16. Terbongkar.

126 16 12
                                    

Kadang ada waktu sedih tidak bersama air mata.
-Leave.


"Lo masih suka makan disini ngak vin?" Nadia membuka pembicaraan, disaat mereka sudah duduk manis di kursi dekat jendela.

"Masih kok, kadang gue suka kesini sendiri, kalo lagi kangen sama lo" Kekeh Davin.

"Apaan si!" Pipi Nadia memunculkan semburat merah, membuat Davin mengeluarkan tawanya.

"Pacar lo ngak marah kita jalan berdua?" Nadia tiba tiba mengeluarkan pertanyaan 'bodoh' entahlah pertanyaan tersebut tiba tiba saja keluar dari mulutnya.

"Enggak kok, kalem aja Nad dia ngak sensian" Balas Davin.

Padahal Nadia sendiri tidak tau siapa pacar Davin tersebut ia hanya asal ceplos saja. Ada perasaan kesal saat tau Davin ternyata benar benar sudah punya pacar lagi.

Tak lama kemudian pesanan pun datang, mereka lalu menikmatinya sambil tenggelam dalam pembicaraan yang asik dan tidak jelas tersebut, tapi Davin dan Nadia menikmatinya, mereka seakan tenggelam dalam kerinduan karena tidak bertemu dan mengobral seperti ini lagi.

Mobil merah milik Davin berhenti dihalaman rumah milik Nadia.
Nadia melepaskan seatbelt nya kemudian menoleh kearah Davin dan tersenyum, Davin pun membalas senyuman Nadia.

"Bilang apa?" Wajah Davin mendekat ke arah Nadia.

"Makasih" Nadia nyengir.

"Gemesh" Davin mengacak ngacak rambut Nadia, dan lagi lagi membuat Nadia salah tingkah.

"Ngak masuk dulu nih?" Tawar Nadia.

"Kapan kapan lagi deh"

"Yaudah dah"

***


Dibukanya pintu membuat Nadia mematung seketika baru saja mood nya naik saat jalan bersama Davin, seketika mood Nadia jungkir balik.

"SAYA PULANG BAIK BAIK KESINI, BERHARAP MASALAH SUDAH SELESAI TAPI YANG ADA SAYA MALAH DICURIGAI!" Bentak Aris, deru nafasnya memburu menatap tajam wanita paruh baya yang dihadapannya.

"Saya tidak akan begini kalo anda tidak memulai semuanya!?!" Amira membalas perkataan Aris dengan kembali menyentaknya. Yang ada dipikiranya wanita itu tidak lemah, wanita juga harus kuat, tidak boleh kalah dengan laki laki.

Nadia berjalan gontai menuju lantai dua, sebisa mungkin ia mengabaikan kedua orang tuanya yang selalu membuat ia hancur. Disaat Nadia melewati Amira. Amira baru menyadari kehadiran Nadia terkejut dengan kehadiran anak busngsunya tersebut.
"Nadia" Ucap Amira sendu, berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Selalu saja begitu, bahkan Nadia tau selanjutnya yang akan terjadi bahwa lagi lagi Aris akan tidur dikantor dan tidak pulang, sekalinya pulang akan berdebat lagi.
Nadia sempat heran. Sebenarnya apa yang sedang terjadi, kenapa tidak dibicarakan baik baik? Kenapa harus dengan berdebat? Kenapa harus didepan Nadia? Itu saja yang ingin Nadia tanyakan namun segera ia tepis jauh jauh pertanyaan tersebut. Entahlah belakangan ini Nadia merindukan sosok Ayah, sekalinya pulang Nadia hanya melihat Aris sedang berdebat. Nadia rindu mana Papanya yang selama ini selalu membantu Lino dan Nadia jikalau ada Pr yang benar benar membuat otaknya ingin meledak? Mana Papa yang selalu ngajak olahraga dihari minggu? Mana papa yang selalu ngajak mencuci mobil hingga basah basahan? Mana papa yang selalu menunggu Nadia saat latihan renang.
Hilang dalam tiga minggu ini.

Nadia sama sekali tak menggubris panggilan Amira. Ia meneruskan kembali langkahnya menuju kamar, lalu menutup rapat rapat pintunya.
Nadia sanggat enggan mengeluarkan air matanya sekedar untuk hal ini lagi, dan lagi. Namun apa daya kalo ia hanya menangis dan mengeluh.
Bahkan Nadia tak sadar bahwa menangis tidak akan membantu menyelesaikan masalahnya, namun yang Nadia rasakan, menangis sama saja menumpahkan segala isi hatinya lewat diam, menangis membuat Nadia tenang. Namun ia juga harus ingat, dimana waktu menangis itu sudah tidak berguna. Waktu dimana ia sudah dingin dengan segalanya, terbiasa dengan segalanya.

LeaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang