XXXII. Subsequent Effect

32 0 0
                                    

Erwin Brahma Rusdi

There is nothing more awkward than a silent ride with a girl that you have a crush on, but she rejected you because she actually has a crush on your dad. Sumpah, rasanya gue pengen nganter Gadis ke psikiater daripada nganter dia ke sekolah. Masih normal kalau dia suka sama cowo yang lima tahun lebih tua, lah ini dua puluh tahun selisihnya! Dia itu sebenarnya sakit jiwa atau kenapa ya? Atau mungkin dia kena daddy issues gara-gara ditelantarin sama bapaknya? Jadi Papa yang harusnya dia anggap sebagai semacam guardian, dia nganggapnya kejauhan.

Kemarin malem, pas aku habis ambil makanan di kulkas, aku denger suara-suara dari ruang tamu. Di situlah aku menyaksikan, for the first time in my life, ada cewe remaja ngaku suka sama bapak-bapak. Lebih parah lagi, itu cewe yang aku suka. Parah banget pokoknya. It's hard to describe how I felt about that. Jijik? Engga, aku gabisa jijik sama Gadis. Sedih? Cemburu? Sakit hati? Jelas. Tapi nggak in a way kayak di film-film, atau nggak cemburu yang begitu. Lebih banyak unbelievable-nya. I feel betrayed, but on the other side, I also feel deeply sorry for her. Kenapa? Soalnya nggak mungkin cewe normal pada umumnya tiba-tiba suka sama bapak-bapak, pasti ada sebabnya, dan background masa lalu Gadis yang sulit itu pasti sebabnya. 

"Sori ya, Mas, jadi ngerepotin." 

"Ah, nggak, biasa aja kok. Lagian ujian-ujianku udah selesai. Tinggal ujian-ujian praktek yang tinggal merem aja bisa lulus. Rada gabut juga sih, di sekolah. Kebanyakan pada sibuk apply ke universitas, aku tinggal tunggu pengumuman aja." 

"Hmm.." Gadis mengangguk-angguk. 

And then we were trapped in silence for about five minutes

"Dis," akhirnya aku berani ngomong, "sebelumnya aku minta maaf ya, kalau pertanyaanku ini menurutmu nggak sopan, tapi apa sih yang kamu lihat di Papa?" 

Wajah Gadis tiba-tiba tegang. "Maksudnya?" 

"Jadi sebenernya..." aku berhenti di lampu merah, "kemarin malam aku dengar kamu sama Papa, di ruang tamu." 

Wajah Gadis jadi pucat. 

"Nggak pa-pa kok, aku cuma penasaran. Aku juga nggak mau nge-judge kamu. Kamu tahu kan, aku suka kamu. Kamu ternyata malah suka Papa," aku ketawa miris kayak orang gila dibuang. 

"Ya... gimana ya? Saya juga nggak tahu kenapa. Mas kenapa suka saya?" 

Kampret ni anak ditanyain malah dibalikin pertanyaannya. God, semoga mukaku nggak merah. "Ya... kamu tahu lah. Pasti banyak yang suka kamu. Kamu kan cantik, pinter, berkarakter, hard-working, gitu deh pokoknya. Cewe-cewe yang sebelumnya sama aku, mereka paling banter cuma cantik, pinter, baik, tapi kisah mereka ya gitu-gitu aja. Tapi kamu beda." 

"Berarti Mas sebenarnya bukan suka sama saya," katanya, "Mas suka sama hal-hal itu, yang 'menempel' pada saya. Kalau Mas ketemu cewe lain yang punya hal serupa, pasti Mas juga suka dia." 

Iya ya, bener juga dia. Harusnya aku bilang I like you because I like you. "Hm. Kalau Papa? Berarti kamu suka Papa simply karena dia Papa?" 

"Mungkin. Bisa dibilang." 

"Tapi kamu yakin kalau perasaanmu itu bukan--maaf ya--subsequent effect dari kamu yang ditinggal ayahmu, jadi kamu semacam cari sosok yang seperti ayahmu as a subtitute?" 

Then she looked at me as if I just punched her, tapi dia langsung tutupi ketersinggungannya itu dengan tegas bilang, "Enggak, kok. Itu lain cerita." 

"Papa cinta mati sama Mama. Dia sampai bersumpah nggak bakal nikah lagi." 

Gadis diam sepanjang sisa perjalanan, sementara aku nyetir sambil supress my feeling, berusaha nggak teriak "Why can't you just look at me? I'm right here for you!"


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 14, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now