"Puahahaha, lo manggil maba bapak dan ternyata dia praktikan lo?"
Rose ketawa ngakak dengernya sementara aku mendengus. Apalagi Lisa sudah senyum jahil dan Jennie yang baru datang sama Taeyong malah ngomong, "Jisoo, dicariin tuh sama bapakmu."
"Ejek aja aku terus. Ejek."
Taeyong yang dasarnya emang kalau bereskpresi kalau gak datar macam papan triplek ya kayak cowok bangsat karena senyum miring, menghela napas. "Dia beneran nyari lo, Jisoo."
Aku tersedak minuman mendengarnya dan Rose sampai tepuk tangan karena dengar perkataan Taeyong barusan. Jadi pada akhirnya aku beranjak dari warsin--warung mesin--dan jangan tanya kenapa anak perminyakan nyasar di warsin.
Salahkan makanan favoritku sepanjang masa--soto lamongan--berada di sini dan juga aku malas mendengarkan ejekan Rose dan Lisa. Meski ... sebenarnya aku lega Lisa bisa seperti itu karena dia selama ini jatuh dalam keterpurukan karena Bambam brengsek itu.
Ten aja capek jadi pawangnya Bambam dan Lisa. Sampai dia pernah ngomong saking kesalnya, mungkin dia yang mati duluan karena mengurusi dua orang ini.
"Ada apa?" aku berusaha ngomong sedatar mungkin saat bertemu dengan bapak ... aduh namanya siapa tadi?
Jae ... Jae ... jahe?
"Kapan kelompok kami bisa konsultasi laporan?" dia ngomongnya to the point banget dan tampaknya dia tidak berniat mengungkit kejadian memalukan tadi di laboratorium geologi.
Rasanya mau minta tukar kelompok aja, tapi bang Woozi udah ngasih tatapan galak duluan bahkan sebelum aku ngomong apa pun.
Kejam memang ketua asprak Geologi Dasar ini.
"Nanti saya kasih tahu lewat sms."
"Dan saya yakin mbak malah gak kasih kami nomor untuk dihubungi," tajam memang ngomongnya ini anak. Mana jatuhnya ini aku berasa lagi dimarahin bapakku karena nilai IPK turun.
Hggg ... kenapa jadi ingat bapak di rumah sih?
"Nanti saya hubungi," aku mencoba bersabar dan lelaki itu hanya mendengus lalu ngasih HP tepat di mukaku. "Udah kasih nomor aja mbak. Agak gercep ya mbak, soalnya saya juga ada kuliah setelah ini."
Asli, ini aku lagi diperintah sama anak maba? Mana aku bukannya ngamuk malah nurut aja dia minta begitu.
Seriusan asli auranya kayak bapak-bapak dan keingetan bapak di rumah kalau ngomong gak bisa aku bantah. Padahal bapak gak galak, cuma auranya ya begitulah.
"Yaudah mbak, saya pamit. Makasih."
"Sama-sama pak."
"...."
Aku langsung panik, bukan maksudku ngomong begitu. "Aduh maaf ... maaf. Aku gak maksud manggil kamu bapak. Cuma aku tuh keingetan sama bapak di rumah kalau lihat kamu. Ya kan kamu harusnya ngerti kalau anak rantau...."
"Mbak, saya gak ngomong apa-apa," dia menatapku heran dan rasanya aku mau mengubur diriku saja. Kenapa sih aku tuh dari tadi mempermalukan diri di depan dia? Tiga kali, bukan hanya sekali aja. "Mbak ... mbak gak apa-apa?"
Gimana gak apa-apa? Aku tuh malu sekarang, makanya nutupin muka dan jongkok.
"Gapapa mbak, saya udah keseringan dipanggil bapak," entah ini penghiburan buatku atau pembenaran kalau bukan hanya aku saja yang merasa aura bapak-bapaknya kuat banget. "Mbak masih mending kok cuma manggil saya bapak. Temen-temen saya malah nambahin 'yang mulia bapak terhormat Jaehwan' yang entah faedahnya apaan."
Aku tuh harusnya merasa bersalah, bukannya mau ketawa. Jadilah aku masih sambil nutupin muka dengan tanganku, sambil gigit bibir bagian bawah biar gak ketawa.
"Mbak, jangan jongkok. Ini saya dilihatin dan mau disamperin sama bang Dongho."
Denger nama itu, cepat-cepat aku bangun karena keingetan dulu pas maba kena hukum terus sama dia. Mana apes kuadrat, dia jadi asisten praktikumku di Geologi Dasar 1 dan Geologi Dasar 2. Panas dingin kalau barengan sama dia mah.
Heran kak Feli kok bisa ya ngendaliin bang Dongho yang seram begitu?
"Yaudah mbak, saya pamit," suara itu membuat pemikiranku buyar dan menoleh ke cowok yang namanya Jaehwan.
Eh iya tidak sih? Tadi kan dia bilang yang mulai bapak terhormat Jaehwan.
"Yaudah dek, kalo mau pergi ya pergi. Ngapain harus pamit?"
"Ya siapa tahu jodoh saya di masa depan nanti ngambek kalo saya langsung pergi," dia ketawa pelan lalu melangkah menjauhiku yang masih blank.
Ha? HAH?
Tadi dia bilang apa? Jodoh masa depan? Siapa?
Tapi gak lama aku merasa getaran HP dan aku merongoh saku untuk mengeluarkannya. Aku melihat notifikasi chat kalau berteman dengan Jaehwan. Lalu gak lama ada pesan yang masuk, membuatku ingin mengubur diriku sendiri.
Jaehwan: Saya bukan bapak kamu, mbak Jaehwan: Jadi tolong jangan dipanggil bapak, kecuali mbak mau menjadi ibu dari anak-anak saya di masa depan nanti Read
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.