.....
Unit Gawat Darurat
Pasien yang berada di ruang rawat VIP telah dipindahkan beberapa saat lalu sesuai instruksi Fatrial, pernapasan pun telah dibantu oksigen, namun tak cukup membantu. Ia masih kesulitan bernapas.
“Tekanan darahnya menurun terus, dokter” kata perawat sesaat setelah Fatrial mengeluarkan stetoskop dan mulai melakukan pemeriksaan.
Arah pandangannya pun segera tertuju pada layar monitor yang masih terus mengeluarkan bunyi, menunjukkan bahwa kondisi pasien semakin kritis. Dengan cepat Fatrial membuka baju pasien laki-laki tersebut, menekan beberapa titik di dadanya. Ada penimbunan udara di antara paru-paru dan rongga dada yang menyebabkan terjadinya tekanan hingga memicu penderita mengalami kolaps.
“Ini pneumotorax.”
Tindakan darurat harus segera Fatrial lakukan dengan cara melubangi bagian rongga dada tempat udara tertimbun dan memasukkan selang ke lubang tersebut. Pemasangan selang akan memudahkan menarik udara keluar, sehingga tekanan akan semakin berkurang dan pasien bisa bernapas normal.
“Pasien sudah kembali bernapas normal, dok.”
Fatrial menghembuskan napas lega, lalu melepas sarung tangan yang sedari tadi membungkusnya sejak masuk UGD. Ia pun segera keluar dari ruang tersebut, menarik napas dalam-dalam, lalu melihat jam tangannya. Sudah satu jam sejak ia pergi dari rumah. Ia harus segera pulang.
“Fatrial.”
Ada kejutan getir saat suara itu tertangkap telinganya, tak jauh darinya Aina berjalan mendekat. Perempuan dengan balutan jas dokter itu nampak sedikit lebih cerah daripada sebelumnya, ketika terakhir mereka bertemu.
“Kenapa kau ada di sini? Bukankah ini hari pernikahanmu?”
“Pasienku sedang kritis, jadi aku datang ke sini.”
“Oh.. iya, aku baru ingat kalau dokter Alvin sedang di ikut konferensi.” Gumamnya basa-basi.
“Selamat ya!” Aina mengulurkan tangan. Meskipun ia tersenyum, tapi masih terlihat jelas ada luka dari sorot matanya. Harapan yang telah pudar.
Fatrial tak segera menjabat tangan itu, ia diam melihat tangan Aina yang sedikit gemetar. Ragu untuk menjabat, rasa bersalah membekukan tubuhnya sesaat.
“Kau tidak mau menjabat tanganku?”
Fatrial pun meraih tangan itu, terasa begitu dingin.
“Maaf aku tidak bisa datang. Ada banyak pasien di Klinik Obgyn. Aku tak bisa meninggalkan mereka, tapi aku tetap mendoakanmu semoga kau bahagia.” Ucapan itu terdengar amat berat dan membawa genangan airmata di pelupuk matanya.
“Terima kasih..” Fatrial masih nampak merasa bersalah.
“Untuk tempo hari, aku minta maaf. Seharusnya aku sadar diri dan tak banyak berharap. Aku terlalu yakin kau akan kembali padaku, padahal kenyataannya kau telah menghapus semua namaku di sana. Entah masih tersisa atau telah terhapus seluruhnya, tapi sudah tak ada harapan lagi untukku. Ini semua kesalahanku juga, harusnya aku lebih berani menyatakan perasaanmu sebelum semua berubah. Aku begitu sombong mengira kau sepenuhnya milikku.”
Fatrial hanya berdiri diam mendengarnya. Dalam hati ia berusaha menutup luka-luka yang entah sejak kapan membuatnya sakit. Tidak ada lelaki yang mudah mengubah perasaan hanya dalam waktu dua bulan. Tidak sama sekali, bahkan rasa itu masih tersisa. Tidak banyak, tapi cukup kuat untuk menyesakkan dadanya.
“Dia beruntung memilikimu.” gumam Aina menahan airmata.
“Aina.”
“Ya.”
“Ayo bicara di luar..”
Mereka pun berjalan keluar dari UGD, menuju kantin rumah sakit.
“Aku belum makan sejak tadi siang. Jadi kita bisa bicara sambil makan.” Kata Fatrial nampak biasa.
Aina hanya diam, ia melihat kedataran di wajah Fatrial. Tidak ada komentar atas kalimat panjangnya tadi, juga perubahan rona wajah. Dia berpikir bahwa Fatrial telah berubah sepenuhnya. Mungkin, dan melukainya. Ia pun hanya memesan minuman, dan di sana ia hanya diam melihat Fatrial makan dengan lahap.
Tidak ada lagi kata yang dikeluarkan oleh Fatrial. Ia hanya terus tertunduk sambil terus memasukkan makanan dalam mulutnya.
“Fatrial.”
“Jangan mengajakku bicara!” sergah Fatrial masih tertunduk.
Aina menarik napas. Ia pun mengikuti perintah itu, menutup mulutnya sampai sepiring makanan di depan Fatrial tandas.
“Kenapa tiba-tiba kau bersikap seperti ini?”
Fatrial meneguk segelas air putih, menaruhnya dengan cepat sambil mengangkat kepalanya melihat Aina.
“Itu caraku mengobati luka.”
“Luka?”
“Kau pikir aku lelaki seperti apa sehingga kau bicara begitu?”
Aina terkejut.
“Aku tidak tau harus mengatasi keadaan ini dengan cara bagaimana, tapi jujur tiap kali kau mengatakan tentang perasaanmu, tiap kali kau bilang terluka, dan tiap kali kulihat kau menangis, sejujurnya aku merasa sesak.”
“Kau masih menyukaiku?”
Fatrial menghela napas, “Aku sudah berjalan sejauh ini Aina. Aku sudah memutuskan untuk menikah dan aku punya kewajiban untuk mencintainya, meskipun sejujurnya aku belum bisa sepenuhnya melupakanmu.”
“Lalu kenapa kau menikahinya kalau kau tidak suka? Kau cukup bilang menolak untuk melanjutkan proses konyol itu kan?”
“Mungkin otakku menolak, tapi tidak dengan hati kecilku. Aku sendiri tidak bisa mengartikan perasaanku seperti apa, tapi seperti ada tali yang mengikat jantungku. Semakin banyak aku tau tentangnya, semakin banyak aku melihatnya, maka ikatan di jantungku kian erat. Menghindarinya jauh lebih membuatku sesak.”
Kalimat Fatrial menjadi cambukan bagi Aina, ia berusaha menahan emosi.
“Aku tidak mengerti Fatrial. Bagiku ini konyol, kau hanya berusaha mempermainkan perasaanku!” Kata Aina sambil berdiri.
"Cukup sampai di sini pembicaraan kita jika kau hanya membuatku semakin sulit melupakanmu.” Lalu ia pun melangkah pergi meninggalkan Fatrial dalam keadaan kalut.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan padamu, jika aku saja tidak mengerti apa yang sudah terjadi dengan hatiku. Kau datang menyingkap masa lalu, di saat aku telah menyerahkan hati pada wanita lain. Seharusnya kita usah lagi saling bertemu, agar rasa itu benar-benar hilang." Batin Fatrial
Fatrial mengusap wajah lelahnya. Ada apa dengan dirinya? Kenapa keraguan itu mulai hadir saat bayang-bayang Aina melintas di benaknya.
Apa yang harus ia lakukan? Disaat pernikahan telah terjadi..."Ya Allah, tolong diriku yang lemah ini."
Happy Reading 🙏🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
Любовные романыAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)