XXII. Cadas

10 0 0
                                    

Maryam Saliha

HP gue bunyi. Jam sebelas malem. Gadis nelpon. Tumben banget dia nelpon. Jam sebelas lagi. Dua bulan dia punya nomer gue, dua bulan kita duduk sebelahan, cuma sekali dia hubungin gue, itu pun cuma SMS, dan isinya: BALIKIN BUKU BIO GW SKRG!

Huruf gede. Semuanya. Itu waktu buku tugas Biologinya gak sengaja kebawa sama gue. Jadi waktu Gadis nelpon, apalagi selarut ini, gue berasa kayak ditelpon sama pak presiden. Tiba-tiba gue langsung melek aja, ngantuk gue ilang. Gue angkat telepon Gadis, "Halo?"

"Mar."

Dia cuma bilang "Mar", trus diem kayak mau bilang sesuatu tapi dia sendiri yang ngerem.

"Lu kenapa?"

"Mar telpon balik, pulsa gue tipis. Gue mau ngomong penting."

"Yee... dasar."

"Please Mar, gue butuh elu sekarang."

"Lu butuh gue? Gak salah deng—"

Gadis nutup telepon. Gue mau sok pelit rasanya gak enak, soalnya kayaknya dia bener-bener serius waktu bilang "gue butuh elu sekarang". Jadi gue telpon balik. "Halo, Dis?"

"Mar, gue barusan jotosin orang."

Gadis jotosin orang? GADIS JOTOSIN ORANG? Gadis bidadari XI IPA 1 yang cantik lemah gemulai dambaan lelaki itu jotosin orang? Gak salah kuping gue?

"Elu jotosin orang?"

"Iya."

"Lu serius?"

"Serius."

"Beneran?"

"Bener."

"Kenapa?"

"Bapak gue tiba-tiba datang ke rumah."

Bapaknya Gadis? Bukannya bapaknya Gadis itu... oh. Pantesan. Ini mungkin telpon paling penting yang gue buat selama enam bulan terakhir. Gadis gak pernah bicara soal keluarganya karena itu topik sensitif banget, dan gue gak pernah berani tanya. Tapi sudah bukan rahasia kalau Gadis ditinggal bapaknya waktu masih dalam kandungan. Fakta itu jadi pengetahuan umum di kelas gara-gara mulut besarnya si Rindi. Sebenernya gue kasian kalau liat Gadis jarang bersosialisasi dan punya cap tak kasat mata 'ditinggal bapaknya' di jidat, tapi gue gak tahu harus gimana. Toh gue gak bisa nolongin dia.

Sekarang, ngomongin masalah yang tabu banget itu di telepon bikin gue anxious dan khawatir parah. "Trus lu pukul gitu?"

"Iya. Gue lihat ID card-nya ada nama bapak gue, dan dia nyariin gue sama ibu gue, langsung aja gue tinju wajahnya. Gue gak tahu, Mar, tangan gue refleks aja. Gue gebukin tu orang, gue tendang-tendang, dan gue gak merasa bersalah. Tiba-tiba gue jadi anarkis, itu bukan gue yang seharusnya. Gue takut durhaka Mar, sama bapak gue, tapi di sisi lain—" suaranya mulai gemetar, "—di sisi lain gue benci banget sama tu orang, gue gak bisa maafin dia. Lu tau kan itu orang ninggalin ibu gue waktu hamil gue? Gue harus gimana, Mar?"

Gue diem. Gue gak tahu harus bilang gimana. Seumur hidup gue, bapak gue gak pernah ninggalin gue. Gue karyawisata ke Bandung aja bapak gue nelpon tiap tiga jam. Gimana rasanya Gadis yang ditinggal selama 17 tahun? Apakah durhaka kalau dia gak bisa maafin orang yang memang sejahat itu ke dia dan ibunya?

"Mar, jawab gue, Mar, gue gak bisa tidur. Gue pengen nangis tapi gak ada gunanya juga. Gue harus gimana?"

"Gue nggak tahu, Dis. Gue nggak pernah ngalamin apa yang elu alamin."

Gadis terdiam beberapa saat. "Menurut lu gue durhaka?"

"Gue... gue nggak tahu."

Gadis terdiam lagi. Gue merasa perlu bilang sesuatu, tapi gue nggak tahu harus bilang apa. Akhirnya Gadis bilang, "Oke Mar, makasih udah telpon balik gue. Maaf gue telpon malem-malem gini, gue bener-bener butuh nasihat."

"Dis, lu nggak kenapa-kenapa, kan?"

"Enggak."

"Dis, lu kalo ada apa-apa bilang ke gue ya, kayak begini. Pulsa lu tipis pasti gue telpon balik, gue janji."

"Tumben lu kagak pelit. Biasanya lu pelit."

"Yee, gue serius kali."

"Iya, iya, gue pasti cerita ke elu. Gue tutup ya."

"Iya. Kita lanjutin besok di sekolah."

"Oke."

"Assalamualaikum," dia yang mau nutup telpon tapi gue yang salam. Biarin lah.

"Waalaikum salam."

Lalu telponnya ditutup.

Sumpah ya, gue kalau lihat Gadis itu kayak lihat kompilasi dari banyak hal yang berkumpul jadi satu kesatuan kompleks. Dia punya cerita hidup yang nggak banyak orang punya. Dia juga pintar. Dia kelihatannya cantik lemah gemulai, tapi sebenernya dia itu cadas, dia lebih tangguh dari Dwayne Johnson 'The Rock'. Dia cari duit sendiri, dia nggak ngeluh, dan dia bisa buat orangtuanya, gurunya, sama teman-temannya bangga karena prestasinya. Tapi yang menurut gue paling mengejutkan itu tadi pagi, waktu dia tiba-tiba muncul di kelas pakai kerudung.

Gue langsung kayak lihat angin surga. Emang bidadari kayak Gadis itu terlalu indah buat dunia kotor yang penuh cowok-cowok bermata licik, jadi dia pantas sekali kalau berhijab. Anak satu kelas kaget, gue juga kaget, tapi gue merasa bangga dan terhormat karena omongan gue kemarin lusa di kantin dia anggap serius.

Emang bener ya, sampaikan kebaikan meski cuma sepatah dua patah. Berdakwah gak perlu nunggu jadi ustadzah, suarakan saja apa yang baik dan benar.

Gue jadi merinding.

Mungkin Allah lagi ngerencanain sesuatu yang besar buat hidup Gadis. Mungkin gara-gara itu dia dipertemukan lagi sama bapaknya, dibuka hatinya buat berhijab, dan mungkin... mungkin dia akan diluluskan seleksi nasional?

Semoga saja. Amin.

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now