➖ JISOO

2.1K 518 28
                                    

Waktu dulu aja aku udah awkward parah ketemu mereka di rumah sakit. Apalagi sekarang, saat aku dikenalkan sama Jaehwan sebagai orang yang mau dinikahinya.

"Ini yang pacarnya dulu mukul kamu bukan?" tanya bapaknya Jaehwan to the point yang bikin aku hanya bisa tersenyum kikuk.

"Iy...."

"Mantannya ayah," koreksi Jaehwan. "Lagian itu sudah lalu. Berapa tahun ya? Mau lima tahun yang lalu juga."

Sementara Jaehwan malah ngomong serius sama ayahnya, ibunya Jaehwan hanya menatapku. Aku hanya bisa terus tersenyum karena sejujurnya aku juga bingung harus berbicara apa sekarang.

"Kamu kenapa mau bersama Jaehwan?" kalau ayahnya Jaehwan bertanya dengan pertanyaan menohok, perenpuan yang melahirkan Jaehwan hanya menanyakan satu hal ini.

"Karena dia...."

"Jaehwan, kasih Jisoo kesempatan untuk berbicara," teguran perempuan itu membuat Jaehwan yang sejak tadi berbicara akhirnya dia. Semua tatapan langsung mengarah kepadaku dan rasanya masuk ruang sidang dan interview tidak sesulit ini.

"Saya melihat Jaehwan seperti bapak saya," akhirnya aku bisa mengatakannya dan meski canggung, aku harus menyelesaikan perkataanku. "Dia teratur, selalu mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri, dia bisa mengerti maksud saya yang orang lain kadang tidak mengerti."

Aku mengambil jeda dan kupikir akan ada cercaan pertanyaan seperti apa agamaku, tapi tampaknya mereka masih menunggu aku mengatakan sesuatu dan aku menelan ludahku gugup.

"Tapi, di antara semua itu, saya mau bersama dia karena dia Jaehwan," aku menatap Jaehwan sekilas, lalu menatap kedua orang tuanya Jaehwan. "Saya bisa pergi mencari orang lain yang mungkin bisa memperlakukan saya lebih baik lagi, tapi pada akhirnya hati saya hanya mau kembali pada Jaehwan."

Boleh tidak aku mengubur diriku karena mengatakan hal semacam itu? Mana setelah itu hanya keheningan dan ibunya Jaehwan hanya tersenyum.

Aku sudah takut akan ditolak dan aku tidak tahu sejak kapan Jaehwan memegang tanganku dan menggenggamnya. Tidak erat, tapi aku tahu dia juga sama gugupnya sepertiku.

"Yaudah, kalian mau nikahnya kapan?" tanya ayahnya Jaehwan yang membuatku hampir lupa bernapas.

Aku ... aku diterima?

"Tahun depan, ayah."

"Lama banget. Disegerakan saja Jaehwan."

"Jisoo masih terikat kontrak sama kantornya, ayah."

Sementara dua lelaki itu berdebat soal tanggalan--karena aku sudah tidak punya orang tua lagi dan hanya ada kakak perempuan ayahku sebagai satu-satunya saudara--ibunya Jaehwan sudah pindah posisi tempat duduk. Tadinya beliau di depanku, sekarang dia duduk di kursi samping dan menepuk pahaku pelan.

"Nanti manggil kami bapak sama ibu aja ya."

Aku terlalu kaget dengan perlakuan ini, apalagi disenyumin jadi aku juga menjawabnya terbata-bata. "I-iya ibu."

"Mas Jaehwan itu bawel soal pengaturan warna pakaiannya."

"Iya ibu."

"Mas juga bawel soal kerapian."

"Iya bu."

"Kalau mas Jaehwan bilang makannya nanti, jangan dipercaya. Paksa dia makan saat itu juga, karena dia suka nunda-nunda makan."

Jadi kalau sisi laki-laki sana malah membahas hal serius, aku malah di sini dengerin hal-hal yang selama ini aku gak tahu tentang Jaehwan.

Seperti dia itu saking gak tegaanya membunuh binatang, sampai kecoa bukannya dipukul pas lewat malah sampai dipelihara pas jaman dia masih SD.

Seperti Jaehwan yang diam-diam main saham karena dia gak suka sama perjodohan dan kalau sampai tetap dipaksa, dia bakalan keluar dari rumah tanpa peduli semua fasilitasnya dicabut.

Seperti Jaehwan yang aslinya tidak begitu suka makan di luar rumah, tapi dia mau makan di luar karena gak suka makan sendirian karena dia anak tunggal.

Ada banyak hal yang aku tidak tahu tentang dia dan kebanyakan memang bikin geli sendiri kalo mendengarnya. Namun, aku tidak mempermasalahkannya karena seperti yang aku bilang kepada mereka tadi.

Karena dia Jaehwan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bossa Nova | Jaehwan ✖ Jisoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang