XVIII. Maryam Saliha

11 0 0
                                    

Gadis Saraswati

Erwin meminta maaf padaku malam harinya, saat aku cuci piring. Oh ya, aku sudah kembali ke 'keahlian komersilku' yang meliputi bersih-bersih dan cuci piring. Mungkin aku akan 'cuti' lagi kalau aku lolos jadi delegasi Indonesia ke IBO.

Aku sedang meremas-remas spons dengan campuran Sunlight sampai busanya banyak, tiba-tiba ada suara dari belakangku, "Gadis, aku minta maaf ya, tadi kasar sama kamu."

"Oh," jujur aku kaget. "Sudah saya maafin kok, Mas." Sebenarnya aku agak malas berinteraksi dengan Erwin karena orang ini selalu punya 'maksud'. Tapi sepertinya dia benar-benar menyesal, jadi kurasa dia layak dimaafkan.

"Tadi kamu pulang sama Mas Wendi?"

"Iya."

"Eh, netes tuh, busanya."

"Oh, iya, aduh," kukembalikan spons ke mangkuk dan mulai cuci piring. "Tadi niatnya cuci piring diajak ngobrol jadi begini."

"Nggak fokus," Erwin terkekeh. "Btw kamu nggak capek cuci piring segitu sendirian?"

"Nggak, udah biasa."

"Oh ya, dulu kamu kerja part time cuci piring di hotel, ya? Aku lupa. Pasti di sana malah jauh lebih banyak."

"Iya."

"Tapi kamu nggak capek belajar-kerja-belajar-kerja terus? Nggak pernah liburan atau santai-santai."

"Nggak."

"Udah kebiasaan, ya?"

"Iya."

"Aku tu suka heran lihat kamu, kok bisa gitu, kayak gitu. Beda banget sama aku."

"Iya."

"Um, ya sudah, kamu lanjutin cuci piring daripada aku ganggu. Aku mau ke kamar."

"Iya."

Setelah menjawab rentetan pertanyaan basa-basinya dengan iya dan nggak, akhirnya Erwin sadar juga kalau aku tidak menginginkan interupsi apapun saat aku menjalankan 'terapi cuci piring'. Sudah sebulan aku tidak cuci piring, rasanya menyenangkan.

Lagipula, secara teknis, percakapan tadi melanggar aturan buatan Hamzah Rusdi yang melarang interaksi antara kami setelah makan malam. Tadinya aku ingin mengusir Erwin dengan aturan itu, tapi sepertinya jawaban ritmis iya-nggak-iya-nggak sudah cukup, jadi aku tidak perlu menjadikan aturan itu sebagai pukulan pamungkas.

Besoknya, aku kena karma.

"Mar, udah ngerjain tugasnya Bu Harini?"

"Udah."

"Mar, nomor tiga tuh jawabannya pangkat seratus apa pangkat seribu sih?"

"Ya."

"Mar!"

"Iya."

"Pangkat berapa?"

"Gatau, lupa."

"Gue pinjem kerjaan lu, dong."

"Iya."

"Dimana?"

"Tuh."

"Tuh mana?"

"Tas."

Aku aduk-aduk tasnya, tidak ada buku tugas Fisika di sana. "Mar, gaada."

"Ada."

Kucari sekali lagi. Tidak ada. "Beneran, sumpah, gaada."

"Ada."

"Gaada, liat sendiri kalo ga percaya."

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now