Semburat Kesedihan

8.7K 538 25
                                    

......

Pukul 21.00 WIB

Hari ini jelas telah jauh berbeda dari kemarin. Hari ini ia seorang suami, dan telah memiliki seorang istri yang akan menjadi tanggungjawabnya. Entah kenapa usai pernikahan justru ia merasa amat berat untuk berjuang. Ia harus mengubah segala pikiran dan sikapnya selama ini. Keraguan pun mulai tumbuh.

Apakah mungkin membangun rumahtangga akan semudah apa yang ia bayangkan, atau justru akan menyeretnya dalam konflik hidup yang lebih serius.

Apakah ia telah salah langkah? Dulu sebelum menikah ia yakin bisa membangun cinta, ia merasa bisa mencintai Veve sepenuhnya, tapi kehadiran Aina tak pernah membuatnya merasa tenang, justru karena melihat Aina-lah keraguan itu muncul.

"Ya Allah, aku harus bagaimana? Kini aku merasa tidak siap menjadi suami seorang Veve yang masih asing bagiku."

Fatrial menaruh kepalanya di atas meja, memegangnya erat agar tidak meledak karena stress yang tiba-tiba menyiksanya. Ini bukan dirinya! Sejak dulu ia dikenal sosok yang baik dan bertanggungjawab, tapi kali ini berbeda, ada hati dan seseorang yang menjadi taruhan atas tanggungjawabnya di masa depan.

...

Sedangkan di sisi lain, Veve masih duduk di ruang tamu, menunggu Fatrial pulang. Anggota keluarga yang lain telah beristirahat di kamar masing-masing. Beberapa ruangan di rumah tersebut juga telah gelap, hanya tinggal ruang tamu, dan ruang makan saja yang masih tersisa nyala lampunya. Mungkin mereka semua kelelahan karena acara hari ini, sehingga memutuskan untuk tidur cepat.

"Kamu belum tidur?" tanya ibu mertuanya.

"Ibu." Veve agak terkejut, dan ia tersenyum mengangguk.

"Apa tidak ditunggu di kamar saja?" wanita setengah abad lebih itu berjalan mendekati menantunya, lalu duduk di samping Veve.

"Justru saya takut tertidur, Bu. Lagian Mas Fatrial tadi berangkat sebelum makan, jadi saya juga ingin makan bersamanya."

Ibu mertuanya tersenyum haru. Ia bisa melihat jelas ketulusan dari wajah Veve.

"Jadi kamu tidak mau makan malam bersama kami tadi karena Fatrial?"

Veve tersenyum malu.

Ibu mertua tersenyum memegang tangan Veve. Entah kenapa ia merasa nyaman dengan menantu yang belum lama ia kenal. Jelas, melihat Veve mengingatkan ia dulu ketika masih muda. Sosok sederhana dan santun.

"Ibu kenapa belum tidur?"

"Tadi keluar sebentar untuk mengambil air, tapi ketika melihatmu masih duduk di sini, Ibu pun datang."

"Ibu sebaiknya tidur saja, pasti Anda lelah."

"Tidak apa-apa, Ibu ingin menemanimu dan mungkin kamu ingin bertanya banyak hal terkait Fatrial. Ibu siap menjawab?"

Ah, kalimat penuh kasih itu membuat hati Veve tenang, apalagi cara ibu mertua memandang dirinya, benar-benar jauh dari prasangkanya selama ini.

"Fatrial itu anak yang baik, tapi tidak cukup baik dalam memperlakukan perempuan. Ia masih belum berpengalaman seperti lelaki pada umumnya, mungkin karena banyak waktu ia gunakan untuk belajar. Namun Ibu yakin, Insya Allah dia bisa menjadi suami yang baik, meskipun masih harus banyak belajar."

"Saya juga bukan perempuan baik yang memahami banyak hal Ibu, saya pribadi pun masih belajar. Dalam hal ini saya berharap bisa menjadi istri yang baik untuk Mas Fatrial."

Ibu tersenyum memegang pundak Veve. "Saat Fatrial meminta izin menikahimu, sejujurnya Ibu dan keluarga amat kaget, apalagi kami belum mengenalmu. Namun Fatrial dengan mantap meyakinkan kami bahwa kamu perempuan yang baik, dan entah kenapa kami begitu mudah menerima keputusan itu. Bukankah hal itu seperti keajaiban dari Allah?"

"Iya, Ibu. Bisa jadi." Veve tersenyum lebar, suasana pun mulai mencair.

"Jika suatu hari, kamu menemukan kekurangan atau sikap Fatrial yang tidak baik dan mungkin menyakitimu, Ibu berharap kamu bisa memaafkan dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki dirinya."

Veve mengangguk, "Pun sebaliknya Ibu, saya berharap Mas Fatrial bisa menerima kekurangan saya yang begitu banyak ini. Sejujurnya sampai saat ini saya masih merasa minder dan rendah diri. Saya hanya seorang guru, dan Mas Fatrial seorang dokter, profesi yang amat jauh berbeda."

"Tapi Allah telah menyatukan ketidakmungkinan itu dengan cara yang indah, Nak."

Veve mulai berkaca-kaca, ia begitu terharu dengan ucapan ibu mertuanya.

"Terima kasih banyak, Ibu."

"Ya sudah, ibu masuk kamar dulu ya, gak enak ninggalin Bapak lama-lama." Dan Veve tersenyum mengangguk melepas kepergian ibu mertuanya menuju kamar.

...

Lima belas menit kemudian Fatrial datang, ia amat terkejut melihat Veve yang membukakan pintu, dan kondisi rumah sudah sepi. Ia hanya tersenyum membalas sambutan istrinya, dan segera duduk di kursi melepas lelah.

"Bagaimana kondisi pasienmu, Mas?"

"Alhamdulillah sudah stabil, jadi bisa dipindahkan kembali di ruang VIP."

"Syukurlah."

"Kenapa rumah sepi sekali?"

"Semua sudah tidur, mungkin mereka lelah."

"Oh."

"Makan dulu, Mas! Kan tadi berangkat belum sempat makan." Veve beranjak dari duduknya.

"Aku sudah makan tadi di rumah sakit." Kata Fatrial sambil melepas satu kancing bajunya yang paling atas, dan kalimat yang terucap itu seketika menghentikan langkah Veve. Ada rasa kecewa meskipun ia simpan rapat.

"Oh baguslah, kupikir tadi belum makan, aku akan menemanimu jika belum makan, tapi karena sudah, syukurlah."

Fatrial tersenyum, lalu bangkit dari kursinya.

"Aku istirahat dulu." katanya sambil berjalan menuju tangga.

Veve menarik napas, menepuk-nepuk dadanya. Tidak apa-apa, memang ia yang harus mengerti. Fatrial pasti sangat lelah sampai ia tidak meminta maaf padanya, tak juga menunjukkan sikap yang selayaknya seorang suami. Tidak apa-apa, semua masih asing dan butuh beradaptasi.

Veve pun berjalan menuju ruang makan yang lampunya masih menyala. Merapikan meja makan yang tadinya telah berjajar berbagai jenis makanan. Ia simpan semua makanan itu dalam kulkas tanpa mengambilnya satu pun, ia memutuskan untuk tidak makan hari itu, bukan karena kehilangan napsu makan, tapi ia lebih merasa sungkan makan sendiri tanpa suaminya di rumah yang begitu asing.

Usai mematikan lampu ruang makan, Veve segera masuk kamar. Perlahan ia membuka pintu dan terkejut melihat Fatrial telah berbaring di sofa panjang di sudut kamar tak jauh dari tempat tidur.

Lagi-lagi ia hanya bisa menarik napas. Menahan sesak dan airmata yang entah sejak kapan menggenang di matanya.

"Kenapa tidur di sini." gumam Veve, lalu mengambil selimut dan menutup separuh tubuh Fatrial dengan selimut tebal tersebut.

"Aku merasa jarak itu kian jauh, dan aku tak yakin bisa melampauinya."

Setitik airmata meluncur. Ada harapan besar di sana, harapan yang tak bisa diungkap, dan ternyata cukup menyakitkan saat semua terlihat jauh. Ia berusaha mengurangi harapan tersebut agar tak semakin banyak kekecewaan ia dapat.



Happy reading.
Stay terus ya... :-)

Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang