Sebenarnya saya sudah bilangi dia begitu, tidak usah ngepel, tidak usah cuci piring, tidak usah bikin risol dulu, belajar saja, tapi dia susah dibilangi." 

"Masa dia begitu?"

"Iya, Pak. Katanya buat refreshing." 

"Refreshing? Mana ada refreshing cuci piring?" 

"Saya juga heran, Pak."

Kening Pak Hamzah berkerut. "Gadis mana sekarang?"

"Di kamar, Pak."

"Tolong panggil dia, saya mau bicara." 








Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now