Tersentuh

8.4K 518 7
                                    

...

Sesuai saran Nadia, Fatrial datang ke sekolah di mana Veve mengajar. Ia ingin tau banyak hal tentang perempuan yang dikenalkan Ustad Habib padanya.
Ia tak ingin melihat perempuan berjilbab itu pemilik kekurangan belaka, meski tak sepadan dengan Aina, tapi hatinya menolak jika dirinya menilai Veve sebelah mata.

Fatrial hanya berdiri di depan gerbang sekolah. Ia sempat terkejut melihat bangunan sekolah yang amat sederhana, fasilitas apa adanya. Terlihat jelas hanya ketulusan yang mampu membawa seorang guru untuk mengajar di sana.
Apalagi setelah ia tau bahwa guru di SPM LB tersebut tak lebih dari sepuluh orang. Berapa gajinya? Pasti hanya cukup untuk makan satu bulannya.

"Mencari siapa, Mas?" seorang bapak tukang kebun sekolah mendekati Fatrial.

"Oh, tidak, Pak. Hanya ingin melihat-lihat." Jawab Fatrial kikuk.

"Tapi kok kayaknya sedang mencari seseorang.."

Fatrial tersenyum bingung.
"Emm.. sebenarnya iya, Pak. Saya sedang mencari Mbak Veve." Akhirnya Fatrial memutuskan buka mulut.

"Oalah, kalau jam segini Bu Veve masih ngajar, Mas."

"Tapi bukankah sudah waktunya pulang, saya lihat tadi sudah banyak anak-anak yang pulang dijemput orangtuanya."

Bapak tukang kebun itu tersenyum.
"Bu Veve mengajar dua kali, Mas. Sepulang sekolah ia biasanya masih membantu belajar anak-anak tunagrahita. Beliau mengajarnya secara sukarela, Mas, dan biasanya sampai jam empat sore."

Fatrial tertegun, seperti ada air es yang mengguyur tubuhnya.
"Suka rela?" ulang Fatrial memastikan apa yang ia dengar tidak salah.

"Iya, Mas. Sudah satu tahun Bu Veve melakukan hal itu, katanya pengen anak-anak didiknya pintar. Saya kadang kasihan juga dengannya, gajinya mengajar di sini tidak seberapa, tapi dia masih rela memberikan waktu istirahatnya untuk anak-anak."

Sesaat Fatrial merasakan napasnya berat, ada perasaan simpati yang muncul seketika, membuat pikirannya kacau.

"Ngomong-ngomong Mas ada perihal apa kok mencari Bu Veve? Kayaknya Mas juga baru pertama ke sini."

Fatrial diam sejenak untuk berpikir. "Ee,, ada perlu dengan Mbak Veve, Pak."

Bapak tukang kebun itu mengangguk mengerti.

"Apa boleh saya masuk, Pak. Saya ingin melihat beliau mengajar, sekalian menunggunya di depan kelas."

"Oh, silakan, Mas. Masuk saja, ini sekolahan terbuka untuk umum kok."

"Terima kasih, Pak." Katanya tersenyum, lalu berjalan memasuki gerbang menuju kelas di mana Veve mengajar.

Fatrial berjalan melewati serambi kelas, mengedarkan pandangan untuk melihat keadaan di sekolah tersebut. Masih ada beberapa guru yang berbincang-bincang di kantor, juga beberapa anak cacat sedang duduk menunggu jemputan.

Terlihat jelas perbedaan dunia yang selama ini ia jalani. Melihat kondisi anak-anak cacat itu membuat Fatrial banyak berpikir. Pastilah untuk mengajar mereka dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.

Kaki Fatrial telah sampai di depan jendela kelas. Dari jendela kaca tersebut ia bisa melihat aktivitas Veve di dalam. Terlihat jelas perempuan itu sedang menerangkan materi pelajaran di papan tulis, dan beberapa kali ia mendekati siswa yang duduk di bangku depan.

Ada lima siswa dengan keterbatasan yang berbeda-beda, dan masing-masing dari mereka membutuhkan perhatian lebih. Tak terlihat kelelahan di wajahnya, ia masih bisa tersenyum bahagia mengajari mereka, meskipun anak-anak yang ia didik sudah nampak lelah.

Perlahan senyum tipis tergambar di bibir Fatrial, senyum yang muncul tiba-tiba tanpa perintah otaknya.

"Aku tidak tau kau sosok seperti apa, tapi entah kenapa setelah melihat dirimu yang seperti ini, justru semakin membuatku ragu untuk mengambil keputusan." batinnya

Fatrial duduk di teras pojok kelas, menunggu Veve selesai mengajar. Ia sengaja menunggu di posisi yang aman dari pantauan orang agar Veve pun tidak tau keberadaannya. Ia bermaksud mengetahui aktivitas perempuan berjilbab itu selain mengajar di sekolah.

@@@

Satu jam berlalu, Veve mulai meninggalkan kelas. Ia berjalan kaki keluar gerbang, dan Fatrial mengikutinya agak jauh di belakang. Ia berjalan melewati trotoar menuju kontrakannya yang berjarak sekitar 500 meter dari sekolah.

Fatrial berjalan pelan di belakang, mengamati setiap gerak-geriknya. Perempuan itu selalu tersenyum menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya, juga beberapa kali memungut sampah yang berserakan di trotoar. Sampah berupa botol dan plastik yang ia temukan sepanjang perjalanan dan ia buang di tong sampah besar di ujung trotoar.

Untuk pertama kalinya Fatrial melihat sosok seperti itu, entah disebut menginspirasi atau sekedar membuang waktu, tapi ia nampak enjoy saja melakukan semua itu.

Langkah kakinya kini telah sampai di depan pagar rumah kontrakannya. Rumah minimalis bertipe C itu menjadi tempat tinggal Veve bersama tiga teman lainnya. Rumah bercat biru langit dan berhalaman sempit. Dari gaya bangunannya bisa dipastikan harganya sesuai kantong orang seprofesinya.

Semakin datang ke sini, kau membuatku semakin ragu.

Setelah pintu rumah itu ditutup, Fatrial bukan justru bernapas lega, ada begitu banyak pikiran yang hinggap sesaat lalu sekelebat kemudian pergi. Tentang kehidupan Veve dan Aina yang sangat jauh berbeda.

Apakah ia harus memilih? Kenapa tiba-tiba ia di posisi seperti ini?













Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang