X. Batas-Batas

23 0 0
                                    

Hamzah Rusdi

Dulu, sebelum Maria meninggal, jam sembilan malam biasanya aku sudah di tempat tidur. Kebiasaan itu berubah begitu Maria meninggal. Aku tidak ingin menghabiskan waktu di tempat tidur dengan mata terbuka, karena aku selalu membayangkan Maria berbaring di sebelahku dan perasaan itu sangat menyiksa. Akhirnya aku harus menunggu sampai benar-benar mengantuk, baru ke tempat tidur. Seringkali aku sengaja membawa pekerjaan ke rumah dan mengerjakannya setelah makan malam. Jika tidak ada pekerjaan, aku membaca buku atau koran sampai mengantuk. Kadang aku sampai ketiduran di ruang kerja. 

Sampai sekarang, pola itu masih sulit diubah. Maria masih terlalu 'hidup' di rumah ini meskipun aku sudah memindahkan semua barang-barangnya ke gudang belakang. 

Malam itu aku sedang mengecek file ppt untuk presentasi proyek jalan layang, tapi suara-suara lirih yang kabur dari balik jendela menggangguku. Sebelumnya aku sudah melihat kalau di kolam renang hanya ada Erwin, tapi sekarang ada orang bercakap-cakap. Jadi kulihat kembali lewat jendela. 

Kali ini, Gadis juga ikut berenang. 

Tanpa sadar aku mengamati mereka, meskipun aku tidak bisa menangkap satu kalimat pun secara utuh dari percakapan mereka. 

Ini rasanya aneh. 

Dulu, ketika Erwin membawa Clara ke rumah, aku tidak suka. Sebagai isyarat halus, kubilang pada gadis itu kalau Erwin belum siap dengan hubungan serius. Tentu saja Erwin belum siap, kalau dia siap dia akan memilih perempuan yang akan dinikahinya dalam lima sampai tujuh tahun mendatang. Tidak mungkin Erwin akan menikah dengan gadis yang memakai rosario dan pergi ke gereja tiap hari Minggu. Di satu titik, mereka akan berakhir. 

Clara terlihat sedih dan kecewa, tapi dia juga memahami pertimbanganku dengan sangat baik. Tidak ada acara lempar pisau dan pertumpahan darah dalam percakapan itu, tapi sejak Clara keluar pintu rumah hari itu, dia tidak pernah berkunjung lagi. 

Erwin marah besar padaku. Tapi lama-lama dia capek juga marah denganku, akhirnya masalah itu dianggap berlalu begitu saja di antara kami. 

Sejujurnya, aku merasa agak bersalah. 

Seumuran Erwin, cinta dan pernikahan itu berbeda. Dia masih menyentuh level cinta,--mungkin malah belum cinta, tapi hanya sekeda ketertarikan antarlawanjenis--karena itu sebenarnya dia bisa mengencani gadis manapun. Entah yang memakai kerudung dan mengaji setiap hari, yang memakai rosario dan bergabung dengan paduan suara gereja, bahkan yang memakai rok sepaha dan ikut cheerleading di sekolah, tidak masalah. Toh pernikahan masih jauh di masa depan. 

Jadi sebenarnya, argumen 'Erwin belum siap dengan hubungan serius' itu hanya tameng yang menutupi alasan sejatiku.

Apa alasan sejatiku mengusir Clara? 

Sederhana. Karena aku tidak suka. Bukan aku tidak suka pada Clara, aku tidak suka melihat Erwin dan teman perempuannya di rumahku. 

Dulu, aku bisa mengusir Clara. Masalah selesai. Sekarang, aku tidak mungkin mengusir Gadis juga. 

Untungnya, durasi mereka berduaan di kolam renang tidak lama. Wati tiba-tiba muncul dan menciduk putrinya. Gadis diseret masuk lebih cepat daripada air di ujung rambutnya sampai ke tanah. 

Kurasa itu adalah saat yang tepat bagiku untuk turun dan turut menegaskan batas-batas antara Erwin dan Gadis. Tapi sebelum itu, mau tidak mau aku mendengarkan Wati memarahi Gadis dari balik pintu kamar yang ditutup. 

"Ibu bilang apa soal anak laki-laki?" 

Gadis diam tidak menjawab. 

"Jawab ibu! Ibu bilang apa soal anak laki-laki?"

"Jangan dekat-dekat," suara Gadis gemetar. 

"Terus kamu tadi ngapain sama Mas Erwin?" 

"Aku cuma--"

"Kamu cuma berenang sama Mas Erwin, majikan kita, di kolam rumah majikan kita tempat kita kerja. Kamu paham posisimu sekarang?"

"Paham, Bu." 

"Ibu butuh pekerjaan ini, Gadis. Kita butuh pekerjaan ini. Kamu jangan aneh-aneh." 

"Iya, Bu."

"Kamu janji sama ibu kamu nggak bakal aneh-aneh lagi."

"Aku janji, Bu." 

"Dan ingat, Gadis, kamu nggak boleh dekat-dekat anak laki-laki. Kamu sudah janji sama ibu. Kamu ingat janji itu?" 

"Aku ingat, Bu." 

"Sudah, sekarang kamu ganti baju yang kering, habis gitu langsung tidur. Kalau nggak penting nggak usah keluar kamar." 

"Iya, Bu." 

Begitu pintu kamar dibuka, mereka gelagapan melihatku. Wajah Gadis semerah udang panggang, sementara Wati langsung mohon ampun seolah-olah dia baru saja memecahkan guci keramik Cina seharga dua ratus juta. 

"Tuan, saya minta maaf, anak saya memang tidak tahu diri. Tapi saya mohon, Tuan, jangan pecat kami."

"Siapa yang mau pecat kalian? Saya ke sini cuma mau bicara." 

"Bicara tentang apa, Tuan?" 

"Kamu duduk dulu saja di ruang tengah. Gadis, kamu ganti baju lalu ke ruang tengah. Saya mau panggil Erwin." 

Sepuluh menit kemudian, kami duduk di ruang tengah dalam atmosfer aneh karena kombinasi aura yang berbeda-beda dari masing-masing wajah. 

"Pertama, saya mau bilang, Wati, Gadis tidak salah. Erwin yang mengajak Gadis berenang." 

"Kedua, Gadis, sesuai janji saya, kamu boleh berenang di kolam renang belakang sebagai refreshing. Saya tahu kamu capek dan pusing harus belajar terus, makanya saya izinkan kamu berenang di kolam itu. Tapi maksud saya bukan sama Erwin jam sembilan malam. Kamu itu anak perempuan, kamu harus bisa menjaga martabat." 

"Dan kamu Erwin," aku menahan diri agar tidak membentak berandal itu, "kamu tahu salahmu. papa nggak melarang kamu bergaul sama anak perempuan, tapi kamu tahu batas-batasnya. Jangan bertingkah di luar batas, papa nggak suka." 

"Pa, aku cuma berenang. Berenang. That's it." 

"Ya, cuma berenang. Jam sembilan malam. Sama Gadis." 

Erwin akan membuka mulut. Sebelum itu, aku mendahului, "Dan jangan kamu pikir papa nggak tahu niat kamu, papa tahu!"

"Pa, sumpah, aku nggak berniat buruk apapun. Aku cuma mau berenang dan ngobrol, itu doang." 

"Ini salah saya juga, Pak," Gadis sepertinya merasa bersalah karena hanya Erwin yang kumarahi, "saya belum pernah berenang di kolam renang yang ada penghangatnya, jadi saya ikutan berenang. Saya malah sebelumnya nggak tahu kalau kolam itu ada penghangatnya. Begitu saya tahu, saya ingin coba."

Ha. Jadi ini cuma gara-gara penghangat kolam? 

Gadis terlalu polos. 

"Ya sudah, intinya kalian semua paham maksud saya. Mulai sekarang, kalian tidak boleh berinteraksi setelah makan malam, apalagi berduaan seperti tadi. Ini demi kebaikan bersama, jadi tolong patuhi." 

"Iya, Pa."

"Iya, Pak." 

"Sudah, sekarang tidur sana. Besuk kan kalian masuk sekolah." 

Mereka bertiga bubar ke kamar masing-masing. Aku juga kembali ke ruang kerjaku. Pikiranku terganggu. Mereka tidak 'cuma' berenang dan mengobrol. Gadis itu cantik dan Erwin punya mata, tapi Gadis dilarang keras oleh ibunya dekat-dekat anak laki-laki. 

Apa yang terjadi di antara mereka mudah ditebak. 

Wati mungkin sudah memasang pagar di sekeliling Gadis sejak dulu, tapi itu tidak cukup. Aku harus menghalangi Erwin memanjat pagar itu. 

Maka kubilang esok paginya, "Gadis, kalau Erwin mengganggumu, bilang ke saya. Ini bukan saran, ini perintah."

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now