Badai Pertama

9.7K 602 24
                                    

,......

Klinik Paru, pukul 14.00 WIB

“Pasiennya banyak sekali hari ini, rasanya tidak berkurang sama sekali.” Keluh Fatrial sambil mengusap wajah ketika baru memasuki klinik dari pintu belakang.

Ia baru selesai sholat duhur, dan jumlah pasien di kursi tunggu masih banyak, bahkan berlipat dari sebelumnya.

Fatrial segera mengambil posisi duduk, membuka-buka lembar hasil pemeriksaan di Poli Umum dari beberapa pasien yang sedang mengantre di luar. Sebuah pesan masuk mengalihkan sejenak perhatiannya.

From: istriku
Mas, pulang jam berapa?

Belum tau, pasien masih banyak, tapi kalau sesuai jadwal pulang sore
Send

Terasa garing, mungkin itulah kalimat yang cocok untuk menggambarkan kondisi keluarga yang baru ia bangun. Tak mudah mencintai seseorang meskipun ia pendamping hidup kita, juga tak mudah untuk berbagi banyak hal. Begitulah yang saat ini dirasakan Fatrial. Sudah sepuluh hari berlalu, tapi bangunan itu tak juga selesai, justru yang terjadi adalah kehabisan bahan semacam semen dan bata, sehingga tak memberikan perkembangan apa pun.

Apakah jawaban istikharah saat itu salah? Ataukah dirinya yang tak mampu mempertahankan keyakinan dan mulai meragu?

Tidak.. Ia tidak sedang berusaha menjauh dari istrinya. Ia hanya belum mampu bersikap layaknya suami, ia hanya takut melangkah maju untuk mencintai Veve.
Mungkin butuh waktu..

Iya, ia hanya butuh waktu untuk beradaptasi.

......

Fatrial keluar klinik sambil mengedarkan pandangan. Kursi tunggu yang tadi pagi hingga siang penuh kini telah kosong, begitu juga pengunjung di rumah sakit telah sepi, hanya perawat dan petugas rumah sakit yang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

“Fatrial!” Aina memanggil dari jauh. Dia setengah berlari menghampirinya.

“Kenapa kau tidak membalas pesanku?”

Fatrial terdiam sejenak, agak bingung.

“Ibu mengundangmu makan malam. Bisa datang kan malam ini?”

“Untuk apa? Bukankah ibumu sudah sehat?”

“Iya justru itu, dia ingin berterima kasih. Kalau perlu istrimu bisa diajak. Kumohon! Ibu sudah menyiapkan banyak makanan di rumah. Kau bisa mengajak istrimu kalau merasa tidak enak. Orangtuaku sudah tau semua tentang pernikahanmu. Mungkin makan malam ini adalah salah satu cara mereka mengucapkan selamat karena tidak bisa datang. Kau sudah banyak membantu pengobatan Ibu selama ini, jadi wajar kalau Ibu ingin berterima kasih. Sungguh tak ada maksud apa-apa. Kumohon!” Aina mengatupkan kedua tangan di depan dada sambil mengerutkan alis memohon.

Fatrial berpikir sejenak. Mengajak Veve? Apa tidak apa-apa? ia sedikit khawatir, mengingat keadaan keluarga Aina seperti itu.

“Gimana?”

“E, Insya Allah.”

“Thanks, aku tunggu di rumah. Jangan lupa ajak istrimu, aku ingin mengenalnya.” Kata Aina lalu melangkah pergi.

Setelah Aina pergi, Fatrial segera menelepon Veve. Ada keanehan, haruskah ia memenuhi undangan itu? Atas dasar apa mereka mengundang, dan kenapa pula mereka meminta Veve ikut. Jika ini hanya terkait urusan pasien dan dokter, maka tidak seharusnya istrinya ikut. Namun..? Ah, Fatrial tak ingin menerka-nerka, ia segera menghapus benih-benih kekhawatiran di benaknya.

@@@

Untuk yang kedua kalinya Fatrial datang memenuhi undangan makan malam di rumah Aina. Kali ini menu yang disediakan di meja tak kalah mewah dengan yang pernah tersedia dulu. Ibu dan ayah Aina sudah menunggu di meja makan.

Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang