XXI. Bogem

23 0 2
                                    

Erwin Brahma Rusdi

Aku adalah manusia lewat pukul enam. Aku tidak bisa bangun sebelum jam itu. Kalau aku bangun sebelum jam enam, aku akan tidur saat jam pertama. Tubuhku adalah pendendam berat, terutama dalam hal tidur.

Tapi belakangan, aku tidur lebih awal dan bangun lebih awal juga. Mungkin karena energiku terkuras untuk belajar demi menghadapi badai ujian. Rasanya seperti dihujani batu neraka oleh burung ababil. Waktu untuk hiburan juga menipis. Jangankan main game, menyentuh Xbox saja nyaris tidak sempat, kecuali di akhir pekan.

But there's an advantage in being an early bird.

Aku melihat Gadis berangkat sekolah. Yes, I'm a creep, aku suka nonton Gadis berangkat dan pulang sekolah dari jendela.

Pagi tadi, Gadis berbeda. Dia berangkat sekolah pakai seragam berjilbab. Kenapa, ya? Apa karena ada acara pengajian di sekolah? Sekarang kan hari Jumat, jadi mungkin saja. Aku penasaran, tapi aku sungkan mau bertanya. Terakhir kali aku mengajak dia ngobrol, dia cuma menjawab 'iya' dan 'nggak'. Aku merasa diusir.

Mungkin di matanya, sekarang aku one of those boys yang berusaha mendekati dia. Semakin aku dekati, dia semakin menjauh. Jadi kurasa, mungkin ini tidak ada gunanya. Mungkin lebih baik melihat dia dari jendela saja, tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Papa benar, lebih baik mengurusi badai ujian dan aplikasi ke NYU.

Aku sudah daftar sih, tinggal menunggu responnya. Aku juga daftar ke beberapa universitas lain untuk berjaga-jaga. Nilai SAT-ku agak mengkhawatirkan, hanya beberapa digit di atas minimum average. Tapi aku agak optimis tentang essay. Aku browsing banyak sekali application essay ke universitas dan aku menulis banyak poin yang mungkin akan menguatkan essay-ku. Aku bolak-balik ke student counsel supaya essay­-ku benar-benar fix dan menjanjikan.

I'm so excited for NYU. I'm so excited for New York. Padahal diterima saja belum. Hahaha.

Sore ini, aku main basket sama Mas Agus di halaman rumah. Mas Agus lumayan jago main basket. Dia tinggi-besar dan atletis. Dia botak dan berjenggot seperti Walter White di Breaking Bad, jadi dia kelihatan sangar, pantas sekali jadi security. Pas asik-asiknya main basket, tiba-tiba ada orang menekan bel di gerbang.

"Siapa tuh?"

"Sebentar, biar saya lihat."

Orang itu dan Mas Agus bicara sebentar, kemudian Mas Agus membuka gerbang. Aku tidak kenal orang itu, tapi dari ID-card yang masih menggantung di leher dan sepatu kulit yang kelihatannya berat, sepertinya dia bekerja di pabrik. Mungkin karyawan Papa? Tapi ada urusan apa?

Mas Agus berlari kecil ke rumah. Beberapa saat kemudian, Mas Agus keluar bersama Gadis. Sepertinya orang itu mencari Gadis.

But, something happened. Something extraordinary.

Gadis meninju orang itu. Di wajahnya. Keras sekali, sampai orang itu hampir jatuh. I swear, she did. I saw it with my own eyes.

Something is wrong, aku langsung lari mendekat ke mereka. Gadis sepertinya belum cukup hanya satu pukulan, dia mau meninju orang itu lagi, tapi Mas Agus menahannya dengan wajah sangat bingung.

Aku juga bingung. What happened? Why?

"Ya ampun, Gadis, kamu kenapa?"

Wajah Gadis merah sekali, dia kelihatan sangat marah. Sepuluh kali lebih marah daripada saat aku menarik tangannya. Meskipun tubuhnya dikunci oleh Mas Agus, Gadis masih berusaha menjulurkan tinjuannya ke wajah orang itu.

"Neng, sabar, Neng. Sabar, ini sebenarnya ada apa?"

"Ngapain lu di sini? Ke mana aja selama ini?"

