Kumohon ... kumohon percayalah padaku ...
Ayahku adalah pria pendiam, tertutup, dan memiliki selera humor yang aneh. Namun aku selalu berpikir “keanehan” dan sikapnya yang sedikit eksentrik itu adalah hal yang biasa untuk pria yang sudah menua seperti dirinya.
Hal teraneh pada dirinya adalah tangan kirinya yang hanya memiliki jempol, jari tengah, dan kelingking. Ia tak pernah menjelaskan kenapa bisa begitu. Suatu hari aku pernah bertanya - saat itu aku hampir berumur 16 tahun - dan dengan sikap tenang, dia hanya menatapku dan menyuruhku untuk tidak pernah menanyakannya lagi. Sikap tenang itu membuatku bergidik, seakan ia sedang menahan amarah. Aku menanyakannya pada ibuku, namun ia hanya menjawab “Tanyakan saja pada ayahmu.” Selain hal tersebut, ayahku relatif normal.
Ayahku sering begadang menonton kaset VHS lama di loteng, sementara aku dan ibuku sedang berada di lantai bawah. Aku biasanya sedang bermain komputer dan ibuku memasak. Ruangan yang ada di lantai paling atas, sebuah loteng yang direnovasi, adalah ruangan pribadinya. Ayahku hanya meminta satu hal: ruangan itu adalah ruangan yang hanya miliknya; baik aku dan ibuku tak boleh masuk. Aku menganggapnya wajar, karena kupikir semua orang juga pasti membutuhkan privasi. Sesuai kesepakatan, aku tak pernah masuk ke ruangan itu. Ketika aku tumbuh besar, aku mulai mengerti, mungkin tempat itulah dimana dia biasa melihat film “dewasa”.
Namun kenyataannya jauh lebih menakutkan.
Ayahku tak pernah meninggalkan rumah, kecuali saat ia bekerja. Ia sepertinya tak memiliki banyak teman dan tak pernah pergi saat aku berada di rumah, sehingga aku tak pernah punya kesempatan untuk melihat apa yang sesungguhnya dia sembunyikan. Ketika aku punya kesempatan, pintu ruangan itu selalu dikunci. Namun tak hanya alasan itu yang membuatku mengurungkan niat untuk menyusup masuk ke ruangan itu. Pikiran bahwa ayah akan memergokiku selalu membuatku ketakutan. Ketika marah, ayah benar-benar bisa menjadi beringas.
Kesempatan untuk memuaskan seluruh rasa ingin tahuku akhirnya tiba ketika aku mulai kuliah. Aku dewasa dan bebas, sehingga rasa takutku akan ayah berkurang. Pada akhirnya aku mendapat kesempatan dimana aku sendirian di rumah, sementara ayahku sedang berada di tempat kerja. Ia bahkan lupa mengunci pintu, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan. Namun melihat botol wiski yang kosong di tangga, sepertinya ia masih dalam kondisi mabuk setelah semalam.
Saat membukanya, aku mengira akan menemukan sesuatu yang suram dan berbahaya, seperti seonggok mayat atau sesuatu yang lebih mengerikan. Namun di sana hanya ada sekotak kaset VHS usang, sebuah kursi sofa yang lapuk, dan sebuah TV tabung tua.
Aku langsung memeriksa kotak kaset itu bak seorang anak penasaran membuka kado Natalnya. Pasti di sinilah terletak rahasia yang selalu disimpan ayah. Namun di sana hanya ada rekaman acara-acara TV lama dan film-film jadul. Aku hampir menyerah ketika aku menemukan sebuah kaset dengan wadah bertuliskan “PAKTA”. Hal yang membuat kaset itu menjadi perhatianku adalah wadahnya yang bersih, sedangkan kaset-kaset lain tampak berdebu, seakan-akan ayah banyak menghabiskan waktu untuk menontonnya berulang-ulang.
Aku mengambil napas dalam-dalam dan memeriksa apakah terdengar suara langkah menaiki tangga ketika aku memasukkannya ke dalam pemutar kaset di bawah TV.
Dan di sinilah segalanya berubah menjadi aneh.
Film dimulai dengan empat pria telanjang (direkam dalam warna hitam putih), saling berpegangan tangan. Mereka berempat memakai topeng: badut, monyet, serigala, dan burung hantu. Mereka membisikkan semacam mantra dalam bahasa Latin, ketika tempo dan volume suara semakin meningkat, namun gambarnya justru semakin memudar dan berganti dengan sebuah gudang yang besar, namun kosong.
Aku tak tahu apakah kalian pernah mendengar tentang film “snuff”, namun intinya itu adalah film yang merekam adegan pembunuhan sungguhan dan hal-hal mengerikan lainnya. Film ini semacam “mishmash”, yakni kumpulan cuplikan-cuplikan pendek yang mengandung adegan-adegan sadis dan tak manusiawi. Secara bergantian, sang burung hantu, monyet, dan serigala muncul melakukan perbuatan-perbuatan biadab itu, sementara sang badut merekamnya.
Fim itu dimulai dengan adegan seorang wanita diikat dengan mulut disumbat, sementara sang monyet dengan perlahan menyiletkan pisau cukur untuk mengupas kulitnya. Intinya, wanita itu sedang dikuliti hidup-hidup, sementara yang lain tertawa menyaksikan. Adegan itu benar-benar menghantuiku. Wajah perempuan itu murni dipenuhi teror dan kesakitan. Sedangkan suara napas yang berat terdengar di sela-sela teriakan wanita itu.
Mereka akhirnya menggorok lehernya dan segera, film itu berganti adegan. Sang monyet menyusup ke dalam kamar hotel dimana di ranjang terdapat dua anak kecil yang sedang tertidur. Ya Tuhan, pikirku, jangan lakukan itu pada mereka! Aku mengernyit ngeri ketika adegan-adegan itu terus berlanjut. Film itu terus berlanjut ke dalam adegan-adegan serupa seperti ini, gambar-gambar “disturbing” yang kadang melibatkan wanita dan kadang anak-anak. Semua adegan itu terlihat sureal. Di satu kesempatan, ada adegan seorang pria muda, diikat di sebuah kursi dan menangis ketika paku-paku ditancapkan ke tubuhnya menggunakan palu perlahan-lahan.
Adegan-adegan menakutkan dan penuh kekekerasan berlanjut frame demi frame, membuatku merasa sangat tidak nyaman. Ada sesuatu tentang kamera yang terus bergoyang dan suara napas berat yang terengah-engah ketika si badut yang merekamnya menyaksikan semua adegan penyiksaan dan pembunuhan ini.
Suara napas itu selalu terdengar di tiap klip yang ditayangkan dan mendengung di latar belakangnya. Suara napas itu menderu, seolah ia merasakan suatu kenikmatan.
Tentu saja, kalian pasti bertanya kenapa aku menyaksikan. Pada awalnya, aku hanya merasa itu hanyalah film biasa. Kalian tahu lah, mungkin itu adalah sebuah film horror bertema “gore” yang sureal, dirilis pada awal tahun 90-an, dan kemudian dilarang ditayangkan karena tak lulus sensor sehingga aku tak pernah mendengarnya. Namun ketika aku mencarinya di google, tak ada hasil ketika aku mengetikkan “PAKTA”. Jadi, aku berkesimpulan itu adalah film snuff sungguhan.
Aku merasa sakit, bahkan mual, namun aku bertekad untuk menyelesaikannya. Jika selama masa kecilku, aku dilarang untuk memasuki ruangan ini (bahkan sekarang pun masih), pasti karena film ini. Dan aku perlu tahu kenapa. Kenapa ayahku menonton film ini?
Sekilas terbersit pikiran, apakah di film ada adegan yang menjelaskan kenapa ayahku kehilangan jari-jarinya? Apa si badut, monyet, burung hantu, dan serigala mengambilnya darinya? Banyak dari adegan penyiksaan di film itu melibatkan mutilasi. Aku cukup yakin akan menemukan adegan dimana ayahku disiksa. Namun apakah aku akan cukup kuat untuk menyaksikannya?
Karena alasan itu aku tetap menonton.
Potongan klip itu semakin pendek dan pendek durasinya. Semuanya dibangun menuju klimaks yang “grotesque”. Adegan penyiksaan mulai berkurang dan film ini fokus sepenuhnya pada adegan pembunuhan. Aku takkan terlalu detail tentang adegan film ini. Aku tak tahu apakah aman bagi kalian untuk mengetahuinya. Yang pasti adegan-adegan ini akan membekaskan trauma yang dalam apabila kalian menyaksikannya. Tak ada manusia waras yang seharusnya menonton apa yang sedang kusaksikan saat ini. Film ini benar-benar menunjukkan sisi tergelap dalam diri manusia.
Film itu diakhiri dengan adegan seorang gorila ... tidak, kumaksud seekor gorila sungguhan masuk ke dalam ruangan dimana seorang wanita sedang diikat di ranjang. Kemudian gorila buas itu meng .... ah, terlalu berat untuk kuceritakan. Yang jelas, adegan terakhir menampakkan gorila itu memangsa apapun yang tersisa dari tubuh perempuan itu.
Aku mematikan suaranya. Aku benar-benar pusing saat ini.
Semua adegan itu akhirnya berakhir. Semuanya berhenti bergerak, terkecuali sang kameramen. Kameranya menggarah ke sebuah cermin dan seketika itu juga aku menjadi muak.
Tangan yang memegang kamera itu hanya memiliki jempol, jari tengah, dan kelingking. Tak ada yang lainnya.
Aku hampir menjerit karena kengerian murni yang menerkamku, namun yang lebih mengguncangku lagi adalah suara pintu depan yang dibuka. Ayah sudah pulang! Aku segera mematikan televisi, mengeluarkan kaset VHS itu, lalu memasukkannya kembali ke kotak, merapikannya sebentar, lalu segera keluar dari ruangan itu secepat mungkin.
Diam-diam, dengan jantungku berdegup amat kencan, aku masuk ke kamarku, tepat di saat ayahku terdengar melangkah naik melalui tangga. Kepalaku seakan berputar-putar, mulutku terasa kering, dan sekujur tubuhku dibasahi keringat dingin. Aku hampir pingsan. Pikiranku sendiri berada dalam keraguan. Mustahil itu ayahku! Mungkin itu hanya kebetulan. Ya, ayahku pasti tak bersalah!
Namun aku benar kenyataannya. Akupun jatuh tertidur di atas kasur karena kelelahan. Aku tak sanggup lagi ... benar-benar tak sanggup.
Aku bangun ketika mendengar ketukan ibuku di pintu menyuruhku untuk menuju ke meja makan untuk makan malam. Di sana ayahku tak menyebutkan apapun, namun ia menggumamkan sesuatu tentang “mencari kamera lamanya”.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Creepy
TerrorBeberapa cerita Creepypasta untuk di baca... Kuharap kalian tidak mendengar ketukan di jendela saat sedang membaca cerita ini... Source : Google