......
Seperti biasa, Veve menghabiskan waktu setengah hari untuk mengajar. Meskipun sudah menikah, ia tak melepas pekerjaan yang sudah dua tahun ini digelutinya. Fatrial tidak pernah melarang dia untuk melakukan apa pun yang ia suka selama itu baik, sehingga pekerjaan tersebut tak menjadi beban.
Ia sedang berdiri di depan gerbang sekolah. Mengantar kepulangan para siswanya yang sebagian besar dijemput oleh orangtua masing-masing. Entah kenapa melihat mereka seperti itu memunculkan harapan kecil.
Ya, harapan pada seseorang yang akan datang menjemputnya, tapi itu tidak mungkin, Fatrial tugas pagi sampai sore hari ini, mustahil untuk datang. Veve menarik napas, merogoh handphone di tas pinggangnya, melihat adakah pesan atau panggilan masuk dari suaminya.Tidak ada.
Veve melihat layar handphone dengan sedikit sedih. Ia berharap setidaknya ada pesan dari suaminya meskipun ia tak bisa menjemput, tapi sudahlah, ia pun memutuskan untuk segera pulang naik angkutan kota menuju rumah barunya yang cukup jauh dari sekolah.
...
Angkutan kota yang ia tumpangi nampak penuh. Sopir terus saja menambah penumpang meskipun di dalam angkutan sudah mulai sesak karena barang-barang. Veve duduk dipojok dekat jendela. Ia membekap mulutnya karena bau gas yang cukup menyengat, ditambah di dalam angkot terasa panas.
Suasana di dalam angkot kian memburuk dengan bau rokok dari seorang pria yang duduk di depan dekat sopir. Udara membawa asap rokok masuk ke belakang, dan cukup membuat beberapa penumpang di belakang menggerutu. Sedang Veve menahan napas sesaat, mengusahakan tidak banyak asap yang ia hirup. Ia tahu betul dirinya sedang menderita bronkitis kronik, jika menghirup asap rokok atau kendaraan maka ia akan kesulitan bernapas.
"Harusnya tadi bawa masker." katanya membatin.
Setengah jam kemudian angkutan tersebut berhenti di depan gerbang perumahan tempat di mana kini Veve dan Fatrial tinggal sejak dua hari yang lalu.
Batuk berat sempat menyerang usai turun dari angkot. Beberapa kali Veve menepuk-nepuk dadanya sambil berjalan menuju rumahnya yang tak jauh dari gerbang masuk perumahan.
“Sendirian saja, Dek?” seorang ibu bertanya dari depan teras rumah.
Veve tersenyum. “Iya, Bu. Baru pulang dari sekolah.”
“Gak di jemput sama suami?”
Entah kenapa pertanyaan itu kian menambah sesak di dadanya, bahkan ada desiran perih yang membuat matanya berkaca-kaca. Ia istri seorang dokter yang harus berjuang melawan penyakitnya sendiri, sedang Fatrial begitu sibuk di rumah sakit.
“Masih di rumah sakit, Bu.” Jawabnya agak ragu.
“Oh begitu, biasanya pengantin baru itu kemana-mana diantar, tapi mungkin berbeda tindakan kalau istrinya dokter kali ya?” gumam ibu tersebut setengah keheranan dengan kehidupan rumah tangga Veve.
Veve hanya tersenyum getir, menahan perih.
“Mari, Bu.” katanya tak mau memperpanjang pembicaraan, dan Veve pun segera masuk pagar besi setinggi satu meter yang melindungi rumahnya.
Rumah minimalis tipe 70 bergaya modern tersebut nampak elegan dari depan, ditambah dengan taman kecil dan dua pohon berukuran sedang berdiri di sudut halaman. Rumah tersebut adalah rumah yang sudah dikontrak Fatrial sehari sebelum pernikahan, sehingga Veve tak ikut andil dalam memilih. Namun meskipun begitu suasana dan tata letak keseluruhan dari rumah tesebut sejurus dengan keinginan Veve.
Sesampainya di dalam rumah, Veve tak istirahat, ia lekas melakukan pekerjaan rumah yang belum sempat ia selesaikan tadi pagi, seperti mencuci baju dan piring. Di tengah pekerjaan tersebut ia ingat pada kalimat yang diucapkan tetangganya beberapa saat yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
RomansaAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)