[07] Pemanasan
🏇🏇🏇
"Kok bawa novel, La? Kan kita mau ke kantin," ujar Agam heran.
Tadi cewek itu sempat menghilang ke kelas. Eh balik-balik datang ke Agam dengan memeluk dua novel. Agam mengira Lamia akan ngambek gara-gara insiden naked di kelas tadi, rupanya tidak. Lamia masih mau menghampiri.
Lamia kembali berjalan, membuat Agam yang tadi terpaksa menunggu, kini mengikuti langkah cewek itu.
"Bentar lagi bel masuk, Gam. Gak bakal sempet makan di kantin. Gue mau ke perpus aja buat balikin buku," ujar Lamia sambil menuruni tangga.
"Sini gue bawain novelnya," ujar Agam spontan.
"Gak usah, cuma novel kok."
"Entar tangan lo pegel."
"Agam ...."
Agam terkekeh sebentar. "Oke, oke. Abis itu kita ke kantin ya. Masih sempet kok. Gampang lah," ucap Agam santai. Cowok itu agak memperlambat langkahnya, mengimbangi langkah Lamia yang jelas-jelas tidak sama dengannya.
Lamia cemberut sebal. "Gak sempet."
"Sem--"
"Dengan ngaret masuk kelas gitu?" potong Lamia.
Agam tersenyum nakal. "Yup!"
Lamia makin mempercepat langkah. "Gak mau."
"Harus mau dong. Entar lo sakit kalo gak makan."
"Gak usah berlebihan, Agam. Cuma gak makan pas jam istirahat sekolah, gak bakal jadi masalah besar."
"Kayaknya gue deh yang bakal sakit kalo gak makan sekarang," seloroh cowok itu lagi.
Lamia memutar bola mata jengah. "Ya udah bungkus aja makanannya."
"Gak makan bareng elo dong," keluh Agam.
"Iyalah. Gue mau buru-buru ke perpus, terus masuk kelas lagi."
"Kita bolos aja deh, La."
Lamia mengembuskan napas keras. "Terus apa gunanya lo sekolah kalo mau bolos terus? Mau nantangin guru terus? Mau jadi apa nantinya kalo sekolah aja gak bener?"
Agam terdiam. Pandangam Lamia fokus ke depan, sehingga tidak bisa melihat ekspresi ironi yang terpatri di wajah Agam.
Biar bisa sama-sama lo terus. Dan juga ... biar gue pantes bersanding sama elo, La.
Nyatanya, memang begitu kebenarannya. Kalau bukan karena Lamia, Agam sudah lama memutuskan berhenti sekolah, memutuskan tidak peduli pada pendidikan, membiarkan dirinya sendiri hancur lebur tidak bersisa.
Karena Lamia, Agam bertahan, berusaha mencapai puncak. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk menarik Lamia ke posisi atas tersebut. Lalu dirinya? Tidak masalah kalau mesti terjun bebas ke bawah lagi.
Lamia melirik Agam yang terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Ia lalu berhenti berjalan dan menghadap Agam.
Dijawilnya pelan hidung cowok itu agar berhenti melamun. "Laper, kan? Ehm gue juga sih sebenernya. Gimana kalo gini aja, gue tetep ke perpus, tapi lo ke kantin buat beli makan. Dibungkus aja. Disampetin makan sebelum guru masuk kelas. Oke?" Lamia memasang senyum terbaiknya.
Ekspresi muram Agam seketika menghilang. Cowok itu lalu tersenyum tipis.
"Oke."
Lamia lalu berbelok ke kiri, menuju ruang perpustakaan. Sementara Agam, cowok itu berlari ke kantin.
Tidak memakan waktu lama, Agam sudah nyaris sampai, tinggal melalui belikan koridor itu. Tapi larinya terhenti ketika seorang cewek muncul dari arah berlawanan menghalangi jalan. Tidak bisa dielak, Agam pun menabrak cewek kelas sepuluh itu.
Cewek itu kontan mundur beberapa langkah ..., setelah tumpahan jusnya mengenai seragam Agam. Ia ingin marah karena tiba-tiba ditabrak, tapi suaranya tercekat ketika melihat wajah Agam. Dan tidak jadi marah ketika sadar baju orang yang menabraknya jadi kotor.
"Maaf, maaf. Ya ampun gue gak sengaja ...," matanya melirik badge kelas di lengan kiri Agam, "Kak. Duh baju Kakak jadi kotor."
Ini kakak kelas ganteng banget!
Agam berdecak pelan, ganggu banget nih cewek. Kenapa gak sekalian nyungsep aja di lantai biar gak banyak bacot?
Biasanya, kalau ada yang nyenggol dia--entah disengaja atau tidak--Agam bakal langsung ngamuk. Gak peduli itu cewek atau cowok. Tapi sekarang waktunya terbatas. Dia bisa telat nyamperin Lamia kalau marah-marahin nih cewek dulu.
Cewek itu berusaha membersihkan baju Agam dengan tisu, tapi langsung ditepis Agam.
"Gak usah."
Setelah itu, Agam kembali melangkah cepat-cepat ke arah kantin, tidak memedulikan tatapan kagum dari cewek kelas sepuluh itu.
***
Salah satu hal yang membuat Agam betah di kelas adalah saat pelajaran matematika berlangsung. Terlebih lagi gurunya asyik, membuat pelajaran mumet--bagi sebagian orang--ini jadi gak terasa berlalu. Oleh karena itulah Agam jadi gak membuat kekacauan walau bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit lalu.
Dan karena itulah juga Agam telat menghampiri kelas Lamia.
"Lamia tadi pergi sama Panji," ujar Tisa ketika Agam bertanya.
Pantas saja Lamia tidak menunggunya di depan kelas. Biasanya kalau Agam sedang tidak ada urusan atau Lamia sedang tidak ikut ekskul, mereka akan pulang bareng. Tapi hari ini berbeda. Lamia bahkan belum bilang apa-apa padanya kalau akan menemui Panji; si ketos sialan itu.
Agam lalu menelusuri koridor sambil mencari dua manusia itu. Sampai di bawah, belum juga ia melihat si Panci membawa kabur Lamia-nya. Dia tadi sudah berusaha menelepon Lamia, tapi gak diangkat.
Asyik banget kayaknya ngobrol sama si ketos.
Hingga langkah kakinya membawa ke arah ruang OSIS, barulah ia menemukan sosok yang dicari-cari. Di sana, dalam jarak radius sepuluh meter, Lamia sedang tertawa kecil menanggapi ucapan Panji.
Sialan, curi start!
Melangkah lebar-lebar, Agam menghampiri mereka. Setelah sampai, ia langsung berdiri di samping Lamia dengan posesif, lalu menatap Panji tak bersahabat.
"Panci, eh salah maksud gue Panji. Ada urusan apa sama Lamia?"
Dan selalu. Kalau kedua manusia itu sudah bertatapan, maka hawa panas langsung terasa. Tak terkecuali saat ini.
***
Repost (2 April 2022)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy on My Bed
Teen Fiction"Kalo suatu saat nanti lo mau pergi, entah karena ngejar orang yang lo suka, atau ... mau mati, lo harus ngomong sama gue ya, Gam? Jangan tiba-tiba menghilang tanpa pamit." Namanya Agam Aderald, si penyebar penyakit mematikan bagi kaum haw...