IX. Katak Malas Jam Sembilan

14 0 0
                                    

Erwin Brahma Rusdi

Aku harus belajar untuk final exams. 

Aku harus belajar untuk SAT.

Aku harus belajar tabah menghadapi invasi keroyokan ujian akademis ini. 

Tapi aku benar-benar bosan dan capek. I need a refreshment

Sudah hampir jam lima sore. Aku bangkit dan melihat ke arah luar jendela kamarku. Sebentar lagi, sesuatu akan terlihat. Aku hanya perlu menghitung mundur. 

Ten... nine.... eight... seven... six... five... four... oh, there you go. 

Gadis berlari menembus gerimis dengan sambil memayungi dirinya sendiri dengan map plastik. 

Now that's a refreshment

Penyegaran lima detik. Itulah satu-satunya kesempatanku melihat batang hidungnya. Bukan rahasia lagi kalau Gadis bangun lebih pagi dariku, meninggalkan rumah sebelum aku selesai memakai seragam, tapi pulang tiga jam setelah aku pulang. Karena Papa mengharamkannya dari segala jenis pekerjaan rumah tangga, akhirnya Gadis benar-benar menjadi kura-kura pertapa di kamarnya, tanpa henti menyerap materi Biologi. Kalau aku beruntung, mungkin kami berpapasan saat dia mengisi botol satu liternya, tapi kejadian itu langka. 

Namun suatu kali, aku beruntung. Well, at least I thought I was lucky

Malam itu kepalaku rasanya mau meledak karena belajar Fisika empat hari non stop. Sejarah telah membuktikan bahwa aku mengikuti ujian Fisika itu seperti siput melawan naga. Tapi kalau aku remidi kali ini, aku akan semakin jauh dari IB diploma, semakin jauh dari LOA NYU, dan semakin jauh dari Rover. 

Maka, begitu ujian selesai, aku merayakannya dengan menjadi katak malas di kolam renang jam sembilan malam. There's no specific reasons behind it, aku senang saja melakukannya. Malah, ini sudah menjadi semacam ritual pelepas stress. Biasanya aku bersama Papa, tapi lebih sering aku sendiri. 

Seperti biasa, suasana saat ritual katak malas jam sembilan malam sangat sepi dan damai. Of course, memangnya kenapa aku melakukannya jam sembilan malam? Karena sepi. Tenang. Damai. Saking damainya, aku bisa mendengar detak jantungku sendiri di antara air tenang. Dan ketika pintu geser tiba-tiba dibuka seseorang, aku langsung menoleh. 

Gadis berkata padaku, "Mas, jangan berenang malam-malam, nanti masuk angin!" 

"Nggak, ini hangat, kok." 

"Hangat bagaimana?" 

"Ya hangat, kan ada penghangatnya. Coba sini, deh." 

Gadis mendekat, lalu mencelupkan tangannya ke kolam. Thanks to the pool lamps, aku bisa melihat wajahnya berbinar dengan jelas, seperti barusan nemu duit seratus ribu di pinggir jalan. 

"Waah, hebat. Ada sistem penghangatnya, saya belum pernah lihat yang seperti ini."

"Ada dong," aku menyeringai sombong. 

"Kayak di film barat." 

"Nah, sekarang kamu tahu di Indonesia juga ada." 

Tapi kemudian, Gadis menarik tangannya dan berdiri. 

"Lah, mau ke mana?" 

"Ke kamar."

"Kenapa? Belajar lagi? Kamu kok nggak capek belajar terus?" 

"Bukan, bukan belajar. Pusing. Capek. Besok lagi." 

"Hahaha, sama, aku juga pusing gara-gara belajar Fisika. Makanya sekarang aku berenang." 

"Um, ya sudah, kalau begitu saya mau--" 

"Eeh, jangan, sini nyebur aja. Mumpung lagi hangat. Kan mubazir kalau cuma dipakai satu orang." 

"Tapi Mas..."

"Udaah, nggak usah jaim. Aku tahu kamu sebenarnya pengen banget masuk kolam, tapi kamu sungkan. Kamu juga khawatir ibu kamu curiga kalau kita terlalu akrab, tapi justru aneh kalau kita nggak akrab, karena kita tinggal serumah, kalau nggak pernah ngobrol malah jadi awkward." 

Gadis terdiam sebentar. Pasti setan dan malaikat sedang berdebat di kepalanya. 

"Tapi beneran nggak apa-apa, Mas?"

"Iyee, pake nanya lagi." 

"Tapi saya nyebur pakai baju begini nggak apa-apa?"

"Lha terus kamu mau nyebur pake baju apa? Bikini?" 

"Nggak, takutnya nanti bikin kotor atau gimana gitu." 

"Nggak, kok, nggak pa-pa." 

Kemudian Gadis masuk ke kolam dengan celana kotak-kotaknya dan kaus rayon 'Jogja Tetap Istimewa' warna biru muda. Mengesankan, sebenarnya. Kausnya mengambang-ambang di air seperti sirip ikan cupang. Warnanya hanya beberapa tone lebih gelap dari air, jadi aku seperti melihat air menari di sekeliling bidadari. 

No, I'm not bragging. It's true. Beauty manifests itself in an undeniable form

"Kamu mirip Mama." 

Gadis terperanjat. 

"Wajahmu, maksudku."

Sepertinya dia speechless sehingga hanya O besar yang keluar dari mulutnya. 

"Kalau menurutku malah kamu lebih mirip dengan Mama daripada Bi Wati." 

"Masa?"

"Iya, beneran. Aneh, kan?" 

"Aneh, tapi nggak mustahil. Ada tujuh milyar manusia di bumi, pasti banyak orang asing yang mirip." 

"Well, it's... true." Sebenarnya aku berharap dia menyebutkan takdir atau kesengajaan Tuhan, bukan teori matematis yang dingin, acak, dan tidak istimewa. 

"Tapi saya lihat di foto, nyonya cantik sekali. Saya nggak kepikiran kalau saya mungkin agak mirip nyonya." 

"Kamu cantik, kok, kayak Mama waktu muda." 

Kemudian Gadis menatapku seolah-olah aku menyembunyikan udang di balik batu. Suaranya tidak terdengar ramah lagi, "Itu tujuanmu tadi berkata saya mirip nyonya?" 

Okay, let's break this down. First, Gadis menggunakan kata ganti pertama 'saya', dia masih merasa di posisi yang lebih rendah dariku dan kami seharusnya tidak terlalu akrab dengan satu sama lain. Second, tadi dia memanggilku 'Mas' karena ada unsur hormat di sana, tapi baru saja dia berkata 'tujuanmu' yang terasa kurang hormat. Third, kenapa dia defensif sekali, sih? 

Keterus terangannya itu akan membuat 90% laki-laki gelagapan. Tapi kalau aku gelagapan sekarang, dia akan memandangku sebagai 90% laki-laki. Barangkali jenis yang dilirik olehnya pun tidak. 

"Jangan salah paham, kamu tadi bilang kalau kamu nggak merasa mirip Mama karena Mama terlihat cantik di foto, ya kubilang kamu cantik kayak Mama waktu muda. Apakah itu salah? No. Semua orang yang punya mata juga akan bilang hal yang sama." 

Gadis menerima kata-kataku, tapi dia memalingkan wajah ke pohon palem di seberang kolam. "Maaf, saya tadi tidak sopan." 

"Bukan salahmu, kok. Memang kadang susah jadi orang cantik," aku terkekeh. 

Humor garing. Gadis tidak tertawa sepercik pun. Sepertinya dia masih merasa bersalah. 

"Gadis!" 

Kami berdua hampir terlonjak kaget mendengar suara tinggi-keras itu. Bi Wati menyeret Gadis ke dalam seolah-olah dia kriminal tak tahu malu. 




Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now