......
Beberapa kali Ustad Habib meminta Fatrial segera memberi keputusan, bukan menggantungkan Veve tanpa kabar sedikit pun. Sudah tiga belas hari berlalu, dan keputusan itu tak juga ia buat. Di rumah sakit pun Fatrial tak bisa fokus bertugas, ditambah Aina sering sekali menemuinya, baik meminta bantuan atau sekedar ngobrol hingga kedekatan mereka melampaui kedekatan sebelumnya. Apa lagi orangtua Aina masih berharap Fatrial datang kembali pada anak mereka, dan semua yang terjadi justru menjadi beban berat baginya.Ia tidak bisa mengambil keputusan dengan jernih. Di lain hal ia merasa berat mengabaikan Veve, seperti ada tali yang mengikat mereka berdua hingga tak bisa terlepas dengan mudah, ditambah setiap usai sholat istikharah bayangan Veve kian kuat mengakar di kepalanya.
“Fatrial..” seseorang memanggil dari belakang ketika ia berjalan menelusuri koridor menuju kantin.
“Aina.” Fatrial sempat terkejut melihat Aina berjalan cepat menghampirinya.
“Emm.. nanti malam ada waktu? Orangtuaku mengundangmu makan di rumah. Gimana? Bisa gak?”
Entah kenapa bukan rasa bahagia yang muncul, justru keengganan untuk datang. Pikirannya masih dipenuhi keputusan ta’aruf tersebut. Tidak mungkin ia mengulur banyak waktu dengan bersenang-senang di luar sana.
“Eee..” ia ragu untuk memenuhi permintaan itu.
“Kau tidak bisa?” wajah Aina nampak kecewa.
“Oh, bukan begitu Aina. Aku, iya, bisa.” Pada akhirnya keraguan itu pun tak mampu ia pertahankan.
Aina tersenyum. “Terima kasih, aku tunggu kedatanganmu.”
@@@
...
Mobil Fatrial merapat sejajar dengan dua mobil hitam milik keluarganya Aina. Rumah besar berlantai dua itu nampak indah dan mewah dari luar. Parkiran dan halaman yang luas cukup untuk mengadakan pesta. Di samping rumah terdapat taman bunga dan kolam renang berukuran sedang, dan di sana pula lokasi makan malam berlangsung. Sudah tertata meja bundar dengan empat kursi yang terletak di tepi kolam.
Beberapa pembantu sibuk menata hidangan di sana, juga ibunya Aina yang sudah nampak sehat membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Sungguh pemandangan harmonis. Seolah mereka akan kedatangan tamu agung, namun entah kenapa pikiran Fatrial justru tidak tenang. Ia teringat dengan kondisi kontrakan Veve yang jauh dari kemewahan.
Usai siap semua, Aina mengajak Fatrial bergabung dengan keluarganya yang sudah siap di meja makan. Ayah dan ibu Aina nampak bahagia menyambut kedatangannya.
“Duduklah!” pinta ayahnya Aina.
Fatrial tersenyum mengangguk.“Ibu senang sekali dokter bisa hadir di sini memenuhi undangan kami.” Sahut ibunya Aina.
“Iya, Bu, tapi akan sangat lebih baik jika di luar rumah sakit, Ibu memanggil saya Fatrial, bukan dokter, karena kedengarannya tidak enak.”
“Oh, begitu.. Iya, Ibu mengerti.”
“Fatrial orangnya rendah hati, Bu, jadi dia tidak suka dipuji atau diperlakukan berlebihan.” Sahut Aina sambil menyenggol siku Fatrial.
“Tidak salah kalau begitu.”
Aina tersenyum puas melihat orangtuanya nampak senang.Selama makan malam, Fatrial ditanya banyak hal oleh orangtua Aina. Pertanyaan-pertanyaan yang justru membuat Fatrial tidak nyaman, karena semua menyangkut keluarga dan kelebihannya. Namun sebisa mungkin ia bersikap biasa saja, sampai akhirnya seorang pembantu datang membawa semangkuk salat bertabur butiran coklat di atasnya sebagai makanan penutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)
RomanceAku tidak mencintaimu, tapi aku tak pernah menyesal menikahimu Novel ini sudah terbit dalam bentuk buku.. pemesanan bisa menghubungi Ae Publishing cabang gresik (0895-0977-3003)