55. A Circus

2K 184 0
                                    

“Kau tahu badut?” tanyaku pada sekelompok anak-anak kecil yang mengerumuniku. Ya, sesosok orang dengan pakaian polkadot lucu, perut buncit, riasan wajah, dan hidung tomat itu sering kali menarik perhatian setiap anak kecil yang melihatnya.

“Aku punya sebuah cerita tentang badut. Kalian mau mendengarnya?” tanyaku lagi. Teriakan antusias pun keluar dari mulut mungil mereka. Memintaku untuk segera memulai kisahku. Mereka menatapku dengan tatapan penasaran yang amat menarik.

“Oke. Dengarkan baik-baik, ya..” ujarku mulai bercerita.

“Dahulu, di kota ini terdapat suatu pertunjukan sirkus yang tampil tiap akhir pekan. Banyak sekali anak-anak yang menyaksikannya. Mereka selalu tertawa tiap sang badut menunjukkan aksinya diatas panggung megah yang dikelilingi oleh tempat duduk mereka.

Namun, siapa yang tahu. Tahun kelima perjalanan karir mereka, kabar duka datang menyelimuti para anggota pertunjukan sirkus tersebut. Sang badut terlempar jatuh dari kereta sirkusnya saat sedang dalam perjalanan menuju panggung yang berada di pusat kota. Ia meninggal karena mengalami pendarahan hebat dan gegar otak ketika kepalanya membentur ujung besi dari kereta sirkus. Pemakaman berlangsung dengan dipenuhi oleh isak tangis para anggota sirkus, kerabat sang badut, serta penduduk sekitar dan anak-anak yang amat menyukai badut itu.

Tidak butuh waktu lama, para anggota sirkus sudah menemukan pengganti sang badut yang malang itu. Sebenarnya, para orang tua tidak terlalu menyukai sang badut yang baru. Ia terkesan menyeramkan dan tidak terlalu lucu. Namun anehnya, pengunjung sirkus justru semakin banyak. Satu yang menarik dari badut itu adalah ia memiliki hidung mancung dengan sedikit bengkok bekas dari patah tulang.

Bulan ketiga setelah itu, sepasang suami istri melaporkan anaknya yang menghilang ketika bermain di belakang panggung sewaktu sirkus sedang libur. Polisi pun berpencar ke seluruh wilayah panggung. Selang 4 hari kemudian, sang anak ditemukan mengambang di dalam kolam renang karet besar yang digunakan untuk melakukan atraksi gajah.

Kejadian anak hilang pun terus berlanjut di hari-hari berikutnya. Korban-korbannya ditemukan tewas di setiap sisi panggung. Ada satu hal yang sama yang membuat motif pembunuhan ini menarik. Tiap anak yang tewas, memiliki luka di gusi yang disebabkan oleh benturan benda keras yang juga menyebabkan seluruh gigi bagian depan mereka rontok.

Saat itu, kejadian tersebut sangat viral di negara ini. Semua media membicarakannya. Para polisi meminta penduduk sekitar agar menjauhkan anak-anaknya dari lokasi TKP. Tempat itu dinetralkan dari pengunjung-pengunjun­g yang haus akan rasa penasaran tentang panggung sirkus itu.

Namun, bukan aku namanya jika tidak nekat mendalami hal tersebut. Aku, dengan teman-teman satu gengku, Daniel, Haikal, dan Robi berencana menyusup diam-diam kedalam panggung yang diduga tempat sang pembunuh beraksi. Kami sepakat untuk menjalankan rencana kami malam ini.

Dari hasil pengamatanku di hari sebelumnya, pada jam-jam ini biasanya para polisi sedang beristirahat sambil makan malam di posisinya masing-masing. Yah, walaupun mereka tidak beranjak dari tempat penjagaan mereka, tetapi setidaknya kewaspadaan mereka sedikit berkurang.

Dan, benar saja. Meskipun sedikit kesusahan melewati garis batas polisi yang melintang dari sisi sini ke sisi lainnya, kami akhirnya berhasil masuk kedalam panggung yang megah itu. Aku sedikit merinding mengamati keadaan panggung yang sedikit horror meskipun lampu-lampu disitu menyala dengan terangnya. Namun, itu samasekali tidak meluluhkan rasa penasaranku.

Kami mengendap-endap menyusuri bagian dalam panggung. Terlihat beberapa noda darah di beberapa sisi bekas pembunuhan tersebut.

“K-kal, apa ituu” ucap Daniel tergagap sambil menepuk-nepuk pundak Haikal. Ia menunjuk ke arah pojok panggung. Yang membuat kami bertiga reflek mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh daniel. Aku tersentak. Sesosok pria berbadan tegap sedang berdiri disana. Menatap kami di dalam kegelapan dari sisi panggung yang tak terkena penerangan.

Dia melangkah kearah kami. Wajahnya mulai terlihat. “Hah? Mengapa wajahnya familier sekali?” gumamku bingung.

