Blitar, 3 Tahun Kemudian
Sudah hampir satu tahun Fatrial magang sebagai dokter Residen di Rumah Sakit Mardi Waluyo. Ia sengaja memilih pendidikan Residen di rumah sakit yang dekat rumahnya karena seseorang yang selama tiga tahun terakhir ini membatu di hatinya.
Langkahnya terhenti, saat sepasang visualnya menangkap sesosok wanita berambut lurus sebahu dengan jas putih berjalan menuju poliklinik. Sejenak Fatrial menahan napas untuk menormalkan jantung yang sudah naik ritmenya, tepat ketika mata itu menangkap sosoknya. Ada getaran luar biasa yang terus bergejolak tiap kali melihat wanita itu.
"Aina.."
Nama yang tiap malam menghantuinya, yang setiap saat membuka segala kemungkinan masa depan yang ingin ia bangun. Berharap waktu berhenti saat hatinya tak lagi mampu menahan desiran yang kian menyiksa.
Rasa itu sudah ia pendam sejak masih ko-as dulu, Fatrial tak mampu mendekat seinci pun pada Aina, selain karena Aina sosok populer di kalangan para mahasiswa dulu, Fatrial juga tak memiliki keberanian mendekatinya lebih jauh. Ia selalu merasa belum siap jika harus mengutarakan perasaan itu di saat masih ko-as, mengingat tugas dan beban belajar sebagai calon dokter tidaklah mudah, Fatrial menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan perasaan sekaligus melamarnya.
Gemuruh di hatinya tereduksi saat bayang-bayang Aina telah lenyap dari pandangannya. Fatrial menarik napas dan melanjutkan langkahnya menuju ruang Radiologi. Dokter Ferdian menyambutnya dan memberikan selembar kertas foto hasil rotgen pasien yang baru selesai dikerjakan. Ia mengamati dengan cermat hasil rotgen yang baru keluar hari ini, terutama pada bronkus. Pasien kali ini mengidap bronchitis kronik. Penyakit pada saluran bronkus karena virus, sehingga ada penebalan pada batang bronchial yang menyebabkan penderita susah bernapas. Tidak parah, tapi jika dibiarkan bisa mengarah pada paru-paru Obstruktif Kronik.
Fatrial menaruh hasil rotgen di atas map berwarna putih, lalu mengambil selembar kertas berisi keterangan tertulis hasil rotgen pasien, dalam lembar kertas putih itu juga terdapat kesimpulan yang bertuliskan 'Paru: tampak peningkatan corak vaskuler dengan penebalan peribroncial di perihiler hingga paracardial kanan kiri dengan tramline sign.'.
"Veve Fitria," suara Fatrial menyebut nama pasien yang tertulis dalam lembar tersebut, "Namanya tidak asing ya." Gumamnya sambil mengerutkan alis berpikir.
Dokter Ferdian tersenyum, lalu menyeruput segelas teh yang ia bawa dari kantin rumah sakit sejak satu jam yang lalu sebelum Fatrial datang, tentu sudah tak lagi hangat.
"Namanya pasaran mungkin. Banyak nama-nama seperti itu." Sahut dokter Ferdian dan disambut tawa oleh Fatrial. "Bisa jadi begitu."
"Jadi Kapan nih saya nerima undangan darimu?" dokter Ferdian mengalihkan pembicaraan, pertanyaan yang seketika membisukan mulut Fatrial. Tawa yang tadi membahana sekejap lenyap. Nyaris setiap penghuni rumah sakit yang dekat dengannya selalu melayangkan pertanyaan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
Lãng mạnAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)