....
Blitar pukul, 19.00 WIB
Fatrial tersenyum mengulurkan tangannya, dan Veve segera meraih dan mencium punggung tangan suaminya. Hal yang selalu mereka lakukan usai sholat berjamaah.
Memang tak banyak waktu, dan tak semua waktu sholat bisa dijalani bersama. Veve bersyukur bisa sholat berjamaah dengan Fatrial, meskipun itu hanya sekali dalam sehari. Tak apa, setidaknya ada doa-doa yang terpanjat bersama.
IPhone Fatrial berbunyi, ada panggilan dari Aina. Sejenak ia ragu untuk mengangkat, sempat melirik Veve yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Dengan sedikit ragu ia pun mengangkat telepon tersebut.
“Iya..” ia menjawab suara Aina di seberang sana.
“Kau di mana?”
“Di rumah, kenapa?”
“Datang ke coffee shope Marin, yuk! Ada teman-teman koas kita dulu. Ada Alvin, Sandra, Beny dan Ilham.” Ajak Aina yang terdengar ramai dari tempat ia bicara.
Fatrial menarik napas, tidak langsung menjawab. Ia kembali melirik Veve yang telah selesai merapikan rambutnya, dan sedang memandanginya.
“Maaf, Aina. Aku tidak bisa.”
“Kenapa?” suara Aina terdengar lebih kencang, mungkin ia terkejut.
“Aku ingin menghabiskan waktu luangku di rumah.”
“Oh, tentu. Kau kan sudah punya istri sekarang,” suara Aina terdengar ketus, “tapi teman-teman ingin bertemu, kamu bisa ajak Veve kok. Sekalian kenalkan istrimu pada mereka, kurasa itu ide bagus.”
Fatrial terdiam, kembali melihat istrinya. Kali ini Veve mengabaikan pembicaraannya, ia memilih berjalan keluar kamar. Tak ingin menjadi penguping, meskipun sejujurnya ia amat ingin tau, ditambah sang penelepon adalah Aina, sosok yang entah sejak kapan membuatnya begitu resah dan was-was.
“Bagaimana, Fat? Bisa datang kan?”
Tidak, ia pasti akan menjawab itu.Slide-slide memori minggu lalu saat dirinya mengajak Veve makan malam di rumah Aina tersingkap kembali, saat ia melihat keacuhan dan tentu saja kalimat menyakitkan yang menghantam hati istrinya itu. Tidak untuk yang kedua kalinya. Ia tidak akan menempatkan Veve di posisi yang sama.
“Aku tidak tau sejauh apa kamu berubah, tapi apa susahnya datang untuk bertemu teman sendiri. Lagian aku yakin Veve pasti mengizinkan kok. Kalau sulit, kamu ajak dia ke sini.” Kini ajakan itu terdengar memaksa.
Alvin dan Beny adalah teman satu kelompoknya ketika koas dulu, sedang Ilham dan Sandra adalah teman dekat Aina ketika koas dan kuliah dulu. Tentu saja Fatrial mengenal mereka dengan baik, dan pastilah ada kesungkanan jika mengabaikan mereka, tapi ia tak sampai hati meninggalkan Veve.
Sudah sering, bahkan teramat sering ia menghabiskan waktu di luar. Jika mampu dihitung mungkin prosentase waktu yang ia berikan untuk Veve hanya 25%.
“Aku tidak bisa meninggalkan istriku sendirian.”
“Itu berlebihan, Fatrial! kau bisa menemaninya setiap hari, tapi teman-teman tak setiap hari bisa berkumpul seperti ini,” gerutu Aina ketus.
“Oke, terserah kamu lah!” Aina pun memutus teleponnya, nampaknya ia marah.
Fatrial hanya bisa menarik napas, lalu meletakkan kembali iPhone tersebut di atas meja kamar.
“Kenapa, Mas tidak menjawab iya?”
Sontak Fatrial terkejut, ia segera membalikkan badan. Entah sejak kapan Veve telah berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan wajah cerah. Sengaja ia memasang wajah seperti itu agar Fatrial tidak khawatir. Ia telah mendengar semua pembicaraan itu, juga melihat reaksi Fatrial setiap kali menjawab pertanyaan Aina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
RomanceAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)