Sumpah, ini pertama kalinya aku dengar Gadis pakai kata ganti kedua 'lu'. Ini juga pertama kali aku melihat dia seemosional ini, sampai-sampai dia bicara keras sambil menangis. Jangan-jangan orang ini...

"A—aku, aku minta maaf, aku cari kamu—"

"Gue gak minta dicariin sama setan gak bertanggung jawab kayak lu! Gue bisa hidup sendiri sama ibu, pergi sana!"

Hm, I see. Orang ini adalah bedebah yang meninggalkan Gadis dan ibunya. Jujur saja, dalam hati aku ikut-ikutan ingin meninju wajahnya.

"Sebentar, izinkan aku menjelaskan—"

"Gue gak butuh penjelasan! Pergi!"

"Tapi aku—"

"Pak, Bapak lebih baik pergi, nanti Papa saya marah kalau ada ribut-ribut di rumah," kataku pada orang itu.

"Maaf Mas, saya cuma ingin melihat anak saya."

"Anak yang Bapak tinggal dulu?" kataku sinis. "Sepertinya dia nggak mau melihat Bapak, jadi mending Bapak pulang saja."

Orang itu memandangku seolah-olah aku barusan meninju istrinya, tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia memandang Gadis sekali lagi, lalu berbalik pergi. Tapi baru beberapa langkah, Gadis menyerbu dari belakang, mendorongnya sampai jatuh, lalu menendang tulang keringnya sambil berteriak, "Ini sakit, hah? Sakit! Rasain! Ibu juga sakit bertahun-tahun gara-gara elu!"

Orang itu tidak melawan sama sekali.

Mas Agus hendak menghentikan Gadis lagi, tapi aku melarangnya menghentikan Gadis. Gadis berhenti sendiri akhirnya, karena perempuan menendang, memukul, dan mendorong laki-laki dewasa akhirnya juga capek sendiri.

Selesai melampiaskan perasaannya yang terpendam selama tujuh belas tahun itu, Gadis berlari masuk rumah.

Orang itu berdarah hidungnya, sudut bibirnya agak bengkak membiru. Wajahnya datar-tumpul. Dalam hati pasti dia tahu kalau dia layak mendapat pukulan dari Gadis. Mas Agus membantunya berdiri tanpa berkata apa-apa. Kami melihat orang itu berjalan ke motornya, memakai helm, lalu pergi.

"Itu tadi bapaknya Neng Gadis?"

"Iya."

"Bapaknya kenapa?"

"Kabur waktu Gadis masih di kandungan."

"Astaghfirullah. Pantesan tadi Neng Gadis kayak begitu."

"Mas," aku memberikan bola basket ke Mas Agus, "tolong balikin ke dalam, ya?"

"Siap, Mas."

Kemudian aku ke kamar mandi belakang. Keran-nya menyala, tapi tidak ada suara gayung atau air disiramkan sama sekali. Mungkin Gadis berencana menangis di sana, tapi tidak ingin ketahuan kalau ibunya dan Mbak Lastri tiba-tiba pulang dari belanja. Tidak sulit bagiku menebak kalau Gadis ada di sana karena orang seperti Gadis biasanya menangis di kamar mandi.

Aku mengetuk pelan, "Gadis?"

Dia tidak menjawab.

"Gadis, buka pintunya."

Dia masih tidak menjawab.

"Ya sudah kalau kamu memang ingin di sana. Aku tungguin di sini sampai kamu keluar."

Awalnya kukira kalimat tadi adalah kesalahan besar, bisajadi aku berdiri di sana sampai setengah jam, tapi ternyata Gadis keluar tiga menit kemudian. Dia sudah cuci muka.

"Nah, gitu dong. Masuk angin nanti kalau lama-lama di kamar mandi."

Dia berjalan melewatiku tanpa berkata apa-apa. Aku membuntuti dia berjalan ke kamarnya.

"Gadis, kamu nggak pa-pa, kan?"

"Ya."

"Tangan kamu nggak sakit?"

"Nggak."

Sampai kamar, dia langsung menutup pintu. Yep, I'm still 'one of those boys'. 

Masih Mikir Judulnya ApaWhere stories live. Discover now