[10] Apa Arti Bahagia? (I)🔹🔹🔹
Lamia meraih benda pipih yang berada di atas nakas, mematikan alarm ponsel yang berhasil membuatnya terbangun. Ia lalu mengubah posisi menjadi duduk, menyandarkan punggung di kepala ranjang.
Matanya menelusuri seluruh isi kamar. Gelap. Itulah yang dilihatnya. Masih pukul setengah lima pagi, cahaya matahari belum bisa menembus gorden kamarnya. Hanya lampu tidur di sisi kanan yang menjadi penerangan di ruangan ini. Sebelum pergi semalam, Agam pasti telah mematikan lampu.
Lamia beranjak, menuju saklar lampu yang terletak di dekat pintu. Ditekannya, dan seketika kamar pun kembali terang.
Sekali lagi. Sekali lagi Lamia menelusuri seisi kamar dengan saksama. Mulai dari ranjang, nakas, meja belajar, sofa di sudut ruangan .... Semuanya tanpa terkecuali.
Tetap tidak ia temukan apa pun.
Ia menghela napas sekali, lalu melirik ponsel yang masih digenggam. Dilihatnya layar ponsel. Tidak ada pesan ataupun telepon yang masuk dari Agam.
Cowok itu ... mungkin sejenak sedang melupakannya.
***
Lamia sudah siap pergi ke sekolah. Ia berjalan agak tergopoh-gopoh keluar dari gedung apartemen. Lima menit yang lalu, driver taksi online yang dipesannya mengabarkan kalau sudah sampai.
Setelah sampai di luar, matanya langsung mencari keberadaan mobil Honda Freed dengan plat nomor yang sesuai dengan info di aplikasi. Tidak ada. Sama sekali tidak terlihat mobil hitam si driver.
Ia berhenti mencari, lalu meraih ponselnya untuk menelepon si driver. Posisi berdirinya tepat di depan sebuah mobil berwarna abu-abu. Namun belum sempat ia menelepon, seorang lelaki yang keluar dari mobil abu-abu, menghampirinya.
"Mbak Lamia, ya?"
Lamia menatap heran. "Iya."
Lelaki itu memperkenalkan kalau dialah si driver taksi online yang Lamia pesan. Lamia mengangkat sebelah alis saat melihat bentuk mobil dan platnya, mengabaikan rupa si lelaki ini yang terlalu tampan untuk menyupir--dan juga terlalu muda sebenernya. Berapa umurnya? Tujuh belas? Delapan belas? Dua puluh?
"Daihatsu Ayla, huh?"
Lamia kembali menoleh ke si lelaki. "Mobilnya beda ya, Mas?" ucapnya.
Lelaki itu tersenyum canggung sambil mengusap belakang leher. "Iya, Mbak, mobil satunya lagi di bengkel."
Lamia hanya menimpalinya dengan senyum.
"Mari, Mbak."
Mengingat sudah jam berapa sekarang, Lamia pun mengikuti lelaki itu masuk ke mobil. Ia duduk di bangku belakang, lalu--lagi--kembali melirik ponsel. Tidak ada. Tetap tidak ada kabar dari orang yang ditunggu-tunggu.
Menyerah, Lamia menaruh ponselnya di saku baju. Ia membuang pandang keluar jendela, berharap segera sampai di sekolah.
Memilih taksi dibanding ojek mungkin bukan pilihan yang begitu tepat jika ia ingin cepat sampai ke sekolah. Tapi mau bagaimana lagi. Cowok itu tidak memperbolehkan Lamia duduk di boncengan lain selain dirinya.
"Entar lo jadi nempel-nempel sama punggung cowok yang bawa motor. Mending naik taksi aja kalo ke mana-mana pas gak ada gue. Saldonya udah banyak gue isi."
Begitu ujar Agam ketika Lamia protes. Bagaimana pun, motor tetap bisa lebih gesit dibanding mobil. Tapi ya sudahlah. Lamia rasa ia tidak akan terlambat karena sudah memperhitungkan waktunya.
Kalau jalanan lancar, ia tetap bisa tiba di sekolah telat waktu.
Kalau saja ....
Karena kenyataannya, tiba-tiba mobil ini mogok, menepi di pinggir jalan.
Lamia langsung menatap si driver.
"Kenapa, Mas?"
Lelaki itu terlihat panik. "Maaf, Mbak. Mobilnya mogok."
Lamia menggigit bibir bawahnya pelan, bertambah lagi rasa kesalnya. Memilih untuk tidak marah-marah, ia lalu menghela napas panjang sebelum berkata, "Ya udah, biar saya turun di sini aja."
"Eh jangan, Mbak!" tahan lelaki itu.
Lamia yang nyaris membuka pintu, kembali menatap. "Dalam tiga menit, Mas bisa benerin mesin mobilnya?"
"Enggak juga sih."
Lamia berusaha untuk tidak menampilkan wajah muak. "Ya udah, saya turun aja. Makasih, Mas."
"Mbak mau ke sekolah, kan? Entar telat."
Gerak Lamia kembali terhenti. Dengan mogoknya mobil ini saja sudah menghambatnya.
"Iya, makanya saya mau cepet-cepet."
"Biar saya telepon teman buat bantu--"
Lamia menyela, "Gak usah, Mas. Biar saya usaha sendiri aja. Mending Mas urus aja mobilnya. Tenang, saya gak bakal kasih bintang jelek kok karena kejadian ini." Melempar senyum tipis, Lamia lalu benar-benar keluar dari Ayla itu.
Begini repotnya kalau tidak ada Agam. Padahal Lamia sudah bersiap lebih pagi karena tahu tidak pergi sekolah bersama Agam. Tapi tetap adaaaa aja yang menghambatnya.
Lamia terus berjalan di pinggir jalan, berharap segera mendapatkan taksi online lagi--yang baru dua detik ini ia sambungkan. Atau kalau tidak, ia berharap bisa menemukan angkot atau taksi biru yang lewat.
Langkahnya sedikit menelan ketika tiba-tiba ada sebuah mobil yang menepi di dekatnya. Detik selanjutnya, kaca mobil putih itu terbuka, memperlihatkan seseorang yang ia kenal.
"Lamia?" Orang itu tidak bisa menyembunyikan senyum ketika tahu itu benar-benar Lamia, seolah menemukan Lamia begitu tepat.
Lamia menoleh. "Eh, Panji." Awalnya ia bingung siapa gerangan yang menghampiri, tapi langsung tersenyum ketika tahu kalau itu Panji.
Panji turun dari mobil, lalu berjalan dan berdiri di depan Lamia.
"Kok ada di sini?" tanya si ketua OSIS Atlanta itu.
"Tadi naik taksi, tapi mogok ...."
Spontan Panji berkata, "Bareng gue aja kalo gitu."
"Enggak usah. Gue cari tumpangan lain aja."
Kalau cewek lain yang ditawari, pasti akan kegirangan. Ini Panji lhooo. Ketua OSIS ngetop, good boy-nya Atlanta. Tuan mempesona yang selalu mengharumkan nama sekolah.
"Entar telat lho, La. Lima belas menit lagi bel masuk," ujar Panji sambil menyembunyikan senyum kemenangan.
"Ah iya ya." Lamia masih terlihat enggan. Seolah tawaran tumpangan dari Panji itu B aja.
Ya jelaslah! Kalau nyaris tiap hari di boncengan si pentolan sekolah, cowok lain bakal terlihat B aja.
"Kayak sama siapa aja deh. Udah yuk masuk!" Tidak menunggu respons Lamia, Panji langsung membukakan pintu di samping kemudi. Tentu sebelum menyuruh Lamia masuk, ia tarik dulu tasnya yang menempati jok.
"Ta--"
"Mau telat?"
Lamia akhirnya kembali menarik sudut bibirnya. "Makasih, Pan."
Setelah Lamia duduk, Panji menutup pintu mobil. Ia lalu berjalan memutar dan masuk dari pintu satunya.
Panji tidak langsung melajukan mobilnya begitu sudah duduk di balik kemudi. Ia membuka tasnya dulu, mengambil sesuatu. Setelahnya, ia menyodorkan pada Lamia.
"Happy birthday, La," ujar Panji dengan senyum manis, senyum yang katanya bisa meluluhkan hati para cewek pembuat onar untuk taat pada aturan.
Lamia menoleh kaget, menatap Panji ... lalu menatap kotak kado yang diberikan cowok itu. Ia terpaku. Lamia tidak serta merta menerima pemberian itu.
Dari sekian banyak orang yang mengenalnya ... kenapa cowok ini yang pertama kali mengucapkan?
***
Repost tanpa perubahan dari versi Wattpad (3 April 2022)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy on My Bed
Teen Fiction"Kalo suatu saat nanti lo mau pergi, entah karena ngejar orang yang lo suka, atau ... mau mati, lo harus ngomong sama gue ya, Gam? Jangan tiba-tiba menghilang tanpa pamit." Namanya Agam Aderald, si penyebar penyakit mematikan bagi kaum haw...