88. Checking Out

1.5K 124 4
                                    


Bunga, cokelat, parfum.

Bip, bip, bip. Aku bisa menebak seperti apa malam yang dirnecanakan pria ini, namun aku takkan menghakimi.

Wanita selanjutnya dalam antrean jauh lebih gampang ditebak. Film romantis, anggur, es krim. Bip, bip, bip. Kembali, aku takkan menghakimi. Aku hanya me-scan belanjaannya sementara kata-kata keluar dari mulutku tanpa fokus:

“Perlu yang lain? Kantung kertas atau plastik? Tunai atau gesek?”

Bekerja sebagai kasir seperti seorang pemeriksa mental. Ada alasan aku bekerja tanpa mengkonsentrasikan pikiran pada para pelanggan yang boleh dikatakan sebagai sosok asing bagiku. Hal ini dikarenakan ada sesuatu, sebuah kebiasaan khusus yang kupunya. Asal kalian tahu, aku punya-

“Ruthie, bisa ambilkan kunciku? Ketinggalan di tempatmu, nih.”

“Oh.. tentu. Pulang awal, Paula?”

Aku tak tahu kenapa bertanya padanya. Seperti yang kubilang, aku mampu melihat apa yang akan terjadi –semacam penglihatan- pada orang-orang saat aku menyentuh barang-barang kepunyaan mereka.

Begitu menyentuh kunci Paula, aku melihatnya berada di sebuah parkiran hotel bersama Mitch Sandowski, asisten manajer kami.

“Yeah, gak enak badan,” ucapnya. “Migren.”

Kuletakkan kunci pada telapak tangannya yang terulur sebelum kemudian, aku melihat hal lain yang lebih jelas. Aku tak mau menghakiminya. Tak ada satu pun masa depan yang bisa kuubah setelah melihatnya, maka aku kembali melayani pelanggan selanjutnya: seorang wanita kecil yang terlihat gugup.

Bip.

“Semuanya $14.83,” kataku.

“Sudah termasuk diskon pegawai?” tanyanya sambil menunjukan kartu member keluarga.

“Maaf, saya kurang teliti.” Kutambahkan diskon kemudian. Dia memasukkan karu debit ke dalam tasnya, kemudian melenggang pergi. Kupanggil dirinya kemudian.

“Maaf, Bu, barang anda ketinggalan..”

“Oh Tuhan, pelupanya aku. Bisa-bisa, lain kali, kepalaku yang akan tertinggal,” celotehnya berusaha melucu untuk menghilangkan gugupnya.

Kutahan sebisa mungkin perasaan mual saat dia menyebutkan ‘kepala.’ Namun, aku berhasil memaksakan seulas senyum saat mengulurkan barang belanjaannya yang tertinggal. Sekali lagi, aku tak mau menghakimi.

“Saya harap, Mitch menyukai palu baru Anda, Nyonya Sandowski.”
***

Little CreepyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang