Hati Memilih

8.6K 592 26
                                    

.......

Ruang Mawar lantai 2, pukul 20.30 WIB


Hari itu Fatrial bertugas mengunjungi pasien di bangsal anak. Sudah seminggu ini bangsal ortopedi penuh dengan pasien dengan kondisi sama, patah tulang. Ia hanya bertugas melakukan check kondisi mereka setelah menjalani pengobatan selama di rumah sakit.

Langkahnya terhenti saat melewati bangsal anak, kamar di mana Aisya dirawat. Ia melihat Veve masih berada di sana bergantian jaga dengan Bu Maliha. Wanita berjilbab ungu itu berusaha tetap terjaga dengan membaca Al-quran. Sungguh pemandangan yang seketika meluluhkan hatinya.

Keyakinan tumbuh begitu cepat, secepat ia menyadari bahwa Veve adalah wanita sholehah yang selalu dielu-elukan ibunya. Iya, ibunya tak meminta menantu cantik atau pintar, ia hanya ingin memiliki menantu seorang wanita sholehah yang taat

"Pada Allah.


Ya Allah, aku meyakini kekuasaanMU. Telah banyak Engkau jawab pertanyaan dari sholatku melewati banyak hal yang Engkau tampakkan darinya. Aku yang begitu bodoh selalu meragukan dan takut mengambil keputusan."

Fatrial menarik napas dan tanpa pikir panjang ia menelepon Ustad Habib.

"Assalamualaikum, ustad. Apakah saya bisa bertemu Ustad besok?"


"Waalaikumsalam, apakah ini terkait keputusan Dokter?"

"Iya, Ustad. Insya Allah begitu."


"Apa sekalian saja bertemu Mbak Veve?"


"E.. saya ikut apa kata Ustad enaknya bagaimana."

"Oke.. semoga ini keputusan terbaik dari Anda, Dokter"


Fatrial tersenyum mengangguk.

"Terima kasih, Ustad." lalu menutup teleponnya setelah mengucapkan salam. Satu tarikan napas penuh keyakinan


Bismillah


@@@


Jln Wahidin No 14.

Sesuai permintaan Fatrial, Ustad Habib telah memilihkan hari di mana masing-masing pihak bisa saling bertemu. Untuk yang kesekian kalinya Veve duduk pasrah dengan apa pun yang akan dikatakan Fatrial.

Tak berharap lagi sejak pertemuan di apotek minggu lalu. Fatrial memang luar biasa, banyak pasien yang mengakui pribadinya yang santun, tapi justru kelebihan itulah yang membuat Veve kian minder. Kalaupun diteruskan, pasti akan banyak cobaan di sana.


Veve menarik napas dalam-dalam saat mengetahui Fatrial telah duduk di depannya, di sebelah Ustad Habib.


"Saya sangat meminta maaf sebelumnya, karena telah membuat Mbak Veve menunggu. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan saya, juga beberapa kali saya merasa tidak yakin dengan pikiran dan hati saya sendiri. Saya butuh berhari-hari untuk mempercayai semua. Jadi mohon maaf pada semua pihak yang telah membantu saya di sini, terutama pada Mbak Veve."

Entah kenapa permintaan maaf itu justru membuat sekujur tubuh Veve merasa ngilu, seperti pengantar sebuah penolakkan.

"Tidak apa-apa, Dokter. Saya bisa memahami kesibukkan Anda, juga mungkin hal-hal lain di luar itu, dan saya berharap apa pun keputusan yang akan Dokter berikan adalah yang terbaik."

"Terima kasih." Fatrial sedikit menganggukkan kepala.

"Sebenarnya tidak hanya Dokter Fatrial yang memberi keputusan, tapi juga Mbak Veve. Saya berharap jika nantinya ada perbedaan keputusan, bisa kita selesaikan dan tentunya masing-masing pihak bisa menerima. Tentunya jika menolak, harus dengan alasan yang syar'i." sambung Ustad Habib.

Dangerous Wedding 1 (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang