[12] Apa Arti Bahagia? (III)

173K 14.6K 325
                                    



[12] Apa Arti Bahagia? (III)

🔹🔹🔹


"La, ultah kali ini gak mau dirayain di manaaa gitu?" celetuk Okta.

Lamia mengalihkan pandang dari sebuah kado besar yang baru saja diterimanya, kado dari kumpulan uang sekelas. Teman-temannya sepakat memberi satu kado bersama, bukan kado sendiri-sendiri. Biar lebih kompak katanya.

"Iya, La. Dirayain di club gitu, biar kita bisa ajeb-ajeb," timpal Bryan, biang rusuhnya kelas.

Ucapan Bryan kontan disambut koor para murid lain. Mereka rata-rata menggeleng tak habis pikir, ada juga yang cengar-cengir gak jelas.

"Yeeee ni anak geblek! Mainan Lamia bukan yang begituan!"

"Lagian, kalo ketahuan Agam, bisa dibom itu club sama dia!"

Sorak sorai kembali terdengar, kali ini nyaris semua menyetujui. Lamia ini kan dijaga Agam seolah berlian, senggol dikit aja bisa membuat emosinya tersulut, apalagi membiarkan Lamia bermain di tempat rawan.

Mereka sudah tahu kalau Agam tidak masuk sekolah hari ini, makanya bisa bebas sama Lamia. Kalau ada cowok itu, Lamia pasti sudah dimonopoli duluan. Gak secara langsung sih ..., tapi tetap aja bikin ketar-ketir orang yang mau mendekat.

"Tauk nih, Bryan! Atau enggak, rayain di kafe nyokap gue aja, La. Gue kasih diskon besar-besaran deh khusus buat lo," ucap Mesya.

Atlanta ini memang sekolah elit, rata-rata yang bersekolah di sini adalah golongan menengah ke atas. Gak jarang juga ada anak pejabat dan blabla sebagainya yang duitnya numpuk.

Lamia hanya tersenyum dari tadi, membiarkan teman-temannya bebas berkata. Setelah agak tenang, baru ia berucap, "Iya, ultah gue gak dirayain di mana-mana kok."

"Yaaaah kok gitu, La?"

"Iya, kenapa, La? Kita siap rayain kok. Tinggal tunjuk aja mau di mana. Atau biar kita yang pilihan tempatnya."

Lamia memandang mereka satu per satu. Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya ia memutuskan sesuatu.

"Tapi ...."

Berisik mereka teredam ketika Lamia bersuara. Semuanya kembali memperhatikan Lamia, menunggu apa yang akan diucapkan.

"Kalo kalian mau, kita bisa ke panti asuhan. Gue ada tau satu panti asuhan. Gue sering ke sana. Ya ... kalo kalian mau, kita bisa ke sana ngerayain ultah gue, sekalian ngehibur mereka."

Diam. Satu kelas itu tercengang dengan apa yang diucapkan Lamia. Setelah beberapa detik Lamia selesai bicara, masih belum ada satu pun yang menimpali.

Lamia tersenyum kikuk. "Itu pun kalo kalian mau." Kembali matanya melihat sekitar, lalu membuang pandangan ke sembarang arah. "Karena ... gak semua orang seberuntung kita," sambungnya sendu.

Dua detik. Keterdiaman mereka masih berlangsung selama waktu singkat itu. Tapi setelahnya, kembali riuh berisik terdengar.

"O-oke, gue mau kok."

"Iya, kayaknya asyik main sama anak-anak panti."

"Gue belum pernah sih ke sana, tapi kayaknya seru juga."

"Ya ampun, La ..... Kalo Agam sampe lepasin lo, lo jadi bini gue aja dah."

Ucapan terakhir itu kontak menyambut protes satu kelas. Seruan membahana menimpali si tersangka yang berani bicara ngaco.

Kedua sudut bibir Lamia kembali tertarik ke atas. Ia harap ... dengan begini ia bisa berhenti dulu memikirkan Agam. Cowok itu bukan kali ini saja pergi meninggalkannya sementara waktu. Sudah sering. Tapi yang membedakan kali ini adalah waktu yang kurang pas. 'Urusan' Agam bersinggungan dengan salah satu waktu spesial mereka. Dan Lamia harap ... Agam akan tetap baik-baik saja, seperti biasa.

Pikiran Lamia teralih ketika Tisa mencoel bahunya.

"Ada Panji tuh di luar, nyariin lo."

Panji? Mau ngapain lagi orang itu?

"Widiiih si Panji, gercep amat. Pinter ngambil kesempatan dia," celetuk salah satu dari mereka ketika Lamia berjalan keluar.

Sesampainya di luar, Lamia mendapati Panji yang menunggu.

"Panji, ada apa?"

Cowok itu terlihat agak gugup, tidak seperti biasanya. Ketos itu tidak sepercayadiri biasanya.

"Itu, La ...."

Lamia mengangkat sebelah alis, menunggu Panji menyelesaikan ucapannya.

"Gue mau ngajak lo dinner malam ini. Mau gak?" ucap Panji kemudian, memberanikan diri menatap Lamia.

"Gue?"

"Iya. Berdua. Mau gak?"

"Ya ampun, gak usah, Pan. Lo baik banget sih. Ucapan sama kado tadi pagi aja udah lebih dari cukup kok."

"Tapi gue pengen ngerayain ultah lo, La ...."

Lamia mengusap dahinya pelan. "Wah, sori, Pan, gak bisa."

Ada gurat kecewa di wajah cowok itu. Bisa dibilang, ini kali pertama ada cewek yang terang-terangan langsung menolak ajakannya.

"Kenapa, La?"

Lamia mengalihkan pandang sebentar. "Gue ... ada acara nanti malam." Kayaknya, sambung Lamia dalam hati.

Bahu Panji langsung terkulai lemas. Tanpa ia bertanya pun, ia sudah tahu siapa gerangan yang akan menemani Lamia.

Lamia menggigit bibir bawahnya pelan. "Eh tapi gue sama anak-anak kelas mau ke panti asuhan sepulang sekolah ini. Lo bisa ikut kalo mau." ia berusaha tersenyum.

Dan senyum itu bersambut. Tidak berpikir lama, Panji mengangguk. Setidaknya, bisa bersama Lamia lebih lama, sudah cukup. Apalagi sepertinya Agam gak ikut nantinya. Gak bakal ada gangguan.

***


Pelajaran bahasa Jepang. Kelas tidak sesunyi biasanya karena di pelajaran kali ini mengharuskan mereka aktif di kelas. Banyak berdialog, berdiskusi, maju ke depan menuliskan jawaban ... yang tentu kesemuanya menggunakan bahasa Jepang.

Lamia dan Tisa sedang fokus melafalkan dialog yang akan mereka ucapkan saat dipanggil ke depan nanti. Berpasangan, mereka diharuskan mengucapkan kalimat sehari-sehari menggunakan bahasa negara maju itu.

Pelajaran ini memang terletak di jam terakhir, tapi tidak serta-merta membuat para muridnya jadi lesu. Terlebih lagi gurunya asyik banget mengajar, materi yang dibawakan pun dibuat seringan mungkin. Makanya tidak salah kalau Bu Shila menjadi salah satu guru favorit di Atlanta.

"La, coba dengerin gue, bener gak," ucap Tisa, hendak melafalkan kalimatnya. Baru saja Tisa membuka mulut, Lamia menghentikan.

"E-eh, tunggu, Tis. Hape gue geter." Diam-diam, Lamia mengeluarkan ponselnya dari saku baju seragam.

Sebenarnya, tidak diperbolehkan membuka ponsel saat jam pelajaran berlangsung. Tapi gimana dong. Lamia penasaran banget siapa yang mengirimkan pesan ke dirinya sekarang. Semoga bukan dari operator lagi, harapnya.

Tisa menghela napas pelan, tapi tetap membiarkan Lamia membuka ponsel.

Satu detik setelah Lamia menggeser layar ponsel, matanya membelalak girang.

Dari Agam!

Dan setelah ia membaca apa isi pesan tersebut, senyumnya seketika langsung melebar.

Kita ketemuan di pasar malam jam 8. Gue langsung ke sana.

Tanpa basa-basi ataupun ucapan HBD, pesan Agam mampu membuat perasaan Lamia mulai menyentuh rasa bahagia yang ditunggu-tunggu sejak tadi.

***

Yang diharapkan dari Agam di next part apa? Tell me dong 😆


Bad Boy on My BedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang