Kebon Rojo, pukul 18.40 WIB
Veve duduk di kursi kayu yang tak jauh dari taman bermain anak-anak. Di depannya berdiri kolam dengan air mancur di tengahnya. Kebon Rojo merupakan taman hiburan yang menjadi fasilitas umum, bisa dimasuki siapa saja. Terletak di belakang kompleks rumah dinas Wali Kota Blitar.
"Sudah lama menunggu?" Bu Lely yang baru datang langsung mengambil posisi duduk di sebelah Veve.
"Oh, Ibu," Veve cukup terkejut, "Belum lama kok, Bu."
Bu Lely tersenyum, lalu mengeluarkan amplop coklat berukuran A3.
"Untukmu."
"Ini, apa, Bu?" Veve bingung.
"Seseorang ingin berkenalan denganmu. Dibaca dulu saja profilnya."
Perlahan Veve membuka amplop tersebut, mengeluarkan biodata diri seseorang bernama Farhan Fatrial. Ia tertegun membaca nama Farhan Fatrial, nama yang tidak asing. Ya, ia ingat pernah membaca nama itu di rumah sakit. Nama dokter di Klinik Paru. Namun buru-buru ia menghapus prasangka itu. Nama Fatrial pastilah banyak, tidak mungkin orang yang sama. Lagian di biodata tersebut tidak disebutkan pekerjaannya apa, justru tidak diisi, hanya diberi tanda penghubung. Tidak mungkin dia adalah dokter di Rumah Sakit Mardi Waluyo. Tidak mungkin seorang dokter ingin berta'aruf dengan guru SLB.
"Bagaimana?" nampaknya Bu Lely butuh jawaban cepat.
"Kenapa tidak ada keterangan singkat tentang dirinya? Lembar ini hanya berisi CV diri. Tidak ada sesuatu yang bisa kuketahui secara jelas dari biodata ini."
"Katanya dia ingin berkenalan langsung bukan lewat biodata seperti ini, jadi lembar biodata ini hanya sebagai syarat saja."
Veve mengangguk, mulutnya membentuk huru O. Tidak masalah seperti apa pun isi biodata tersebut, karena baginya kebaikan lelaki itu jauh lebih penting dari semuanya. Toh ia tak mematok kriteria tertentu, ia ikhlaskan semua pada Allah. Pastilah kalau jodoh seperti apa pun keadaanya tetap akan bersatu.
"Fatrial meminta bertemu pada hari minggu pagi. Jadi gimana? Ada waktu kapan bisa bertemu?"
Veve diam sejenak. "Insya Allah saya kosong, Bu."
"Oke, akan segera Ibu beritahukan pada Ustad Habib, biar segera diurus."
Veve tersenyum, namun sebenarnya gugup luar biasa. Ia bahkan belum sempat istikharah sudah didesak untuk bertemu.
@@@
Keringat dingin membanjiri tubuh Veve, sesekali ia menghapus peluh yang mengalir dan membasahi jilbabnya. Pengalaman ta'aruf pertama yang mengguncang jantung, ia bahkan tidak menyiapkan pertanyaan apa yang akan ia katakan dan harus bersikap bagaimana. Veve hanya bisa pasrah semoga Allah memberi kemudahan, dan jika pun jodoh semoga dimudahkan prosesnya hingga akad. Ah, tunggu dulu. Belum saatnya ia berfikir sejauh itu. Buru-buru Veve menggelengkan kepala, mencoba menghapus pikiran-pikiran konyol di batok kepalanya.
Kini Veve telah duduk di sebelah Bu Lely. Hari ini akan menjadi penentuan nasib masa depannya kelak. Entah nantinya akan berlanjut atau berhenti di sini, tetaplah semua harus dipersiapkan dengan baik. Fatrial belum datang tapi kegugupan telah menguasai tubuhnya. Ada rasa takut pula jika lelaki yang datang nanti kecewa dan menolaknya, tapi buru-buru ia menepis pikiran itu. Toh jodoh di tangan Allah.
"Tenang saja, Dek." Bu Lely tersenyum memegang tangan Veve yang tertumpu di atas lutut, saling mencengkeram erat.
Tak lama kemudian Fatrial datang dengan mobil putihnya. Dari jendela ruang tamu bisa dilihat sosoknya. Namun Veve tak menggunakan kesempatan itu, justru ia memilih tertunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
RomanceAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)