.....
Veve berjalan melewati koridor IRNA, melempar pandangan, melihat sekeliling, juga deretan kamar inap yang biasa dihuni pasien dari kalangan biasa. Jelas, karena pasien dari keluarga kaya pastilah sudah ditempatkan di ruang VIP atau VVIP.
Langkahnya terhenti ketika sepasang visualnya menangkap sosok Fatrial yang berjalan bersama seorang perawat menaiki tangga menuju lantai dua. Di dinding sisi kanan tangga terpasang papan besar bertuliskan 'Harap Memakai Masker' dan tanda panah besar mengarah pada lantai dua.
Veve terkejut saat dirinya ingat akan permintaan Fatrial untuk menyerahkan hasil rotgen pertama Aisya, dan kali ini ia telah menyimpan foto thorax tersebut dalam tas pinggangnya. Ia pun buru-buru mengikuti Fatrial, berjalan di belakangnya agak jauh.
Fatrial berjalan agak cepat sambil berbicara pada perawat di belakangnya, mungkin sebuah perintah, terlihat jelas perawat itu hanya mengangguk menanggapi setiap kalimatnya, hingga kalimat itu terhenti saat ia memasuki ruangan yang berkapasitas 10 tempat tidur. Ruang di mana Aisya dirawat pula. Ruang tersebut memang dikhususkan untuk pasien yang memiliki penyakit menular, sehingga siapa pun yang memasuki ruang tersebut disarankan memakai masker.
Veve memutuskan untuk menuju brankar nomor 9, di mana Aisya tidur di sana. Ia akan memberikan hasil foto thorax pada Fatrial setelah ia selesai mengecek kondisi pasiennya di ruang tersebut.
Fatrial berhenti di brankar nomor 7, tak jauh dari tempat Veve duduk bersama Bu Maliha. Veve terus memperhatikan cara lelaki itu memperlakukan pasien-pasiennya. Entah kenapa ia tetap ia ingin mengetahui lelaki Fatrial itu, meskipun sampai detik ini tidak ada kabar akan keputusan yang ia janjikan, namun hati kecil Veve tepat ingin menyimpan sedikit harapan itu.
Semua aktivitas lelaki itu selalu ia iringi dengan senyum. Seolah ia seperti air yang mengguyur wajah Veve yang sudah berbulan-bulan tak tersentuh air. Senyum dan cara ia memperlakukan pasien membuat degup jantungnya terus naik, dan ia pun tertunduk tak kuasa menahan perasaannya.
Usai memeriksa pasien di brankar nomor 7, Fatrial berjalan menuju brankar tempat di mana Aisya beristirahat. Buru-buru Veve berdiri dan sedikit menganggukkan kepala saat Fatrial datang. Degup jantungnya masih memburu, tak berkurang ritmenya.
"Selamat sore." Fatrial tersenyum menyapa Bu Maliha dan Veve.
"Sore dok." Jawab Bu Maliha.
Sesaat pandangan mereka kembali saling bertemu, tak ada senyum atau anggukan, semua terjadi begitu cepat, dan cepat-cepat pula mereka saling mengalihkan perhatian. Fatrial segera memusatkan pandangan pada Aisya. Gadis itu sedang tertidur.
"Bagaimana, dokter?" tanya Bu Maliha.
"Insya Allah sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, Bu."
"E, dokter, ini hasil foto thorax yang Anda minta." Veve beranjak menyodorkan sebuah map coklat berisi lembar foto dada.
Dan Fatrial segera meraihnya.
"Terima kasih."
Tidak ada senyum atau kata-kata lain setelah itu, sikap Fatrial lebih dingin dari tempo hari saat mereka bertemu di UGD. Lelaki itu hanya sedikit mengangguk pada Bu Maliha sebagai sikap terakhir sebelum akhirnya melanjutkan tugas. Satu hal yang dirasakan Veve saat itu.
Perih.
"Mungkin memang bukan aku, dan ta'aruf itu mungkin hanya mainan bagimu, sehingga kau tak memikirkan bagaimana gugupnya diriku" batin Veve
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
RomanceAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)