20

66 10 4
                                    

*harry's pov*

"Once upon a time, seorang putri kabur dari istana megah yang dibangun oleh ibunya sendiri. Dia berlari karena setiap hari yang dialaminya di istana tersebut adalah kesakitan, kesepian,..."

Aku mengalihkan pandanganku dari kedua sorot matanya. Aku tahu bahwa hari ini pasti akan terjadi.

"Kosong" Kathryn melanjutkan kalimatnya.

"Lalu dia menemukan dunia luar. Awalnya, dia pikir dia tidak akan bisa bertahan hidup tanpa topangan ibunya. Namun... dia menemukan kehidupan. Hangat, rasanya hangat." Kathryn bicara lagi.

Aku tahu bahwa sekarang aku nampak seperti pengecut tapi aku benar-benar tidak bisa mengatakan apapun.

Dia menarik daguku---membuatku tidak bisa menghindari tatapannya. Tatapannya terlihat sedih.

"Apa kau bisa memberikan penyelesaian cerita tersebut Har?"

Seandainya aku tahu jawabannya Kath. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Apakah ibunya tetap ada dibalik kehidupan hangat tersebut atau dia memang sudah menemukan arti hidup sebenarnya?" lanjutnya lagi---memberi aku tikaman sekali lagi.

Aku ingin memeluk gadis mungil di hadapanku ini.

Aku membuka mulutku perlahan,

"Sorry Kathryn"

Air mata itu jatuh mengalir begitu saja. Aku ingin menyekanya tapi tanganku membeku disamping tubuhku. Kathryn nampak begitu tersakiti.

Kathryn mengerjapkan matanya berkali-kali. Aku memegang badannya spontan. Aku hanya menatapnya. Hanya itu yang sanggup kulakukan.

"Kathryn? Lama tidak bertemu, sayang?"

Kathryn mencari-cari sumber suara itu.

"Ibu disini Kath, di atas panggung utama"

Dia menepis tanganku begitu saja. Aku memandanginya yang membelakangiku. Entah sekacau apa dia sekarang. Kathryn memang tidak pernah menceritakan ibunya, dia bahkan tidak pernah mencarinya. Oleh karena itu, aku yakin sekali bahwa hubungan mereka buruk.

"Baiklah,  saya akan melanjutkan ucapan ulang tahun saya ke Louis Tomlinson. Tapi  alangkah baiknya jika putri saya yang lebih dahulu menyampaikan  ucapannya"

Kathryn menoleh ke belakang dan aku spontan memalingkan wajahku. Aku tidak tahu reaksi apa itu tapi yang jelas itu bukanlah reaksi yang kuinginkan.

Dia berjalan meninggalkanku dengan kaki gemetarnya. Ingin rasanya aku mendampinginya. Tapi, bahkan mungkin sekarang dia tidak bisa melihatku. Karena perbuatanku sendiri.

Aku tersenyum mengerikan.

Aku lah yang menyebabkan malapetaka ini.

.

Aku masuk ke dalam kamar. Ternyata tidak ada Kathryn. Aku bertanya-tanya sejak tadi dia dimana.

Dan bodohnya, aku berharap dia di ruangan ini.

Aku membuka kulkas kecil di sudut ruangan dan mengeluarkan sebotol alkohol. Aku meneguknya terus dan terus.  Aku berharap bahwa alkohol ini bisa membuatku melupakan masalah ini namun sepertinya tidak berguna.

Kathryn muncul dari balik pintu. Dia muncul dengan wajah kacaunya. Dia bahkan tidak melirikku sekalipun.

Dia berbaring di atas ranjang. Aku membelakanginya. Ingin rasanya aku memutar badanku agar aku bisa melihat wajahnya. Tapi aku merasa bahwa aku tidak pantas.

Aku kaget. Kathryn tertawa mengerikan.

Aku menoleh ke arahnya---memastikan apakah dia baik-baik saja. Aku bisa melihat tatapan tajamnya ke arahku.

"Kau mau minum?" Aku menaikkan botol wine di tanganku.

Dia menggeleng cepat.

Aku mendekat ke arahnya begitu saja. Entah apa yang merasukiku.

"Temani aku ya?" dan kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku.

Tidak ada respon.

"Disana" Aku menunjuk ke arah balkon.

"Kau gila? Diluar suhunya minus berapa bodoh" dia akhirnya bicara.

Aku tidak bisa menyembunyikan tawaku, "Senang rasanya kau memperlakukanku begitu"

"Baiklah. Ayo" dia menarik lenganku.

Aku mengambil mantel dan syal lalu memasangkannya pada gadis di depanku ini.

Dia menoleh.

Mata kami berdua bertemu.

Aku tersenyum.

Entah kenapa aku tersenyum.

Aku berharap senyumku bisa menular namun Kathryn hanya diam tanpa reaksi.

"Ayo kita kabur" aku menarik lengannya keluar menuju balkon.

Aku duduk. Tak lama kemudian, Kathryn ikut duduk di sampingku.

Dia terlihat sangat kacau.

"Kau mau?" Aku menawarkan satu gelas wine.

Respondnya berbeda dari yang aku duga. Kathryn mengambil gelas tersebut cepat lalu meneguknya sampai habis.

"Kenapa kau tidak menjawab tawaranku?" Kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Apa kau berharap ada bintang?" Tanyanya

"Apa kau mau pergi bersama denganku?" Akhirnya aku bisa mengeluarkan kalimat yang selama ini selalu berputar-putar di otakku.

Aku menanti.

Menanti jawabannya.

Kathryn membuka mulutnya,

"Saat cuaca bersalju, rasanya mustahil untuk melihat bintang. Dan saat ini, hatiku tengah bersalju dan aku tidak bisa melihat bintang apapun itu bersamamu Harry"

Aku terkejut namun aku berusaha menutupinya.

Sepertinya, Kathryn benar-benar telah menutup hatinya.

Aku tertawa, "Aku bertanya apa kau mau pergi bersama denganku tapi mengapa kau malah berbicara tentang bintang"

Kathryn tidak bereaksi untuk beberapa detik.

Bibirnya seolah akan bergerak namun selalu tertahan.

"Aku masuk ya, dingin" Dia menutupi perasaannya dengan senyuman palsunya.

Kathryn berdiri. Aku memeluknya cepat.

"Kau bilang dingin kan? Jadikan aku penghangatmu Kathryn" Aku bicara.

Aku berusaha melihat respond Kathryn namun gagal.

Dia menutupi wajahnya dengan untaian rambutnya.

Dia melepaskan pelukanku tanpa melihat ke arahku. Dia masuk begitu saja ke dalam kamar.

Jadi begini rasanya sakit hati.

Aku memegangi dadaku. Aku memejamkan mataku.

Kathryn, tolong jangan paksa aku untuk menyerah mengenai hubungan kita.[]

Sorry bgt woiii. ini tugas ospek fakultas banyak bgttt!!! 3 last part soon updated ya.

ini pertama kalinya dari harry's pov.

tlg vomments yaaaa💓

Beside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang