Sore hari setelah aku bersih-bersih kamar, kulihat Haechan baru saja keluar dari kamarnya dengan wajah bantalnya. Mengambil air putih di kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas.
Ia terlihat bingung dan membuka pintu kamar member satu per satu. Aku masih memperhatikannya, menunggu pertanyaan yang terlontar dari mulutnya.
Uh, cemilan yang dibeli Chenle memang mantap—dan jangan lupakan acara komedi yang membuatku sedikit tersedak makanan.
"Ke mana perginya penghuni rumah ini?" tanyanya lalu merampas cemilan yang kupegang dan duduk di sampingku.
"Ayahku bilang, beliau dengan para member pergi ke gedung SM. Jisung bilang acara makan bersama."
"Huh? Mengapa aku tak diajak?"
"Salah sendiri mengapa kau malah tertidur selama tiga jam." balasku ketus dan kulihat Haechan mengerucutkan bibirnya.
"Kenapa kau ketus sekali padaku?" gumamnya dengan suara kecil lalu pergi ke kamarnya. Membawa handuk dan pakaian ganti—mungkin ia akan mandi?
Kulirik lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi—dengan handuk yang melingkar di lehernya. Ia nampak segar dan bulir-bulir air yang menetes dari rambutnya.
"Hei, kemarilah."
Haechan menghampiriku dan duduk di sampingku, tanpa melirik ke arahku. Menatap ke arah televisi yang masih menayangkan acara komedi—padahal aku saja tertawa terbahak-bahak, sedangkan ia belum mengeluarkan suara sama sekali.
"Kau marah padaku?" tanyaku lalu mengambil handuk yang berada di lehernya lalu menjemurnya. Hahaha, karena aku sedang menjahilinya dia semarah itu padaku?
Masih tak mengeluarkan suara, aku memilih untuk duduk di pangkuannya dan memeluknya erat. Aku sudah hafal bagaimana cara meredamkan emosi Haechan, salah satunya adalah ini.
Wangi sabun mandi yang melekat di tubuhnya, membuatku semakin gencar menenggelamkan wajahku ke lehernya. Lihat saja, ia akan membalas pelukanku.
1
2
3
"Lain kali aku akan memikirkan hukuman yang pantas untukmu." ucapnya lalu membalas pelukanku dan mengelus rambutku. Haha sudah kubilang, bukan?
Ting Tong!
"Iya tunggu sebentar!" teriakku ketika mendengar suara bel. Aku pun turun dari pangkuannya, namun ia dengan sigap menahanku. Hei, ada tamu yang menunggu di luar!
"Kau di sini saja denganku." ucapnya sambil kembali memelukku dan wajahnya ia tenggelamkan di dadaku. Sialan! Dia terlalu jauh!
Aku berusaha untuk lepas dari pelukannya dengan mencubit pinggangnya—alhasil dia mengaduh kesakitan. Berjalan menuju pintu, sudah pasti orang itu menunggu lama.
Kulihat seorang perempuan berambut hitam panjang berada di depan rumahku. Aku mengerutkan keningku kala ia bertanya, "Maaf, apa di sini rumahnya Lee Dong Hyuck?" ucapnya.
Jika kuperhatikan, ia memakai make up yang terlalu over untuk gadis seumurannya.
"Maaf ini adalah rumahku. Ada apa mencari Dong Hyuck?" Memangnya bagaimana ia tahu kalau Haechan berada di sini? Apa urusannya dengan Haechan?
"Ya, siapa kau?" Haechan berdiri tepat di sampingku, lalu raut wajah gadis itu sumringah kala melihat orang yang ia cari. Sebahagia itukah?
"Kau tak mengenaliku?" tanyanya dengan suara yang terlalu dilebihkan—mendengarnya saja membuatku jijik. Haechan terlihat tak merespon dan masih menatap gadis itu dari bawah hingga atas.
Cup
Haechan tersentak kala bibirnya bersentuhan dengan bibir yang dilapisi oleh lipstick berwarna merah. Bibir lelaki itu menjadi sedikit merah, karena noda lipstick.
"Aku Hae Neul. Cinta pertamamu." ucapnya lalu tersenyum. Secara tidak sopan aku menutup kembali pintu dan berbalik menghadap Haechan.
"Mengapa dia bisa tahu rumahku? Kau yang memberikannya?" tanyaku ketus dan suasana menjadi canggung. Haechan menggenggam jari jemariku dan mengecupnya lembut.
"Maaf, aku memberitahunya." ucapnya dan membuat pipiku memerah. Tampang wajahnya yang merasa bersalah itu mau tak mau aku harus meredam emosiku. Huh, ia terlalu imut untuk ini!
Aku menatap bibirnya yang sedikit memerah—akibat lipstick yang menempel. Membersihkannya dengan bibirku—dan melumatnya pelan.
"Bersih. Bekas perempuan itu hilang." ucapku setelah melepaskan ciumanku. Suasana terasa canggung, terlebih lagi ini adalah ciuman kedua kami. Bisa kulihat kulit wajahnya yang memerah—walaupun sedikit tak nampak.
"Berjanjilah padaku. Kita akan bersama, memiliki keluarga harmonis, hingga maut memisahkan kita."
Mau tak mau aku harus menceritakan perihal perempuan yang datang ke rumahku pada ayah. Beliau sempat menyesal karena telah meninggalkanku berdua dengan Haechan.
Tetapi sama saja ayahku mengomelinya karena telah memberi alamat rumahku kepada orang lain. Membuatnya termenung dan duduk memojok di sudut kamarnya.
Melihat kehadiranku di kamarnya, Haechan menyuruhku untuk duduk di kasur—dengan maksud terselubungnya. Memeluk dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku.
"Hana. Kita akan menikah, kan?" tanyanya dan membuatku bingung. Hei, aku masih sangat muda untuk menikah!
"Kau ini bicara apa? Tentu saja kita akan menikah! Sudahlah, aku ingin mencuci." ucapku lalu pergi meninggalkannya, namun ia menghadangku di dekat pintu.
"Minggirlah, badan besarmu itu menghalangi jalanku." sedikit mengejeknya, namun sesuai fakta. Semakin hari ia terlihat semakin berisi—bukan otot, tetapi lemak.
"Apa yang kau katakan?"
"Kau gendut!"
"Sialan! Lihat saja nanti kau akan kuhukum!"