12. Losing Face

3.3K 300 6
                                    

***
Sejak aku lahir, kembaranku Tommy adalah sahabatku. Dia yatim-piatu, sejak kecil dia sudah serumah dengan kami. Tapi kami tidak mempunyai hidup yang mudah. Kakak perempuan kami melakukan bunuh diri dan kakak laki-laki kami mengalami kondisi yang disebut “Xeroderma pigmentosum” yang menyebabkannya alergi pada sinar matahari.

Ketika berumur 10 tahun, Tommy terserang Alopecia yang membuatnya kehilangan seluruh rambutnya. Semua orang disekolah meledeknya, tapi dia tak peduli. Dia selalu saja menemukan alasan untuk tetap tersenyum, dia adalah seorang yang berhati mulia.

Suatu hari, ketika kami telah berusia 14 tahun, sesuatu yang sangat buruk terjadi ketika kelas Wood Work (seni kerajinan kayu) sedang berlangsung. Tommy sedang menunggu giliran menggergaji kayu dengan mesin ketika seseorang mendorongnya dari belakang. Dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke mesin yang masih menyala itu. Wajahnya mengenai mesin gergaji.

Suara daging yang tergiling menimbulkan suara yang mengilukan. Tommy berteriak dalam kesakitan. Semua orang melihatnya, kebanyakan dari mereka menutup mata, tidak tahan melihat sesuatu yang sangat mengerikan itu. Siapa yang patut disalahkan dalam kejadian ini?

Wajah Tommy hancur seketika, darah dimana-mana. Ambulans pun segera datang dan membawanya ke rumah sakit. Tommy mampu bertahan hidup, tetapi wajahnya tak bisa kembali normal. Dia tidak memiliki mulut dan hidung lagi. Kelopak matanya juga tak ada lagi. Ibu kami bahkan tak berani melihat wajahnya, sedangkan ayah malah memakaikannya kantong plastik ketika dia sedang berada di rumah.

Penghinaan-penghinaan atas dirinya semakin lama semakin parah. Teman-teman di sekolah malah berbuat lebih kasar dan tak ber-prikemanusiaan padanya. Mereka menunjuknya, menertawakannya, dan menjulukinya dengan nama-nama yang mengerikan. Mereka melakukannya tanpa belas kasihan, tapi kakakku Tommy masih bisa tetap tersenyum. Akan tetapi, aku tahu senyumnya hanyalah topeng. Jauh di dalam hatinya, dia menangis tertekan.

Suatu hari, hampir satu tahun berlalu sejak kejadian itu, halaman depan sebuah surat kabar memuat kabar yang meresahkan. Seorang remaja laki-laki telah dimutilasi di tempat tidurnya. Lukanya sangat parah, sehingga membuatnya mendapatkan perwatan intensif.

Aku melihat foto yang menunjukkan remaja itu sedang tersenyum di kamera dengan seragam sekolahnya. Foto berikutnya sangat membuatku ingin muntah. Hidungnya telah di potong, satu dari matanya telah hilang, bibirnya teriris dan mulutnya dibuat menyeringai lebar dengan sayatan di ujung bibirnya sampai kelehernya.

Aku mengenali anak laki-laki itu. Dia adalah orang yang mendorong Tommy di pelajaran seni kerajinan kayu.

“Apakah kau sudah melihat ini?” Aku bertanya pada Tommy, menunjuk foto di koran itu.

Tommy hanya mengangguk. “Ya..” katanya tanpa ekspresi.

“Semua itu adalah tragedi…”

Beberapa hari berikutnya, surat kabar lokal mengabarkan kejadian serupa. Seseorang yang lain termutilasi di tempat tidurnya. Kali ini anak perempuan dari sekolah kami. Perempuan itu telah di kuliti hidup-hidup. Dia terlihat seperti potongan daging mentah yang mempunyai mata.

Hal serupa terus terjadi dan terjadi lagi. Setiap berapa hari sekali, pasti ada remaja-remaja yang di serang dalam keadaan tidur dan di mutilasi. Mata beberapa dari mereka di congkel keluar, yang lainnya mengalami luka parah yang disayat dari bibir mereka sampai ke leher. Ada juga bibir dan hidungnya di iris rapi. Beberapa terdapat kata-kata kasar yang di pahat menggunakan pisau tajam di kening mereka. Polisi mengatakan hasil penyelidikan mereka menunjukkan bahwa pelaku adalah satu sekolah dengan korban.

Aku baru tersadar, kalau semua anak-anak yang mati itu adalah mereka yang pernah melecehkan Tommy.

Ibuku sangat ketakutan ketika membaca berita di surat kabar. Dia memeberitahu kami ada seorang yang 'sakit' berkeliaran di luar sana dan meminta kami untuk berhati-hati. Tommy hanya menatapnya dengan tatapan aneh, seolah-olah dia mengatakan lewat pandangannya, “Jangan khawatir mengenai itu! Kami akan selamat.”

Dia sepertinya mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui.

Di malam yang sama, ketika aku sedang setengah tertidur, aku mendengar pintu depan terbuka. Aku melompat turun dari tempat tidur dan menyelinap menuju lorong untuk melihat siapa itu. Di ujung tangga, aku melihat Tommy sedang berdiri. Dia masih memakai piyamanya, tapi tangannya menggenggam sebuah pisau yang berlumuran darah.

“Dari mana saja kau?” Tanyaku.

Ketika dia mendengar suaraku, dia melompat kaget. Wajahnya terlihat sangat terkejut. Tapi sepertinya dia mampu menguasai diri dengan cepat. Wajahnya berganti dengan seringaian lebar.

“Tidak dari mana-mana,” jawabnya. “Aku hanya keluar jalan-jalan sebentar..”

Aku tidak mempercayainya. Aku tahu apa yang sebenarnya dia lakukan di luar sana. Aku berlari ke kamar orang tua ku dan berteriak agar mereka bangun.

“Tommy menyelinap keluar rumah malam-malam!!” Teriakku. “Dia membawa pisau yang penuh oleh darah.”

Ayahku segera datang kepadaku, lalu berlari menuruni tangga. Ayah mencoba merebut pisau dari tangan Tommy dan membuangnya ke seberang ruangan. Tommy mendadak menjadi liar dan brutal. Ayahku lalu terpaksa membantingnya ke lantai. Dia mengerang kesakitan dan terus merintih. Ibuku dengan cepat menelpon polisi untuk membawa Tommy ke pusat rehabilitasi.

Polisi mengumpulkan semua bukti. Semua bukti kuat menunjukkan kalau Tommy bertanggung jawab atas semua pembunuhan mutilasi yang terjadi akhir-akhir ini, dan mereka juga berhak untuk menjebloskan Tommy ke penjara, tapi setelah di lakukan tes psikologi dan sederet tes lainnya, akhirnya mereka memutuskan untuk memasukkan Tommy ke rumah sakit jiwa.

Orang tuaku sangat terpukul. Mereka tak mempercayai putra angkat mereka bisa berbuat keji seperti itu. Semua itu adalah pelampiasan rasa tertekan Tommy terhadap ejekan dan siksaan orang-orang di sekitarnya, itu yang membuatnya menjadi hilang akal. Dia menyelinap keluar dari rumah kami di malam hari untuk membunuh anak-anak itu.

“Aku melakukan itu supaya hidup mereka hancur, seperti mereka menghancurkan hidupku,” katanya ketika aku mengunjunginya di rumah sakit jiwa.

“Tapi bagaimana kau bisa membuat mereka tak berteriak sama sekali?” Tanyaku.

“Dengan obat bius.” Dia tersenyum licik. “Hanya beberapa tetes dan mereka akan pingsan.”

Tommy tidak akan pernah keluar dari rumah sakit jiwa. Dia akan berada disana seumur hidup, agar dia tak lagi melakukan perbuatan brutalnya. Tapi itu tak membuatku tenang. Seringkali ketika malam, aku mendengar suara pintu terbuka. Mendengar itu, aku sangat merinding. Tak mungkin kalau Tommy pulang kerumah..
***

Little CreepyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang