V. Maria Muda

13 1 0
                                    

Hamzah Rusdi

Rumi adalah tangan Maria sejak kami pindah ke rumah ini. Maria adalah piatu yang tumbuh bersama tiga saudara laki-laki. Dia adalah konsultan bisnis, juga mantan pemain biola di orkestra, tapi keahliannya itu tentu datang dengan opportunity cost. Maria tidak punya skill ibu rumah tangga, tapi aku tidak bisa tanpa Maria. Karena itulah kami punya Rumi. 

Dua puluh lima tahun Rumi mengisi piringku setidaknya dua kali sehari. Dua puluh lima tahun dia memastikan tak ada setitik debu pun di lantai rumah ini. Sekarang ia koma di dipan rumah sakit dan aku merasa sangat, sangat bersalah serta berutang budi. 

Lastri dan Damang sudah mengetahui penyakitnya selama enam bulan dan aku tidak tahu apa-apa. Tahu-tahu penyakit yang dikira tidak parah itu membuat Rumi kritis. Mereka juga tidak memberitahuku apa-apa, barangkali karena mulanya mereka beranggapan itu tidak parah. 

Tidak beda jauh dengan Maria. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai-sampai tidak tahu kalau istriku sakit keras. Ketika aku menyadari itu, rambutnya sudah rontok seperempat, dia sudah terapi kemo, stadium tiga. Saat itu aku pulang dari Hamburg dengan hati berbunga-bunga karena proposal kerja sama perusahaanku akhirnya diloloskan setelah perjuangan panjang. Antusiasmeku pada proyek itu terlalu besar sehingga lupa kalau hari itu adalah ulang tahunku. 

Tapi Maria ingat. Dia menjemputku di bandara. Dia sering menjemputku di bandara (mungkin gestur 'aku berusaha menjadi istri yang baik meskipun aku tidak bisa masak'), tapi hari itu berbeda. Begitu melihatku, dia langsung menggandeng lenganku, bertanya, "Kamu capek?"

Kubilang, "Capek, tapi rasanya aku punya seribu nyawa sekarang."

"Seribu nyawa? Karena ada aku?" Maria menyeringai. 

"Karena mereka setuju kerjasama sama kita," aku tersenyum mengejek. 

"Atau juga karena sekarang hari ulangtahunmu?" 

"Ulangtahun..." aku benar-benar lupa saat itu, "oh, iya. Malah kamu yang ingat." 

"Haha, sudah kuduga. Makanya aku udah siapin di rumah." 

Masuk mobil, aku tahu ada yang salah. Jok mobil dilapisi kulit warna krem, di situ aku bisa melihat berhelai-helai rambut rontok. "Ma, ini rambutmu?"

"Haha, iya, rambutku banyak rontok akhir-akhir ini." 

"Kenapa? Sudah ke dokter?" 

"Ah, cuma rambut rontok doang." 

"Ma." 

"Iya iya, besok aku ke dokter." 

Kami diam selama beberapa menit setelahnya. 

"Sebenarnya aku mau bilang sesuatu." 

"Apa?"

"Tapi kamu jangan overreacting." 

"Oke. Memangnya mau bilang apa?" 

"Pokoknya jangan overreacting."

"Iya, iya." 

"Aku terapi kemo sejak bulan lalu." 

Aku overreacted. Aku menghubungi semua dokter yang kukenal, mencari dokter paling ahli yang mereka kenal dalam menangani kanker. Aku bawa Maria ke Singapura, ke Jerman, meskipun semuanya memberitahuku kalau di kasus seperti Maria ini, biasanya hanya masalah waktu. Jadi aku mengabaikan perusahaan selama berbulan-bulan di saat-saat terakhir Maria. 

Rumi tidak boleh berakhir seperti Maria. Penyakit Rumi masih bisa disembuhkan. Tapi aku butuh pengganti Rumi. 

Apakah pelayan hotel mau bekerja jadi asisten rumah tangga? Skill mereka biasanya lebih bagus. Maria muda juga pasti lebih senang mencuci piring setiap hari tapi sedikit daripada mencuci sepuluh lusin dalam semalam. 


Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now