“La.. larii!” pekik robi menarik lengan Daniel dan Haikal. Aku terjatuh tersenggol tubuh Haikal yang gempal. Di situasi itu, aku merasa sangat membenci teman-temanku. Bagaimana tidak? Haikal menyenggolku hingga terjatuh dan mereka meninggalkanku yang tersungkur ke lantai. Huh, benar-benar jahat sekali! “Awas saja kalau aku berhasil kabur dari tempat ini.” Gumamku pelan.

“Yaa, jika kau selamat..” sebuah suara diikuti bekapan tangan yang besar di mulutku datang dari arah belakang. “Sial, apa lagi ini!” batinku dalam hati. Baru beberapa detik kemudian aku menyadari bahwa dia membekapku dengan sebuah saputangan. Ah, tidak, aku mencium bau obat bius! Aku meronta sekuat tenaga agar tidak larut dalam pengaruh obat bius. Namun gagal. Cengkraman tangannya terasa semakin kuat. Membuat tubuhku melemas dan perlahan-lahan tertidur.

“Uhh, dimana ini?” aku mengerjapkan mata agar kesadaranku segera pulih. “Sial, sedang apa dia disana” gumamku ketika melihat sesosok orang yang sedang berdiri membelakangiku.

Dia membalikkan badannya sambil menjilati tangannya yang memegang palu dengan banyak bercak darah disitu. Dia.. dia memakai pakaian badut sirkus. Namun kali ini itu tidak membuatku tertawa. Tidak samasekali. Aku menyipitkan mata agar wajahnya dapat terlihat dengan jelas. “Oh damn, itu pria yang tadi membekapku.” Umpatku dalam hati dengan wajah terbelalak. Dan aku baru menyadari bahwa pria itu memiliki bengkokan tulang di hidungnya.

“Ya Tuhan, kenapa harus aku. Aku masih sayang hidupku..” aku terus berdoa dan berdoa dalam hati. Berharap seorang superhero datang menyelamatkanku, dan memukul wajah menjijikan pria itu. Yah, itu hanya anganku saja.

Ia berjalan mendekatiku dengan langkah diseret. Membuat napasku semakin memburu. Seperti ada api di dalam jantungku. Aku menutup mataku ketika ia semakin dekat. Sial, bahkan suara napas beratnya pun bisa membuatku pingsan. Set.. jantungku serasa berhenti berdetak ketika tangan lebarnya itu menyentuh kepalaku. Dan merosot turun ke pelipisku. Ta-tangannya begitu dingin dan kasar.

Aku mencium bau anyir darah.

Aku mencoba membuka sedikit mataku untuk melihat apa yang ada di depanku. “Wuuushh.. krakk!!”

Damn..

Tepat setelah mataku terbuka, aku mendapat pemandangan sebuah palu besar yang melayang kearah wajahku. Tidak, lebih tepatnya mulutku. Bau anyir itu seketika bercampur dengan rasa asin yang kurasakan di dalam mulutku.

Mengapa aku tidak merasa sakit?

Tidak, ini terlalu sakit hingga aku tidak dapat merasakannya lagi.

Satu persatu gigiku rontok dari gusiku. Hmm mungkin terlihat seperti beberapa gumpal kecil eskrim vanilla yang dilumuri sirup strawberry diatasnya.

Haha, lupakan.

Dia melanjutkannya dengan menghujaniku dengan beberapa hantaman keras lagi. Suara retak tengkorak, eranganku yang kesakitan, semuanya bercampur. Aku benar-benar tidak dapat merasakan apa-apa lagi. Kali ini dia tidak hanya memukul kepalaku. Dia memukul tulang keringku. Sampai bisa kulihat itu bengkok atau biasa disebut patah dengan sekali pukulan. Belum puas mematahkannya, dia kembali memukul-mukul di bagian yang sama. Hingga dapat kurasakan mungkin tulang keringku sudah hancur berkeping-keping.

Dan puncaknya.. dia memukulku ekstra keras di bagian dada. “Uhh..” tidak perlu banyak-banyak. Dengan sekali pukulan dahsyat saja aku merasa seperti dadaku ditembus dan langsung menghancurkan jantungku. Aku merasakan panas yang amat sangat di paru-paruku. Rasanya seperti terbakar. Lalu disambut dengan hawa dingin yang teramat sangat yang menjalari tubuhku.

Aku merasa.. tubuhku sangat ringan sekarang. Tidak lagi merasakan sakit. Aku tersenyum.

Akupun bangun dan melangkah. Mengikuti lelaki dengan sayap yang bersinar yang ternyata sedari tadi sudah menungguku. Sungguh, kau tidak akan tahu betapa ringan tubuhku. Sampai mungkin bisa kubilang.. aku melayang?

Ya, aku tewas dgn menjadi korban selanjutnya dari pria gila itu.”

Aku mengakhiri ceritaku.

Haha, wajah anak-anak ini pucat sekali.
“Ja.. jadi sebenarnya kau sudah meninggal?!” pekik salah seorang anak didepanku dengan nada ketakutan.

“Hei hei, tenanglah haha..” ucapku sambil tertawa.
“Siapa bilang? Aku menceritakan itu dari sudut pandang korbanku, kok.”

Lanjutku sambil membelai kepala anak itu.
***

Little CreepyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang