[14] Luka yang Tampak

175K 14.7K 715
                                    

"JANGAN BILANG KALO MEREKA SAUDARAAN."

Nyaris semua komen di part sebelumnya, isinya kayak gitu.

Wkwkwk emang kenapa siiihh? 😌


***

[14] Luka yang Tampak

▪ ▪ ▪


Agam merogoh kedua saku jaketnya. Tidak ada. Tidak sampai di situ, ia merogoh saku celana. Sama, tetap tidak ada benda yang ia cari.

"Kado buat gue ya, Gam?" tanya Lamia yang memperhatikan tingkah Agam sejak tadi.

Agam berhenti merogoh semua sakunya. Ia menggeleng. "Bukan, tapi nyari hape gue."

Lamia terdiam, lalu tersenyum maklum kemudian. "Oh ... gitu."

Sadar akan perlakuannya, Agam kembali berkata, "Eh sori, La, gue ... gak nyiapin kado buat lo sebenarnya."

"Gak apa kok. Gue juga gak nyiapin kado buat lo. Jadi kita impas!" sahut Lamia kembali bersemangat.

Agam sempat terpaku, tapi detik selanjutnya satu sudut bibirnya tertarik ke atas.

"Hape lo gak ada?" tanya Lamia kemudian.

"Iya. Ketinggalan di tempat Left pasti."

Left, partner in crime-nya Agam. Kalau dalam bertugas Agam dijuluki si Mr. Right, maka partnernya itu dijuluki Mr. Left. Dua-duanya berada di level yang sama. Hanya saja Agam lebih unggul dalam taat pada aturan bertugas. Bukan apa-apa, ia hanya lebih sayang nyawa, sadar kalau ada Lamia yang menunggunya pulang dengan selamat.

Lamia tentu mengerti siapa si Left ini. Ia mengangguk mengerti. "Hape lo gak aktif tadi pas gue telepon."

"Iya, gak lama SMS lo masuk, tu hape mati. Besok gue ambil di dia."

Tidak ada sahutan lagi dari Lamia, ia menunggu Agam mulai mengajaknya berkeliling.

"Yuk!" Agam beranjak, mengulurkan sebelah tangan pada Lamia yang masih duduk.

Lamia mengamati Agam terlebih dahulu, baru kemudian menyambut uluran tangan Agam. Tapi bukannya untuk berdiri, Lamia malah menarik Agam agar lebih mendekat padanya, sehingga membuat posisi Agam setengah membungkuk di depannya

Lamia memperhatikan secara saksama leher kiri Agam, lalu mengangkat sebelah alis. "Ini kenapa?"

Barulah luka goresan itu terlihat jelas, luka yang berada di leher sebelah kiri Agam. Lamia baru menyadari keberadaan luka itu ketika Agam benar-benar berdiri di depannya.

"Cuma luka kecil, La."

Lamia menyipitkan mata tak suka. Dilepasnya pegangan tangan Agam. Ia lalu menepuk tempat duduk di sisi kirinya. "Sini duduk dulu, gue obatin bentar. Untung aja gue bawa kotak obat."

"La, gak u--"

"Duduk, Agam."

Menghela napas pasrah, Agam pun menurut.

Lamia mulai mengeluarkan kotak obat yang ada di tasnya. "Lo ini kebiasaan deh kalo luka dibiarin aja. Sekecil apa pun itu, bisa bahaya kalo sampe infeksi. Kalo males ngobatin sendiri, lo bisa minta tolong sama gue. Apa gunanya gue kalo bantu lo nutup luka aja gak bisa," celoteh Lamia sambil membersihkan luka goresan itu dari darah kering.

Agam hanya diam, menikmati setiap suara Lamia yang mengalun di telinganya.

"Lo dengerin gue gak sih, Gam?"

"Iya."

Lamia mengambil obat merah dan perban putih. Luka itu cukup panjang, tidak cukup jika hanya ditutup dengan plester hamsaplast.

"Sakit gak?" tanya Lamia hati-hati sambil mengoleskan obat.

Agam mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Seriously? Ini cuma goresan remeh, gak terasa apa-apa di kulitnya.

"Sakit nggak?" tanya Lamia lagi karena Agam belum juga menjawab.

"Iya, sakit."

Lamia mendengus pelas. "Makanya jaga diri baik-baik, jangan sampe luka. Selain mesti selamat, lo juga gak boleh luka sedikit pun," ujarnya sambil menempelkan perban.

"Iya, Lamia."

Lamia tersenyum puas setelah luka goresan itu telah diperbani. "Sekarang udah beres. Ada luka lain selain ini?" tanya Lamia sambil mengamati badan Agam.

Agam menggeleng.

"Syukurlah, gue takut banget lo kenapa-kenapa." Lamia menghela napas lega, lalu kembali menyimpan kotak obat di tas.

Agam tersenyum tipis. Hanya luka sekecil ini saja Lamia sampai segininya, apalagi kalau luka yang lebih gawat.

"Udah, kan?" Agam beranjak. "Yuk!" Kembali ia mengulurkan sebelah tangan, mengajak Lamia segera bangkit.

Kali ini, Lamia benar-benar menyambut uluran tangan Agam untuk berdiri. Tapi baru saja ia berdiri tegak, ia sudah mengaduh. "Kaki gue kesemutan," ringisnya sambil memegang lutut kanan. Melepas tangan Agam, kembali Lamia duduk.

Selama menunggu Agam datang, cewek ini memang sama sekali tidak ke mana-mana. Hanya duduk diam di tempat dengan tangan yang terus memegangi ponsel. Wajar saja kakinya sampai menyampaikan protes.

Agam memandang Lamia yang sedang menggerak-gerakkan kaki. Detik selanjutnya, cowok itu menekuk lutut di depan Lamia. Tanpa meminta izin dulu pada Lamia, ia membuka sepatu kanan cewek itu. Setelahnya, dengan tangan kiri memegang pergelangan kaki, tangan kanannya menggosok-gosok telapak kaki Lamia, berharap hal itu bisa membuat rasa kesemutan Lamia menghilang.

"Kak, liat di sana ada orang pacaran!"

Tak jauh dari mereka, ada seorang anak kecil yang menunjuk.

"Hush! Dari mana kamu tau kalo mereka lagi pacaran?" sahut si kakak lelaki yang memegang tangan si adik agar tidak ke mana-mana.

"Soalnya gak kayak Kakak yang ke mana-mana selalu sendiri, gak pernah jalan sama cewek," celetuk si bocah yang dihadiahi jeweran oleh si kakak.

Lamia dan Agam tentu mendengar pembicaraan itu, tapi tak berkomentar apa-apa.

"Gimana? Masih kesemutan?" tanya Agam kemudian.

Lamia mengangguk.

Kembali Agam menggosok telapak kaki kanan Lamia.

Cewek itu menunduk, memandangi Agam yang terlihat fokus membantunya.

"Agam ...."

"Hm?" sahutnya tanpa menoleh.

"Janji ya, kalo lo luka, mesti kasih tau gue."

Agam tidak langsung menjawab.

"Ya, Agam?"

Demi membuat Lamia tenang, akhirnya Agam mengangguk. Malam ini mereka mau merayakan dulu hari ulang tahun, jadi jangan ada acara khawatir-khawatiran luka yang tak seberapa.

***

Bad Boy on My BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang